“Kalau Ahok belum dipenjarakan, kami akan terus turun ke jalan.” Setelah berhasil menjadikan Basuki Tjahaja Purnama sebagai tersangka, upaya berikutnya adalah bagaimana agar Gubernur DKI Jakarta non-aktif yang akrab disapa Ahok ini dijebloskan ke dalam penjara. Tapi, apakah setelah Ahok benar-benar masuk penjara, gerakan massa akan berhenti? Para analis politik mungkin bisa menjawab pertanyaan ini.
Adapun tulisan ini sekadar untuk memberi gambaran bahwa upaya untuk memenjarakan Ahok akan terus digerakkan oleh dua kepentingan yang berbeda tetapi memiliki tujuan yang sama, atau dua ideologi yang berbeda tapi memiliki tujan yang sama. Mereka adalah, pertama, kalangan aktivis Islam yang merasa tersinggung dengan ucapan Ahok di Pulau Seribu. Dan, kedua, lawan-lawan politik Ahok yang tengah berkompetisi dalam Pilkada DKI Jakarta.
Untuk yang pertama, saya melihat mereka benar-benar “murni” merasa tersinggung karena ada orang yang dianggap menista (isi) al-Qur’an surat al-Maidah ayat 51. Tapi mungkin ketersinggungan ini tidak akan muncul kalau saja tidak ada Buni Yani yang memposting transkrip ucapan Ahok di Pulau Seribu yang ternyata sudah diedit sesuai dengan seleranya, ditambah dengan komentar yang provokatif.
Karena itu, kita patut mengapresiasi pihak kepolisian yang juga menjadikan Buni Yani sebagai tersangka penyulut provokasi bernuansa SARA. Selain Buni Yani, kalau terus dilacak, mungkin bisa banyak kalangan yang juga bisa dijadikan tersangka karena menyampaikan kalimat-kalimat yang provokatif.
Untuk yang kedua, mungkin akan menyangkal jika disebut sebagai pihak yang menginginkan Ahok dipenjara. Oke, anggaplah mereka benar tidak menghendaki Ahok masuk penjara, tapi yang pasti mereka akan menerima “keuntungan” jika Ahok berada dalam penjara. Lawan yang oleh lembaga survei (yang layak dipercaya) dianggap paling kuat dalam pilkada tidak akan bisa lagi melakukan kampanye secara leluasa.
Antara Kritik dan Provokasi
Sejatinya saya kurang sepakat jika kritik yang ditujukan kepada pemerintah, termasuk aparat keamanan, dianggap sebagai provokasi. Kritik sepanjang dilakukan secara konstruktif, apalagi disertai pula dengan tawaran jalan keluar, patut diapresiasi. Kritik seperti ini ibarat vitamin yang berfungsi menyehatkan. Tanpa kritik, pemerintah bisa sewenang-wenang.
Provokasi sangat berbeda dengan kritik. Provokasi berisi kecaman dan ajakan untuk melawan, sedangkan kritik berisi koreksi dari apa-apa yang dianggapnya salah dan dari koreksi itu kemudian ditunjukkan bagaimana seharusnya (yang dianggap benar). Provokasi berisi penistaan, sedangkan kritik berisi himbauan. Yang dilakukan Buni Yani dalam meng-upload sebagian ceramah Ahok di Pulau Seribu dengan dibumbuhi kalimat-kalimat kecaman jelas merupakan provokasi yang bisa dijerat hukum.
Gerakan demonstrasi—yang kemudian populer dengan gerakan 411—diakui atau tidak, sedikit banyak tersulut oleh provokasi yang dilakukan Buni Yani. Safari politik Presiden Joko Widodo ke berbagai kalangan, terutama ke tokoh-tokoh utama ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU, sedikit mengurangi tensi, walau belum menghentikan tuntutan.
Meskipun Ahok sudah dinyatakan sebagai tersangka, tuntutan para demonstran belum kendur karena yang diinginkan Ahok masuk penjara. Gerakan lanjutan yang akan digelar 2 Desember (gerakan 212) salah satu tujuannya adalah untuk menekan aparat keamanan, dalam hal ini Badan Reserse Kriminal Polri, agar segera memenjarakan Ahok.
Tidak Menyerah
Dikecam begitu rupa, Ahok tidak gentar. Dengan sedikit bercanda ia malah menganalogikan dirinya dengan pemimpin Afrika Selatan, Nelson Mandela, yang terpilih menjadi presiden setelah meringkuk dalam penjara. Analogi yang mungkin kurang tepat tapi bagus untuk memompakan semangat kepada para pendukungnya.
Sebagai politikus, Ahok itu fighter. Karena dituduh melakukan penistaan al-Qur’an, kabarnya ada pihak yang menyuruhnya mundur (dari pencalonan Pilkada Jakarta). Ahok bergeming dan mengatakan lebih baik masuk penjara ketimbang mundur dari arena kompetisi Pilkada DKI Jakarta.
Pilihan Ahok sudah tepat. Kalau mundur di tengah jalan, ia benar-benar bisa masuk penjara karena melanggar Undang-Undang Pilkada. Sedangkan untuk kesalahan yang dituduhkan pada dirinya saat ini, masih perlu diuji di pengadilan apakah benar ia bersalah atau sebaliknya. Untuk sampai pada vonis bersalah dan masuk penjara, prosesnya masih panjang dan membutuhkan waktu yang lama.
Tidak bisa, misalnya, karena tekanan publik, Ahok tiba-tiba dimasukkan dalam penjara. Memasukkan orang dalam penjara itu gampang, yang sulit adalah membuktikan tuduhan yang bisa meyakinkan majelis hakim sehingga bisa menjatuhkan vonis bersalah yang mengharuskan tersangka/tertuduh masuk dalam penjara.
Dalam suatu kompetisi, biasanya ada pihak yang melakukan taktik playing victim, yaitu menjadikan dirinya (seolah-olah) menjadi korban dengan tujuan untuk mendapatkan simpati publik. Bagi Ahok, tidak perlu melakukan taktik kurang terpuji itu pun ia benar-benar sudah menjadi korban dari suatu gerakan yang berhasil “mengirim pesan” kepada para penegak hukum untuk menjadikannya tersangka.
Pihak-pihak yang berusaha memenjarakan Ahok saat ini sudah merasa di atas angin dan menganggap Ahok sudah seperti pesakitan yang tidak bisa lagi membela diri, apalagi melawan. Benarkah seperti itu? Mari kita lihat…