Anak-anakku tersayang,
Satu hal yang ingin kami tanamkan padamu adalah tentang keutamaan ilmu. Ya, ilmu itu fondasi, obor, dan esensi hidup. Apa pun, termasuk beragama, tanpa disertai ilmu terasa kering. Tak bermakna. Aqidah atau iman tanpa disertai ilmu hanya akan mudah menyesatkan orang lain: merasa benar sendiri, bahkan cenderung mengafirkan sesama Muslim. Malah melenceng, jauh dari nilai-nilai Islam.
Mengarungi lautan ilmu adalah tangga menuju kebahagian hakiki. Ilmu itu segala-galanya. Dengan memilih ilmu, harta dan tahta jadi ikut terbawa sebagai akibat. Dampak. Maka, wahai anak-anakku, kejar dan cintailah ilmu itu sepenuh hati. Di mana pun kamu menemukannya, ambillah. Ikat dalam bentuk tulisan. Amalkan dalam kehidupan sehari-hari demi menerangi ruang-angksa.
Harta dan tahta sendiri bukanlah esensi hidup. Posisinya jauh di bawah ilmu. Maka, kamu tak perlu dibuat silau olehnya. Namun ketiga entitas itu tak perlu dipertentangkan. Justru semakin berarti jika ketiganya diamalkan secara simultan untuk kemaslahatan manusia.
“Harta harus dimaknai dalam konteks hubungan kemanfaatannya dengan orang lain, Nak! Tidak bisa dinikmati sendiri. Jangan lupa, dalam setiap keringat yang kita peroleh terselip hak orang lain.”
“Pun jabatan atau tahta. Level apa pun. Merupakan amanah untuk menakzimkan umat manusia. Jadi, ilmu, harta, dan tahta bukan tujuan hidup, Nak! Ia hanyalah sarana menuju kehidupan yang lebih bahagia dan bermakna.”
“Anak-anakku hanya mengangguk.”
Tak bersuara. Ketika nasihat itu sesekali meluncur dari kami selaku ayah-bunda.
Pesan nasihat itu, kami memang ingin menanamkan makna Islam sebagai agama kemanusiaan. Agama cinta. Dengan berbasis cinta itu, akan memantul nilai-nilai ihsan (kebaikan universal). Akhlaqul karimah. Ibadah-ibadah ritual, seperti shalat lima waktu, baru berarti bila berdampak pada peningkatan kualitas kita dalam mengarungi samudra kehidupan. Semakin rajin shalat, semakin peka dan tumbuh rasa kemanusiaannya. Tak ada sedikit pun ruang kebencian yang tersisa di dalam batinnya. Seharusnya begitu.
“Jangan lupa shalat, Nak!”
Pesan itu selalu kami sampaikan kepada anak-anak kami. Di mana pun kamu berada, shalat harus kamu tegakkan. Artinya, di saat kamu menegakkan shalat, kamu sesungguhnya sedang merayakan kemanusiaan. Maka, hiduplah kamu dengan penuh cinta, sederhana, dan peduli terhadap sesama. Jangan egois. Wakafkanlah ilmu dan waktumu untuk memuliakan manusia, terutama mereka yang nasibnya kurang beruntung dan tertindas ketimbang kamu.
“Di mata Allah, kamu itu hanya debu, Nak! Tak ada yang pantas kamu sombongkan. Dirimu baru berarti, tatkala ilmu yang kau cari itu diamalkan untuk kebaikan umat manusia”, lanjut kami, melanjutkan nasihat.
Nilai-nilai inilah yang berusaha kami tanamkan kepada anak-anak sejak kecil di dalam keluarga. Pesan surat al-Ma’un di dalam al-Quran, sebagaimana K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, tanamkan kepada para muridnya, sangat menggetarkan. Pun firman Allah dalam Surat Al-Qashash Ayat 77 berikut ini: wa’ahsin kamâ ahsanallahu ilaika” (berihsanlah kamu kepada makhluk Allah, sebagaimana Allah sudah berihsan kepadamu). Ironisnya, seolah pesan Allah tersebut kini terlupakan. Orang ribut berantem atas nama agama, saling membenci dan menyalahkan.
Maka, wahai anak-anakku, berbuat baiklah kamu sebanyak-banyaknya kepada orang lain. Sesama makhluk Allah. Apa pun suku, ras, agama dan bangsa mereka. Jangan lupa: Allah sangat menyukai orang-orang yang berbuat baik. Ingat, kebaikan hanya akan dibalas dengan kebaikan. Sekecil apa pun kebaikan yang kamu lakukan, pasti kembali pada dirimu. Belajarlah mencintai, jika ingin dicintai. Itu kata Allah dan Rasulullah Saw, lho! Bukan petuah ayah-bunda.
“Nak, puncak berislam itu adalah ikhsān yang melahirkan akhlak. Dengan akhlak itu, kamu bisa memuliakan sesama manusia tanpa melihat perbedaan suku, ras, agama maupun bangsa”, demikian, sekali lagi, nasihat yang kerap kami sampaikan selaku ayah-bunda.
“Iya”, jawab anak-anakku singkat, seperti biasa sambil menunduk.
Anak-anakku tercinta,
Izinkan ayah ingin cerita tentangmu di sini. Ya, tentang Izadi (panggilan akrabmu). Lain waktu, ayah juga akan bercerita mengenai kedua adikmu (Aca, santri Gontor dan Nayazka, siswa Kelas 1, Ibtidaiyah, MP UIN Jakarta). Karena kamu adalah anak yang paling besar, panutan atau contoh adik-adikmu. Ayah tahu, menjadi “santri” adalah pilihan sadarmu sejak lulus Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pembangunan UIN Jakarta. Mengalir. Setamat MI, kamu mulai “nyantri” di SMP Islam Boarding School Nurul Fikri, Serang, Banten. Itu bukan paksaan ayah-bunda. Selaku ayah-bunda, kami hanya berusaha mengarahkan dan membimbing.
Demikian pula ketika memilih Al-Bayan. Murni pilihan dan keputusanmu sendiri. Sebelum memutuskan memilih Al-Bayan, kami ajak kamu keliling ke beberapa sekolah (non-boarding) dan pesantren hingga ke Jawa Timur. Supaya kamu bisa merasakan langsung habitus-nya. Meskipun diterima di sekolah dan pesantren tertentu, akhirnya pilihanmu jatuh ke Al-Bayan.
“Aku putuskan pilih Al-Bayan. Lebih okay di hati dan bersih lingkungannya”, ujarmu tegas, ketika itu.
“Ya, sudah. Yang penting kamu suka”, jawab kami bangga.
Di hati, kami tersenyum. Lega. Rasanya plong. Anak sulungku sudah putuskan memilih Al-Bayan. Itu “sreg” banget dengan hati kami. Al-Bayan memang sudah lama membekas di benak kami. Setiap melewati Cibadak, lalu belok kanan ke arah Pelabuhan Ratu, tatkala pulang kampung, papan nama Al-Bayan selalu melintas di pikiran. Pas anakku menjelang lulus SMP, terus kami riset dan dalami. Benar, ternyata itu sekolah unggul dan primadona. Keren. Cerita-cerita tentang Al-Bayan pun mengalir deras: asyik dan harum. Banyak kawan-kawan rekomen.
“Itu pesantren unggul berbasis multiple-intellegence”, ujar seorang teman, bersaksi tentang Al-Bayan.
“Di Al-Bayan, anak dibimbing sesuai potensinya masing-masing hingga lulus masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit”, kata teman lain, menambahkan.
“Tidak hanya akademik, kepesantrenan, kreativitas, dan akhlak sangat ditekankan di Al-Bayan”, tegas seorang teman lagi, menguatkan.
Kesaksian itu semakin melegakkan kami. Anakku sudah memutuskan sekolah/pesantren yang tepat. Tak hanya itu. Yang paling keren, dia sudah berani dan bangga menjadi “santri”. Sungguh, bahagia tiada tara disertai syukur: ketika punya anak mau mondok. Alhamdulillah, ya Allah.
Apalagi ayah dan bunda, keduanya alumni pesantren. Meskipun jelas bukan pesantren unggul sekeren Al-Bayan. Bukan. Ya, hanya pesantren tradisional. Tempat keikhlasan, kesederhanaan, dan kemandirian ditanam. Walaupun dengan risiko para santrinya barudug (jarban, korengan). Sementara ilmu yang kami dapat hanya pas-pasan, permukaan doang.. hahaha..
Santri millenilal seperti kamu tentu berbeda. Walaupun spirit kesederhanaan, keikhlasan, dan kemandirian selaku pencari ilmu, diharapkan terus melekat mewarnai nilai-nilai hidupmu. Sampai kapan pun. Melampaui ruang dan waktu.
Tentu saja bagi anak-anak zaman kiwari, ada dua pilihan untuk menjadi santri: mendalami ilmu agama atau ilmu non-agama. Output dari opsi pertama berarti menjadi tafaqquh fiddin: mengerti dan memahami agama. Menjadi ulama al-mutabahhir yang luas ilmu agamanya sekaligus penyejuk umat manusia.
Sementara output dari opsi kedua menjadi iqomatuddin: menegakkan agama. Menjadi penegak agama bisa dengan ilmu apa pun yang kita miliki. Kedua pilihan itu sama-sama mulia. Jika keduanya diamalkan dalam kehidupan nyata. Demi menyejukkan umat manusia.
Dengan menjadi santri Al-Bayan, kamu jelas memilih opsi kedua. Kamu ingin ikut terlibat menegakkan agama. Tanpa mesti menjadi “ahli agama”. Akan tetapi, kamu sendiri tentu mengerti prinsip-prinsip dasar dan tujuan utama risalah Islam itu diturunkan ke bumi, yakni demi mengenal Allah, dibuktikan dengan berakhlak mulia, kemudian membangun sistem sosial-politik-budaya-ekonomi berbasiskan kasih-sayang, dan terakhir membela kaum tertindas. Kamu ingin menegakkan agama dengan memanfaatkan ilmu teknik sipil sesuai cita-citamu (alhamdulillah anakku yang pertama ini kini diterima di ITB, jurusan Teknik Sipil). Maka, amalkanlah ilmumu tersebut untuk menaklukan sekaligus melayani dunia. Benar, ilmu itu cahaya. Apa pun jenis ilmu itu. Jika diamalkan, ia mampu menerangi kegelapan sekaligus guidance bagi manusia untuk memaknai hidupnya.
Selama di Al-Bayan, anakku dibekali dengan dasar-dasar ilmu agama (kepesantrenan), akhlak, dan ilmu umum sesuai potensi dan bakatnya. Itulah bekal amat berharga. Tak pelak, dia pun kini tetap menjelma menjadi sosok santri millennial; meskipun sudah kuliah di kampus kebanggaan anak-anak negeri.
Wahai anak-anakku terkasih,
DEMIKIANLAH. Menjadi santri di era 5.0 tentu jauh berbeda dengan masa kami dulu. Namun benang-merah dari para pencari ilmu itu adalah sikap rendah hati dan tawadu. Ada cerita menarik: tentang sosok Syaikh Nawawi al-Bantani. Ketika ulama Nusantara ini muqim di Makkah untuk mengajar pada akhir abad-19.
Perawinya, tak tanggung-tanggung, Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam zaman kolonial asal Belanda. Ia menulis: “kesederhanaan pakaian dan penampilan luarnya tidak setara dengan guru besar-guru besar bangsa Arab.” Cuma yang bikin dia makin geleng-geleng kepala ketika mendengar pengakuan langsung dari Nawawi. “Beliau hanya debu di kaki para pencari ilmu”, ujarnya dengan penuh decak kagum.
Luar biasa. Dari ulama sekaliber Syaikh Nawawi kita bisa belajar menunduk. Bukan hanya soal penampilan atau cara berpakaian. Namun yang lebih subtil: keluasan ilmu itu mesti melahirkan keluhuran akhlak. Kita berharap, spirit debu dari kaki para pencari ilmu itu terus melekat di hati para santri kiwari. Mungkin di sinilah harapannya: kisah sandal butut berikut ini bisa dimaknai sebagai “tetesan debu” Syaikh Nawawi.
Syahdan. Kisah sandal butut itu bermula sejak Izadi kelas 2 SMP. Tahun 2016. Jenisnya sandal jepit. Berukuran 41. Mereknya Carvil. Harga pastinya, lupa. Ya, sekitar 75 ribu-an. Dibeli di super market, Pamulang. Tak jauh dari rumah. Setiap kami menengoknya, sandal itu begitu melekat. Menempel. Ke mana pun Izadi pergi sandal itu selalu menemaninya. Selalu begitu.
Setelah lulus SMP, kami kira kisah sandal tersebut otomatis berakhir. Rupanya meleset. Ternyata sandal itu ikut hijrah ke Al-Bayan. Sialnya, tatkala ikut hijrah, sandal itu sudah berubah wajah: semakin lusuh alias butut. Maka, sejak di Al-Bayan itu pula, sandal Izadi punya julukan baru: “Sandal Butut.” Ajaibnya “Sandal Butut” itu semakin menyatu dengan hati Izadi. Benar-benar tak bisa dipisahkan. Jalan-jalan ke mana pun, pasti menempel. Bahkan, saking cintanya, ketika rusak pun langsung disol sendiri. Wow!
Lain Izadi, lain ayah-bunda. Izadi cuek dan asyik. Tak ada masalah sama sekali dengan sandal butut itu. Bahkan, tak terbesit sedikit pun rasa gengsi ketika sandal itu dipakai jalan-jalan ke mall top di ibu kota. Sampai-sampai Bunda-nya begitu gemes. Pun campur jengkel melihatnya. Karena, menurut kami, sangat memalukan. Tak pantas sama sekali dipakai. Seolah ayah-budanya tak mampu membelikan sandal baru. Hahaha…
“Kenapa sih Sandal Butut itu dipakai terus, Nak?”, berkali-kali Bunda-nya bertanya dengan nada jengkel.
“Malu atuh”, lanjut Bunda.
“Abis sandalnya empuk banget dipakainya, Bunda”, kata Izadi santai, tanpa sedikit pun merasa bersalah.
Astagfirullah. Bunda-nya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kaget, kesal, marah, tertawa. Bancuh. Meskipun di hati terasa kagum.
Itulah Izadi. Anaknya tak “macam-macam”. Apa adanya. Tak pernah mengeluh. Meskipun uang jajannya habis sekalipun. Pun tak pernah minta dibelikan apa pun, apalagi yang bermerk atau mahal-mahal. Tetap sederhana. Walaupun kalau dibelikan, ya tak menolak juga. Sebaliknya, justru yang sibuk ingin belikan sesuatu itu malah Bunda-nya. Hahaha… Dan memang, kami tidak pernah memanjakan anak-anak dengan materi secara berlebihan.
“Ya, terserah”, jawabannya. Tatkala Bunda-nya nawari untuk beli sesuatu yang diduga ia membutuhkannya.
Sampai suatu ketika liburan tiba. Izadi pulang ke rumah. Sandal butut itu tetap masih menempel di kakinya. Meskipun sudah dibelikan sandal baru. Waktu maghrib pun tiba. Kami sepakat meminta Izadi untuk menjadi imam shalat maghrib berjamaah. Sekaligus memimpin wirid dan doa.
“Siap, ayah”, ungkap Izadi singkat.
Maka, shalat-lah kita berjamaah dengan Izadi sebagai imam. Subhanallah. Bacaan al-Quran-nya fasih. Pun doanya: lengkap dan fasih pula. Kami pun bangga. Tak terasa air mata pun mentes.
“Hebat, Nak. Sudah lulus menjadi imam shalat dan memimpin doa,” ungkap kami sambil memeluknya, bangga.
Pesan di balik “cerita sandal butut” dan sukses menjadi imam shalat itu, sungguh sangat membanggakan kami selaku orangtua. Semoga Izadi konsisten: tumbuh menjadi sosok pribadi sederhana, tawadu, dan rendah hati. Menjadi tauladan adik-adiknya. Tentu, bangganya melebihi prestasi-prestasi lain. Walaupun kami tahu, Izadi dikenal sebagai anak cerdas dan kreatif.
Rasa syukur itu terus mengalir tanpa henti; bahkan sekarang pun![]