Calon independen (perseorangan) dalam pemilu kepala daerah (pilkada) sah menurut undang-undang. Tetapi, mengapa ada upaya terus-menerus, terutama dari kalangan aktivis partai politik, untuk mempersepsikan calon perseorangan seolah menjadi hal yang tabu? Mengapa dalam proses penyempurnaan Undang-Undang Pilkada baru-baru ini partai politik seolah merasa terancam dengan kehadiran calon perseorangan?
Saya kira, proses politik penyempurnaan UU Pilkada tidak lepas dari realitas politik yang tengah terjadi, terutama dikaitkan dengan pilkada yang (akan) berlangsung di DKI Jakarta. Diakui atau tidak, umumnya partai politik (merasa) khawatir dengan kehadiran gubernur petahana, Basuki Tjahaja Purnama, yang lebih memilih jalur perseorangan ketimbang partai politik.
Partai politik layak merasa khawatir karena kehadiran Basuki berbeda dengan umumnya calon perseorangan yang selama ini muncul dalam pilkada. Umumnya calon perseorangan tidak memiliki pilihan seperti Basuki. Andaikan mempunyai pilihan, hampir bisa dipastikan lebih memilih dari jalur partai politik. Basuki punya pilihan. Basuki bebas memilih, apakah jalur perseorangan atau partai politik. Dan, pada saat Basuki memilih jalur perseorangan, inilah yang merisaukan partai politik.
Partai politik risau karena Basuki memiliki rekam jejak yang berani melawan partai politik, dan perlawanan Basuki mendapat dukungan publik. Sudah beberapa kali Basuki berkonflik dengan anggota legislatif yang notaa bene dari partai politik, dan Basuki selalu menang. Kalaupun pernah kalah, itu karena dikalahkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait salah satu Peraturan Gubernur tentang Reklamasi. Itu pun tak mengurangi dukungan publik pada Basuki.
Karena fenomena Basuki, calon perseorangan mendapatkan ujian berat, baik secara politis maupun administratif. Secara politis, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terus menerus membujuk agar Basuki bersedia maju dari partai politik. Dan, bujukan PDIP sangat maut, karena memiliki kursi lebih dari cukup untuk satu tiket calon kepala daerah. Andaikan bukan Basuki, so pasti akan mengambil tiket itu.
Secara administratif, calon perseorangan dihambat melalui upaya pembaruan atau pembakuan formulir, yang secara teknis terkait dengan ratusan ribu formulir dukungan dari pemegang hak pilih yang akan menyita banyak waktu dan membutuhkan banyak tenaga jika harus diganti.
Ditambah pula dengan verifikasi faktual yang harus melalui metode sensus, mendatangi langsung setiap pendukung. Sebelumnya, verifikasi faktual cukup diatur dengan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tentu bersifat kondisional. Sekarang diatur dalam undang-undang yang secara otomatis harus dilaksanakan oleh KPU, khususnya Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk melakukan sensus. Belum lagi waktu verifikasi juga dipersingkat, dari 14 hari menjadi tiga hari.
Ketentuan verifikasi ini tidak hanya memberatkan calon perseorangan, tapi juga memberatkan KPU dan jajarannya. Jika KPU gagal melaksanakan tugas ini bisa dipidana dan didenda. Dan kegagalan KPU bisa berimplikasi juga pada kegagalan calon perseorangan.
Menghadapi Pilkada DKI Jakarta, dengan fenoma Basuki di dalamnya, kita sadar bahwa partai politik belum move on. Sejatinya pada saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan diperbolehkannya calon independen (peseorangan) dalam proses Pilkada tahun 2007 silam, kita berharap itu menjadi cambuk bagi partai politik untuk berbenah karena publik sejatinya tidak terfokus pada dari mana calon kepala daerah berasal. Publik lebih melihat kualitas sang calon, apakah berasal dari partai politik atau perseorangan, belum menjadi pertimbangan yang kuat.
Saya katakan belum—bukan tidak—menjadi pertimbangan. Karena, bisa jadi, suatu saat publik akan lebih mempertimbangkan dari mana sang calon berasal. Dan, kecenderungan itu semakin nyata pada saat realitas politik menunjukkan partai-partai belum beranjak dari kubangan korupsi seraya tetap menganggap kader-kadernya sebatas petugas yang harus tetap berpegang teguh pada misi partai yang secara faktual lebih tepat disebut misi para pemegang kebijakan partai.
Sejauh ini kecenderungan calon maju melalui partai politik masih jauh lebih besar ketimbang dari jalur perseorangan. Ini bisa menjadi pertanda baik bagi proses demokratisasi karena kepercayaan terhadap partai politik sebagai pilar demokrasi harus tetap kita jaga. Tetapi, pada saat partai politik gagal menjaga kepercayaan ini, bukan hal yang mustahil jika suatu saat kepercayaan itu akan hilang.
Artinya, ujian (yang memberatkan) calon independen dalam pilkada, disadari atau tidak, pada hakikatnya juga ujian berat bari partai politik. Publik semakin sadar bahkwa partai politik belum memiliki kemauan kuat untuk beranjak maju, menyerahkan lebih banyak kepercayaan pada rakyat. Partai politik masih bertahan dengan watak oligarkinya, menganggap kader sebagai perpanjangan tangan, atau bahkan petugas yang harus menjalankan tugas-tugas yang diberikan partainya, bahkan pada saat kader itu sudah menjadi pejabat negara. Pejabat negara yang seharusnya loyal pada bangsa, pada semua rakyat tanpa kecuali, ingin ditarik ke sudut sempit: loyalitas pada partai politik.
Menyimak realitas politik semacam ini, kiranya sudah tinggi saatnya kehadiran partai politik yang benar-benar berfungsi sebatas penyalur aspirasi rakyat, sebagai tangga bagi kader-kader terbaik bangsa untuk tampil menjadi pemimpin tanpa dibebani syarat-syarat loyalitas yang sempit.
Betapapun terbukanya ideologi partai politik, betapapun tingginya komitmen kebangsaan partai politik, ia tetaplah memiliki watak yang sempit, melihat partai lain sebagai lawan, melihat orang-orang terbaik yang bukan kader sebagi out-sider. Partai politik memiliki demarkasi yang dibangun di atas kepentingan oligarki. Jika watak sempit partai politik ini harus disematkan kepada pejabat publik, maka celakalah republik ini.