Rabu, April 24, 2024

Tweet dan Quote: Senjata Mematikan di Era Diplomasi Digital

Muslihah Faradila
Muslihah Faradila
Mahasiswi Studi Hubungan Internasional, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia.

Penyampaian opini serta argumentasi yang terjadi di laman media sosial seperti Twitter, tentu akan menciptakan suatu kondisi dimana publik dituntut untuk bersikap kritis. Tidak hanya kritis dalam keperluan berpikir, namun juga kritis dalam upaya menentukan topik seperti apa yang dapat dibahas di media sosial.

Selain itu, kritis terhadap penyampaian seperti apa yang harus dilakukan, kritis terhadap penggunaan bahasa seperti apa yang dapat dipahami oleh publik secara luas, serta kritis untuk melakukan pertimbangan terhadap respons dari pembaca terkait tulisan yang kita keluarkan juga harus turut diperhatikan secara seksama.

Dalam hal ini, Twitter sebagai platform media sosial dengan total pengguna aktif sebanyak 353 juta orang di 2021, dengan interaktif terlibat dalam beberapa isu di suatu negara dan berperan mempengaruhi arus dari isu tersebut. Hal ini pernah terjadi ketika Twitter tidak mengikuti perintah dari pemerintah India untuk memblokir akun para tokoh protes konflik agraria di India.

Sikap yang diambil oleh Twitter dalam kasus tersebut, memberikan gambaran kepada publik bahwasanya Twitter memiliki peran penting terhadap perkembangan isu-isu yang terjadi di berbagai negara. Meski dalam hal ini pemerintah India menggunakan powernya untuk menekan pihak Twitter agar memblokir akun para pemprotes, Twitter justru memanfaatkan lamannya dan menjadikannya sebagai “senjata mematikan” bagi para tokoh protes tersebut agar mereka dapat mengangkat isu agraris di India.

Dalam kasus ini, Twitter bersedia menjadikan platformnya sebagai ajang untuk berdiskusi, sebagai tempay untuk menyampaikan fakta serta opini, menjadikan lamannya sebagai tempat untuk bertukar informasi secara open-ended discussion hingga memungkinkan penggunanya untuk dapat berinteraksi secara aktif dan real time dalam menanggapi suatu topik pembahasan.

Melalui kesempatan lain, Twitter tidak hanya menjadi “senjata mematikan” bagi para aktivis yang sedang memperjuangkan isu/kepentingan tertentu, melainkan juga dapat menjadi “senjata mematikan” yang memiliki konotasi negatif. Bahkan dapat memicu terjadinya ketidakstabilan dalam politik hingga sosial suatu negara.

Ketika berbicara mengenai “Senjata mematikan”, dalam hal ini Twitter pernah memblokir akun resmi dari Donald Trump ketika terjadi kisruh politik di Amerika Serikat, tepatnya di periode menjelang pergantian pemerintahan atau pemilihan presiden. Istilah “Senjata mematikan” di era diplomasi digital sangat tergambar dari berbagai tweet yang dikeluarkan oleh Trump.

Total 88 juta pengikut (followers) yang dimiliki Trump di laman Twitternya, menjadikan berbagai tweet yang dikeluarkan oleh Trump berpotensi mendapatkan atensi yang besar dari publik. Atensi terhadap tweet yang dikeluarkan Trump, akan sangat rentan mendorong publik untuk kemudian tebagi ke dalam beberapa kelompok, seperti misalnya Kelompok A yang menyetujui opini dari Trump, Kelompok B yang tidak setuju serta kelompok C yang berada di tengah-tengah.

Adanya benturan opini akibat tweet yang dikeluarkan Trump, kemudian mengarahkan terjadinya perdebatan dan riskan mengarah ke dalam bentuk kekerasan. Pernyataan ini telah dibuktikan ketika terjadi serangan di US Capitol pada 6 Januari 2021 lalu.

Dilansir dai The Washington Post, disebutkan bahwa tweet yang dikeluarkan oleh Trump ketika mencoba menggiring opini publik terkait kecurangan pemilu, mendorong para supporter Trump untuk melakukan sikap protes hingga kemudian melakukan penyerangan di US Capitol.

Kemudian dilansir dari CNN, Twitter memandang bahwa tweet atau kicauan yang dikeluarkan oleh Donald Trump melalui akunnya, berpotensi menimbulkan kekerasan, sehingga pihak Twitter memutuskan untuk menutup aku twitter dari @realDonaldTrump. Namun, keputusan yang dikeluarkan oleh Twitter dipandang oleh Trump sebagai upaya pembatasan kebebasan dalam berpendapat serta menghalangi interaksi antara Trump dengan warga AS yang merupakan pemilihnya di Pilpres AS 2020.

Melalui berbagai problematika yang ditimbulkan dari tweet dan quote Trump serta respons dari pihak Twitter maupun pengguna twitter lainnya, dapat dikatakan bahwa penggunaan Twitter apabila tidak disertakan dengan bentuk pertanggungjawaban, sikap kritis serta kehati-hatian, maka proses diplomasi digital dapat mengarahkan ke berbagai hal yang negatif.

Pemanfaatan media digital dengan dinamika berkomunikasi person to person, menciptakan sebuah komunikasi tata kelola global yang melibatkan segenap aktor penting di dalamnya. Jika dimanfaatkan dengan baik, maka media digital mampu membuka peluang serta menjadi tantangan bagi para aktor untuk menjalankan aktivitas diplomasinya, memperkenalkan formulasi politik luar negerinya tidak hanya ke masyarakat negara sendiri, melainkan juga ke publik internasional.

Penggunaan platform digital seperti Twitter, memperlihatkan bahwa Information and communication technologies (ICTs) menjadi unsur penting dalam melakukan diplomasi digital. Sebagaimana contoh kasus Trump, berbagai pendapat yang dipublikasikan melalui Twitternya merupakan contoh dari adanya perubahan dalam cara publik bertukar informasi, hingga kemudian mempengaruhi pola pikir publik dalam pandangannya terhadap dinamika sosial, politik dan ekonomi.

Open to end discussion yang terjadi melalui platform Twitter, mempermudah negara dan berbagai institusi internasional untuk menarik perhatian publik secara luas hingga mampu menjadi pendorong dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan yang dikeluarkannya.

Tidak hanya itu, pemanfaatan diplomasi digital akan menjadikan penggunanya memiliki “branding image”, dimana dalam hal ini, aktivitas yang dilakukan para tokoh politik seperti Trump melalui twitternya akan membentuk image serta reputasi tertentu. Jika dibandingkan dengan tokoh politik US lainnya, seperti Joe Biden, pada 15 April, melalui akun twitter @POTUS, Joe Biden mengeluarkan tweet berbunyi “it is time to end America’s longest war. It is time for American troops to come home from Afghanistan”.

Tweet yang dipublikasikan Biden tersebut, memberikan gambaran tidak langsung bahwa diplomasi digital yang dilakukan tidak selalu digunakan sebagai ajang penyampaian hate speech. Dengan kata lain, tidak hanya menjadi senjata mematikan dan membawa mimpi buruk dalam sebagian kasus, tweet dan quote dapat menjadi pembawa harapan serta mimpi akan masa depan yang lebih baik jika penggunanya mampu bersikap kritis dan bijak.

Branding image serta pengenalan nilai sosial, politik, ekonomi dalam pemanfaatan platform twitter, dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk pengimplementasian soft power. Sehingga dapat dikatakan bahwa tata cara komunikasi dalam berdiplomasi akan terus beradaptasi mengikuti perkembangan teknologi.

Para aktor internasional seperti negara, tokoh politik dsb dapat memanfaatkan berbagai platform yang tersedia melalui ICTs sebagai salah satu ruang dalam berdiplomasi di era digital serta untuk memperkenalkan nilai-nilai politik negaranya. Sehingga, diharapkan mampu memberikan informasi kepada publik serta menciptakan ruang diskusi tebuka antar masyarakat internasional.

Muslihah Faradila
Muslihah Faradila
Mahasiswi Studi Hubungan Internasional, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.