Jumat, April 26, 2024

Tuhan Perlu Dibela

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjalani sidang perdana kasus dugaan penistaan agama di PN Jakarta Utara, Selasa (13/12). ANTARA FOTO/REUTERS/Tatan Syuflana/Pool/16. *** Local Caption *** Jakarta Governor Basuki Tjahaja Purnama, popularly known as "Ahok", sits on the defendant's chair at the start of his trial hearing at North Jakarta District Court in Jakarta, Indonesia, Tuesday, Dec. 13, 2016. ANTARA FOTO/REUTERS/Tatan Syuflana/Pool/16.
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjalani sidang perdana kasus dugaan penistaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (13/12). ANTARA FOTO/REUTERS/Tatan Syuflana/Pool/16.

Apakah Tuhan perlu dibela? Tiga puluh lima tahun silam, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang kala itu lebih dikenal sebagai pemikir, mencoba menyambangi pertanyaan ini. Ia menulis satu kolom di majalah Tempo, Juni 1982, dengan tajuk yang mungkin sudah pernah Anda dengar di suatu tempat. “Tuhan Tidak Perlu Dibela.”

Tulisan tersebut dibuka dengan anekdot seorang sarjana yang baru pulang dari studinya di luar negeri. Sepanjang delapan tahun, X, sebutan sang pemuda, belajar di negeri di mana Islam bukan agama mayoritas. Sepulang ke Indonesia, X terenyak. Ke mana ia berjalan, ia menjumpai kemarahan orang Muslim. Ia menjumpainya di majalah Islam. Ia menjumpainya dalam pidato para mubaligh dan dai. Ia menjumpainya pada penolakan terhadap ilmu pengetahuan modern. Ia menjumpainya dari kecaman terhadap ekspresi-ekspresi kesenian dan kebudayaan.

Masygul, X lantas menemui sejumlah ahli agama dengan harapan ia akan memperoleh tanggapan yang bijak terhadap kemarahan-kemarahan ini. Hasilnya, nihil. Alih-alih mendapatkan apa yang diinginkannya, ia malah diminta mencontoh sikap para agamawan itu. “Kemarahan itu adalah pelaksanaan tugas amar ma’ruf nahi munkar,” ujar kiai pesantren yang merupakan paman X.

X akhirnya memperoleh jawaban yang menenangkan dari seorang guru tarekat. “Jawabannya,” menurut sang guru, “sederhana saja. Allah itu Maha Besar. Ia tidak memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya.” Mendengar penegasan bahwa kebenaran Tuhan tidak akan terkikis oleh keraguan manusia, sang pemuda mendapat ketenteramannya. Ia tidak lagi merasa bersalah berdiam diri.

Tiga puluh lima tahun berselang, Anda tahu, tulisan ini masih menggerayangi pikiran banyak orang. Banyak dari antaranya merasa jawaban Gus Dur terhadap kegusaran X tak bertanggung jawab. Drama, kegelisahan, dan permenungan X tak lebih dari proyeksi pikiran liberal yang fasik. Namun, kalau kita cermati, Gus Dur sebenarnya mengakhiri kolomnya dengan pernyataan mengganjal. “Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan.”

Gus Dur tidak menutup esainya secara konklusif. Ia meminta para pembacanya meninjau kembali perkembangan urgensi “membela Tuhan” di masa mendatang.

ahok-gusdur1Jadi, 35 tahun kemudian dan diselingi pula pergantian rezim, turun-naik lima presiden—termasuk Gus Dur sendiri—pergeseran pola konstelasi elite serta revolusi teknologi informasi, apa yang bisa kita katakan tentang membela Tuhan hari ini? Apakah Tuhan masih tidak perlu dibela?

Pertama, diperlukan atau tidak, membela Tuhan menjadi perjuangan yang lebih berarti dibanding perjuangan-perjuangan apa pun hari ini. Orang-orang bisa mencoba membela kebhinekaan. Orang-orang boleh sesumbar menandaskan bahwa keutuhan negeri ini perlu diperjuangkan. Tetapi, bila Anda bukan penguasa yang kebutuhan primernya menjaga agar kekisruhan tidak pecah sewaktu-waktu di masyarakat, perjuangan-perjuangan tersebut tak akan nampak memikat bagi Anda.

Anda lihat serangkaian parade pretensius yang digelar setelah aksi bela agama? Anda melihatnya, saya tahu, dan Anda tentu menyaksikan ketimpangan yang sangat kasat mata di antara parade tersebut dan aksi massa yang digelar sebelumnya. Yang diadakan kedua adalah parade yang meriah, ramai, diorganisir secara profesional tapi akan segera terselip di antara hiruk-pikuk wacana nasional. Namun, yang diadakan pertama? Ia adalah unjuk rasa religius yang, diakui berbagai pengamat, terbesar dalam sejarah Indonesia.

Mereka yang ambil bagian di dalamnya pun dengan sadar memonumenkan keikutsertaannya tersebut. Mereka membanggakan dirinya sebagai alumni 212 dan alumni 411 dan, setahu saya, preseden serupa di mana keikutsertaan begitu dielu-elukan hanyalah aksi-aksi publik yang skalanya menggulingkan rezim pemerintahan. Demonstrasi yang melengserkan Demokrasi Terpimpin, pertama, dan demonstrasi mahasiswa 1998 yang berujung pada Reformasi.

Tak sedikit pula guyonan-guyonan yang berkembang di antara para “alumni” aksi ini, kalau Anda ingin tahu, dan ia hanya kian menunjukkan betapa bermaknanya aksi ini bagi mereka. “Kamu alumni mana?” tanya seorang bapak kepada seorang pemuda yang mengunjungi putrinya. “Alumni UI? Alumni ITB? Atau alumni UGM?” tambah sang bapak. “Alumni 411 dan 212, Pak,” jawabnya. “Subhanallah. Kamu saya terima.” Sang bapak pun memeluk pemuda tersebut.

Kemarahan para penganut agama, 35 tahun silam, barangkali menggusarkan X yang besar dalam lingkungan intelektual bebas drama, intrik, dan di kemudian hari sebagai lulusan luar negeri sangat berpeluang memperoleh jabatan strategis. Namun, lain halnya bagi para pelakunya, bukan?

Warga Rembang yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) berjalan sambil membentangkan spanduk saat menggelar aksi mengawal putusan Mahkamah Agung yang membatalkan SK Gubernur Jateng Tahun 2012 tentang izin lingkungan penambangan oleh pabrik semen, di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (9/12). Mereka mendesak Gubernur Jawa Tengah agar segera mencabut izin lingkungan dan menghentikan proses pembangunan pabrik semen di Rembang. ANTARA FOTO/R. Rekotomo/foc/16. *** Local Caption ***

Kemarin kita menjadi saksi bagaimana kemarahan kepada tertuduh penista agama mentransformasi keseharian menjemukan orang-orang menjadi satu medan perjuangan yang mencekam dan dramatis. Isu-isu lain—contoh saja, pengangkatan pimpinan DPR paling berskandal, pembantaian komunitas Rohingya, long march petani Kendheng—dalam sekejap mata menjadi fana.

Lagi pula, setelah semua alasan perjuangan lain patah atau dipatahkan di Indonesia, untuk alasan apalagi seseorang bisa mendapati dirinya berjuang bersama dan melakukan sesuatu yang berarti? Kita pernah menjadikan persoalan nyata seperti ketimpangan penguasaan lahan, keterpinggiran petani gurem satu alasan berjuang yang sahih pada satu waktu. Tetapi, hari ini, penggusuran, yang seharusnya menjadi isu genting karena menyangkut rentannya hak kaum marjinal kota, nampak tak ada apa-apanya untuk mendelegitimasi seorang pejabat dibandingkan isu penistaan agama.

Kita bisa melawan pejabat A, bukan inisial yang bersangkutan, karena membela mereka yang tergusur seperti yang dilakukan Romo Sandyawan. Tapi, dengan melakukannya, kita tidak akan memperoleh rekan-rekan seperjuangan sebanyak kita melawan figur yang sama karena membela konsepsi kita perihal apa yang sakral. Kita, dengan melakukannya, tak akan memperoleh tempat yang sama dalam sejarah satu bangsa yang, dalam tikungan terakhir perjalanannya, mendadak sangat religius ini.

“Tuhan tidak perlu dibela.” Demikian tulis Gus Dur, 35 tahun silam. Pandangannya masuk akal waktu itu dan masih masuk akal sekarang. Namun, persoalannya, kita perlu membela-Nya. Kita—dan bukan siapa-siapa—yang memerlukannya.

Hingga kapan? Hingga waktu yang tak terbayangkan kapan.

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.