Kamis, Maret 28, 2024

Tragedi 11 September Setelah 15 Tahun

Nafi Muthohirin
Nafi Muthohirin
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi PW Muhammadiyah Jawa Timur. Penulis buku "Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus" (2015)

Seorang wanita meletakkan mawar putih di Tugu Peringatan dan Museum Nasional 11 September di Lower Manhattan, New York, 10 September 2015. [ANTARA FOTO/ REUTERS/ Andrew Kelly]
Tak ada peristiwa yang memilukan dalam sejarah modern Amerika Serikat daripada serangan teroris yang menghancurkan menara kembar Pentagon dan World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001. Kengerian peristiwa yang dikenal dengan Tragedi 9/11 ini akan sulit dihapus dari ingatan publik setempat, karena telah merenggut nyawa sebanyak lebih 2.750 jiwa, sekaligus menjadi pukulan telak bagi sistem keamanan negeri Paman Sam.

Beberapa hari sesudah peristiwa 9/11, pemerintahan AS yang saat itu dikepalai George W. Bush menuding Al-Qaidah sebagai aktor utamanya. Sejak itu permusuhan AS terhadap terorisme semakin intensif, salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan invasi yang memerangi Taliban di Afghanistan. Taliban dituduh AS karena melindungi Al-Qaidah dan pemimpinnya, Usamah bin Ladin.

Kemudian, apa yang tersisa setelah 15 tahun peristiwa 9/11 dan kebijakan invasi AS terhadap Afghanistan tersebut? Pada 1 Mei 2011, Presiden AS Barrack Obama mengumumkan kematian Usamah bin Ladin dalam penggerebekan oleh tim Navy SEAL AS di tempat persembunyiannya di Abbottabad, Pakistan.

Meski pendiri Al-Qaidah itu telah tewas lima tahun lalu, situasi Afghanistan tetap tidak aman: bom bunuh diri dan serangan bersenjata terus mengancam keselamatan warga sipil. Sementara itu, walau telah diperangi AS dan sejumlah negara NATO seperti Britania Raya, Prancis, Belanda, dan Australia, para milisi Taliban ini tak pernah habis hingga saat ini. Bahkan, di banyak kesempatan, militan Taliban masih mengobarkan api perlawanan.

Kini, perang saudara pun terus berlangsung antara pejuang Taliban dengan pasukan Pemerintah Afghanistan. Dua pekan lalu, misalnya, Taliban berhasil merebut Distrik Khan Abad di Provinsi Kunduz, meski sekarang telah berhasil diambilalih kembali oleh pasukan pemerintah.

Kondisi damai semakin jauh dirasakan penduduk Afghanistan setelah masuknya militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sejak Desember 2014. Praktis, hampir setiap hari, tak ada kabar yang menggembirakan dari negeri yang berpenduduk sekitar 32 juta jiwa tersebut. Hingga akhir 2015, invasi tersebut menyebabkan sekitar 4.300 tentara NATO terbunuh, dan sebanyak 8 ribu luka-luka. Sedangkan dari pihak sipil, mencapai 1. 592 jiwa yang terbunuh, dan sebanyak 3.329 orang luka-luka.

World Trade Center September 11, 2001. [Ken Tannebaum/ Shutterstock]
World Trade Center September 11, 2001. [Ken Tannebaum/ Shutterstock]
Sesudah Tragedi 9/11 dan kebijakan AS memerangi terorisme, nyatanya upaya tersebut tak bisa dikatakan berhasil hingga saat ini. Justru Tragedi 9/11 menjadi momentum bagi kebangkitan gerakan dan ideologi terorisme yang lebih luas melalui pengorganisasian yang sistematis. Berbagai aksi terorisme susul-menyusul di banyak negara setelah itu, yang mengakibatkan ribuan warga tidak berdosa menjadi korbannya.

Pun, kematian Usamah bin Ladin tak lantas memutus mata rantai jaringan terorisme global. Sebaliknya, pergerakan terorisme semakin meluas dengan membentuk banyak kelompok domestik. Sesudah Usamah terbunuh, Al-Qaidah berevolusi menjadi sekitar 41 kelompok teroris baru yang tersebar di berbagai negara.

Data yang diterbitkan Departemen Pertahanan AS pada 2014 dengan judul A Persistent Threat: The Evolution of al-Qaidah and Other Salafi Jihadist menyebutkan, jumlah keanggotaan teroris mencapai 100 ribu pada 2014. Sedangkan, jumlah serangan yang terafiliasi dengan Al-Qaidah naik tiga kali lipat menjadi sekitar 1.000 serangan dari yang sebelumnya hanya 392 serangan.

Saat ini, tepatnya kurang lebih satu dekade terakhir, kemunculan militan teror berasal dari banyak kelompok teroris domestik. Ada yang memang lahir karena konflik di internal negara, tapi ada juga yang bermula dari keterlibatan sejumlah “pejuang jihad” di negeri-negeri perang. Lalu pulang ke masing-masing negaranya, dengan tetap membawa ideologi yang sama dan menjadikan negaranya sebagai medan perang yang baru.

Agar tampak kuat dan terlihat sebagai organisasi yang besar, kelompok-kelompok terorisme domestik ini mengklaim diri telah berafiliasi dengan Al-Qaidah atau ISIS. Target serangannya pun berubah, dari yang awalnya menyerang berbagai simbol Barat sebagai “musuh jauh”, kini justru menyerang simbol pemerintah dan aparat keamanan di sebuah negara di mana kelompok teroris itu tumbuh sebagai “musuh dekat”.

Pengalaman tersebut juga terjadi di Indonesia belakangan ini. Kelompok teroris menyerang polisi. Ledakan bom bunuh diri di Mapolres Solo pada awal Juli lalu dan bom Thamrin yang menghancurkan pos polisi terdekat pada Januari 2016 adalah dua fakta yang tak terbantahkan. Bahkan, sebelum dilumpuhkan aparat, kelompok Santoso pernah mengancam akan menyerang Istana Negara dan Polda Metro Jaya.

Menurut saya, paling tidak ada dua alasan yang mendasari kenapa kelompok teroris sekarang lebih memilih kepolisian atau simbol pemerintahan sebagai target serangannya. Pertama, Indonesia dianggap sebagai boneka AS, sehingga pemerintah dapat dikatakan sebagai berhala (thogut), sama seperti AS.

Kedua, pihak kepolisian seringkali menggagalkan aksi teror dan mengacaukan rencananya, sehingga ada kemungkinan mereka mencari lawan nyata yang perlu dihancurkan. Dan, polisi dianggap sebagai penghalang dari tujuan utamanya menghancurkan thogut.

Kini, setelah 15 tahun Tragedi 9/11, aksi terorisme terus bergeliat. Meski AS telah menggelontorkan dana senilai lebih dari US$1,6 triliun untuk pemberantasan terorisme sejak 2001 hingga 2014, sebagaimana analisis Congressional Research Service 2014, pergerakan terorisme belum dapat dipastikan kapan akan berakhir.

Memang, upaya pemberantasan terorisme dari muka bumi tak semudah membalikkan telapak tangan. Polemik ini sudah telanjur menjadi urusan global yang menyentuh seluruh sektor kehidupan, mulai agama, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, hingga urusan pendidikan.

Dari itu, yang lebih penting untuk dilakukan sekarang adalah terus memberikan pemahaman publik mengenai bahaya ideologi radikal tersebut. Dengan terus memberikan pemahaman dan pendidikan terhadap ancaman dan bahaya terorisme kepada masyarakat, paling tidak cara itu bisa menyumbat dan mengurangi keterlibatan warga ke dalam keanggotaan terorisme.

Nafi Muthohirin
Nafi Muthohirin
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi PW Muhammadiyah Jawa Timur. Penulis buku "Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus" (2015)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.