Menginjak usianya yang ke-71 tahun, 5 Oktober 2016, Tentara Nasional Indonesia masih menghadapi tantangan dalam menegakkan hak asasi manusia. Selain menjalankan fungsi pokok sebagai alat pertahanan dan keamanan negara dan penjaga kedaulatan negara, TNI adalah aktor strategis negara dalam menjalankan kewajibannya, terutama melindungi dan menegakkan HAM.
Kewajiban yang diemban TNI itu tidaklah berlebihkan, karena TNI mempunyai kapasitas, kapabilitas, dan kewenangan untuk itu, serta diberikan instrumen yang vital berupa peralatan dan perlengkapan tempur untuk melindungi rakyat.
Meskipun TNI sudah mulai melakukan reformasi kelembagaan supaya lebih menjadi militer yang profesional dan bersahabat dengan masyarakat sipil, tetap saja kesan militerisme dan tindakan oknum TNI yang arogan masih banyak ditemui.
Dibandingkan dengan pola pelanggaran HAM yang dilakukan secara aktif oleh oknum TNI di era sebelum reformasi, misalnya dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang diselidiki Komnas HAM, di era terkini peran TNI dalam konteks dugaan pelanggaran HAM cukup berbeda.
TNI tidak lagi menjadi aktor utama, namun dalam dugaan pelanggaran HAM, TNI dinilai dalam posisi berkontribusi atau dilibatkan di dalamnya. Hal ini terutama karena kewenangan dalam menjaga keamanan dan ketertiban domestik telah beralih ke Polri.
Dengan begitu, yang terjadi adalah TNI diseret untuk melakukan operasi yang bukan menjadi tugas pokok dan fungsi utamanya. Akibatnya, TNI tidak jarang terlibat konflik dengan masyarakat, khususnya berkaitan dengan konflik agraria. Hal ini, misalnya, terjadi di Rumpin Bogor, Medan, Surabaya, Magetan, Kebumen, dan tempat lainnya.
TNI berhadapkan dengan masyarakat karena merasa mempunyai kewajiban untuk mempertahankan aset negara berupa tanah, meskipun proses klaim atas legailitas tanah tersebut perlu diuji.
TNI tidak jarang masih melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat sipil sebagaimana terjadi dalam konflik tanah di Medan beberapa waktu lalu. Selain itu, masih banyak oknum TNI yang diduga terlibat dalam pengamanan perusahaan di antaranya di bidang perkebunan dan kehutanan. Juga, dalam operasi penggusuran sebagaimana marak terjadi di Jakarta, TNI melibatkan diri dengan alasan diperbantukan.
Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Pasal 7 ayat 2 huruf b, khususnya angka 9 terkait dengan operasi militer non-perang dengan membantu pemerintah di daerah dan angka 10 untuk membantu tugas Polri, menjadi ketentuan yang rawan disalahgunakan. Ketentuan itu harus diperjelas dan dibatasi agar TNI tidak masuk dalam ranah yang tidak menjadi kewenangannya.
Menjadikan TNI yang profesional tentu membutuhkan komitmen dan kebijakan negara yang kuat dan konsisten, seiring dengan kepentingan besar untuk menjaga kedaulatan negara dari berbagai ancaman fisik dan non-fisik.
Profesionalitas harus dibangun paralel dengan peningkatan kapasitas dan kapabilitas anggota TNI sesuai bidangnya masing-masing serta wawasan atas HAM. Hal itu harus disertai dengan modernisasi alat utama sistem pertahanan yang mumpuni sehingga mampu menjaga kedaulatan wilayah dengan maksimal dan disegani kawan maupun lawan.
Kesejahteraan anggota TNI harus terus ditingkatkan dan diperbaiki untuk meminimalisasi oknum yang bisa mengambil pekerjaan sampingan atau side job yang menganggu fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara. Jaminan atas pendidikan, tempat tinggal, dan kesehatan bagi anggota TNI dan keluarganya juga harus dipastikan, termasuk bagi para purnawirawan.
Di usia yang semakin dewasa, TNI harus mampu melakukan repositioning fungsi dan tugasnya agar tidak lagi terjebak dalam operasi (misalnya penggusuran) yang justru akan menjauhkan TNI dengan rakyat dan melemahkan reputasi TNI.
Mata rantai senioritas TNI tidak bisa dipungkiri melemahkan anggota TNI ketika berhadapan dengan para seniornya yang sudah purna tugas. Tidak sedikit mantan pimpinan TNI yang saat ini memiliki perusahaan, menjadi komisaris, dan menduduki posisi strategis di berbagai perusahaan besar di pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan properti.
Untuk itu, perlu disusun dan ditegakkan kode etik dan peraturan Panglima TNI untuk mengatasi fenomena yang marak terjadi ini demi menegakkan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law).
Akhirnya, dirgahayu TNI, semoga konsisten dan tetap menjadi tentara rakyat dan pelindung HAM.