Cetak biru (blue-print) nasionalisme adalah pemersatu bangsa. Nasionalisme bukan sekadar alat, melainkan nafas pergerakan untuk kemerdekaan. Nasionalisme lahir sebagai perekat sosial untuk mendobrak sekat-sekat priomordialisme yang didasarkan pada ras, suku, agama, kepercayaan, dan golongan yang sangat beragam.
Baru-baru ini, spirit nasionalisme terkoyak dengan sikap intoleransi yang semakin subur di bumi pertiwi ini. Benedict Anderson (wafat; 2015), seorang pemikir kenamaan, mendedikasikan seluruh pikirannya untuk menilik secara dalam makna nasionalisme di Indonesia.
Dalam catatannya, Anderson menemukan bahwa nasionalisme tumbuh dari solidaritas yang dimiliki oleh para pemuda saat itu. Solidaritas menjadi spirit berdirinya sebuah bangsa dan secara resmi dideklarasikan pada 28 Oktober 1928.
Kini, kita saksikan bersama, semangat primordialisme itu muncul kembali dan mengoyak visi suci sumpah yang digelorakan para pemuda saat itu. Tak pelak lagi, kekerasan yang mengatasnamakan agama tumbuh kembali di tengah-tengah iklim demokrasi.
Selama lima tahun terakhir terjadi penyerangan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Banten (2011), konflik Sunni dengan Syi’ah di Sampang, Madura (2013), pembakaran rumah ibadah di Singkil, Aceh (2015), dan pengeboman di Jalan MH Thamrin, Jakarta (2016). Rentetan peristiwa tersebut semakin menguatkan bahwa sentimen primordialisme kembali menjajah alam pikir masyarakat.
Belum lagi sentimen ras tampak menguat ketika pesta demokrasi kembali dilkasanakan. Secara serampangan masyarakat kerap memainkan isu agama dan etnis, bukan rekam jejak yang menjadi ukuran. Katakanlah, peristiwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi cermin bagaimana kita merespons demokratisasi. Potret tersebut semakin menjelaskan bahwa kita belum dewasa dalam berdemokrasi.
Keliru jika masalah ini diabaikan oleh pemerintah. Kita bisa berkaca pada Pakistan, negara yang kuat secara militer namun lemah dalam menyikapi kasus intoleransi. Kita saksikan bersama, bom bunuh di Lahore di saat Hari Paskah (2016). Tidak berlebihan sebuah negara akan dianggap gagal jika terus-menerus mendiamkan masalah intoleransi tanpa adanya penanganan yang serius.
Bukankan kita sepakat bahwa Pancasila adalah ideologi negara yang final. Perdebatan yang didasarkan priomordialisme sudah dilampaui melalui perdebatan sengit para pendiri bangsa ini. Bukan tidak ada pertentangan pada saat itu, tapi kedewasaan sebagai negarawan mengantarkan pada satu titik kesepahaman, meminjam istilah Nurcholish Madjid (Cak Nur), “kalimatun sawa”. Titik temu masalah kepercayaan, misalnya, diselesaikan dalam pernyataan yang luar biasa: Ketuhanan yang Maha Esa.
Tak bisa dipungkiri, marwah Pancasila didistorsi oleh rezim Orde Baru selama tiga puluh tahun denga jargon “kesaktian Pancasila”. Hari ini, Ketuhanan yang Maha Esa diuji kembali dengan lahirnya “preman-preman berjubah” yang mengatasnamakan agama. Sentimen priomordialisme kini bangkit kembali.
Intoleransi merupakan ancaman serius bagi kebhinekaan kita. Setidaknya ada beberapa faktor masyarakat terprovokasi untuk melakukan tindak kekerasan. Pertama, ada kekecewaan mendalam yang dirasakan masyarakat karena pemerintah belum menjawab hak mereka sebagai warga negara: kesejahteraan.
Kedua, di tengah-tengah kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial lainnya belum terselesaikan, oknum-oknum—untuk tidak menyebut seluruh—pemerintah gagal menegakkan keadialn hukum. Praktik korupsi dan kolusi masih menjamur di tengah-tengah kita. Praktis sebagian pejabat negara tersandera kasus korupsi.
Atas kekecewaan itulah, masyarakat acapkali mencari jalan pintas untuk mengekpresikan kekecewaan mereka dan kerap menggunakan cara-cara yang inkonstitusional. Pada titik ini, sadar atau tidak sadar, nasionalisme kita tergerus oleh sikap intoleransi. Ironisnya, nasionalisme akan menjelma kembali sebagai primordialisme.