Sabtu, April 27, 2024

Tiga Kado Terindah di Hari Santri 2019

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.

Lima tahun lalu, di awal-awal menjadi presiden untuk pertama kalinya, Joko Widodo memberikan kado terindah bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar berciri dan bermental santri. Kado itu berupa Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang Penetapan Hari Santri sebagai Hari Nasional yang dirayakan setiap tanggal 22 oktober.

Seiring perjalanan waktu, berbagai elemen masyarakat yang peduli dengan sejarah kesantrian—terutama dunia pesantren yang selama ini menjadi habitus keilmuan para santri maupun organisasi keagamaan seperti NU yang para jamaah dan jam’iyahnya sebagian besar berkarakter santri—melakukan aneka macam kegiatan dan perhelatan guna menyemarakkan Hari Santri Nasional (HSN)

Dalam kaitan ini, perayaan HSN digelar para santri dengan aneka rupa ekspresi dan beragam eksplorasi. Pada tataran simbolik, perayaan HSN diimplementasikan dalam bentuk karnaval santri yang menampilkan berbagai khazanah kesantrian maupun bentuk upacara santri yang dilazimkan menggunakan sarung. Pada tataran substantif, dimanifestasikan melalui revitalisasi pemikiran santri yang menyinergikan corak keislaman dan keindonesiaan dalam satu tarikan nafas dan reaktualisasi sejarah santri yang berperan besar dalam kemerdekaan Republik Indonesia.

Adapun pada tataran metafisik, ada yang mewujudkannya dalam kegiatan mujahadah kubro untuk mendoakan para masyayikh pesantren dan para ulama maupun pejuang bangsa yang berkontribusi besar dalam meletakkan dasar-dasar literasi pendidikan dan pengajaran melalui lembaga pesantren.

Kini, setelah berjalan lima tahun, tentu ada yang istimewa dalam penyambutan HSN di tahun 2019 ini. Secara emosional, kado terindah HSN tahun 2019 mungkin setara nuansa psikologisnya dengan tahun 2015, baru dan penuh haru, lantaran memperoleh pengakuan dari presiden. Akan tetapi, secara monumental, ada tiga elemen penting dalam perayaan HSN tahun 2019 yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Pertama, pengesahan Undang Undang (UU) Pesantren pada 24 September 2019. Kedua, pelantikan KH Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden yang mendampingi Joko Widodo sebagai Presiden pada 20 Oktober 2019. Ketiga, melalui isyarah bathiniyah, besarnya kemungkinan beberapa kalangan santri plus, baik yang berkiprah di dalam negeri maupun berdiaspora ke luar negeri, yang  akan dilibatkan dalam jajaran kabinet 2019.

UU Pesantren

Di sadari atau tidak, UU Pesantren yang disahkan sejak sebulan lalu, sebenarnya sudah sejak lama mengendap dalam pikiran dan benak para pengasuh pesantren dan santri. Bahkan, dari saking lamanya negara ini memberikan rekognisi kiprah pesantren sebagai cikal bakal pendidikan yang berlangsung di Indonesia, tidak sedikit harapan yang membuncah di benak para sesepuh perlahan mulai mengeras seperti batu yang sudah sangat susah diurai lagi buliran-buliran hikmah dan harapnya.

Namun demikian, dalam konteks politik kebijakan, memang tidak mudah meyakinkan banyak pihak yang terlibat dalam proses legislasi dan berbagai pihak lain yang bisa peduli terhadap sejarah pesantren. Selain itu, sebagaimana jamak diakui, pengesahan sebuah undang-undang memang membutuhkan perjuangan dan kesabaran. Maka, ketika UU Pesantren disahkan oleh DPR, sejak saat itulah pesantren akan direkognisi oleh negara dengan berbagai konsekuensinya.

Setidaknya, dengan mengapresiasi dan merekognisi habitus keilmuan santri melalui UU Pesantren negara mempunyai niat baik untuk mengenal lebih mendalam identitas santri dan keberadaan pesantren sebagai khazanah kenusantaraan. Dan ke depan pesantren akan diperhatikan oleh negara, baik dalam aspek pengelolaan lembaga, tata kelola pendidikannya, pengelolaan anggarannya, dan semacamnya. Itulah salah satu “berkah” UU Pesantren, kado terindah dalam momentum HSN 2019.

Pelantikan KH Ma’ruf Amin

Meski mungkin tidak bisa diyakini sepenuh hati bahwa pelantikan KH Ma’ruf Amien akan menjadi bagian terpenting yang bisa menentukan arah momentum HSN di tahun 2019 dan lima tahun mendatang, atau apakah keberadaan KH Ma’ruf Amien akan berkorelasi kuat dengan masa depan santri di kancah nasional maupun global, secara psikologis keberadaan Kiai Ma’ruf sebagai representasi santri kalangan sepuh yang tampil sebagai wakil presiden, adalah “keberkahan” tersendiri yang mungkin tidak bisa jelaskan secara eksplisit.

Setidaknya ketika ada kalangan santri yang berani tampil di panggung kekuasaan dan tentu harus siap menanggung segala risiko, hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan yang patut diapresiasi. Sebab, habitus pergerakan santri yang selama ini hanya berjuang di pinggiran dan berjibaku secara kultural, tentu tidak dapat dijadikan bukti progresif apakah nyali kesantriannya akan bisa selaras saat masuk di panggung kekuasaan. Apalagi, dalam setiap benak orang, kekuasaan sudah distigmatisasi sebagai salah bentuk penyimpangan dan beririsan kuat dengan korupsi.

Pada titik ini, ketika Kiai Ma’ruf Amien dilantik menjadi wakil presiden menjadi penanda sejarah baru di eral milineal yang mengulang sejarah lama ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden maupun sesepuh santri lainnya yang terlibat dalam panggung kekuasaan di zaman Orde Baru maupun Orde Lama.

Bagaimanapun tentu kami berharap besar agar Kiai Ma’ruf bisa menjalankan tugas negara dan amanah rakyat dengan baik dan penuh tanggung jawab. Setidaknya, panggung kekuasaan akan menjadi laboratorium kesantrian paling nyata; apakah nilai-nilai kepesantrenan yang mengajarkan tentang kesederhanaan, kebersahajaan, keilmuan, dan semacamnya bisa diterapkan dengan baik saat mengendalikan roda kepemerintahan. Pada titik ini, pelantikan KH Ma’ruf Amin bisa menjadi kado terindah dalam HSN 2019.

Santri Plus dalam Zaken Kabinet

Selama ini banyak santri yang berkiprah di dalam negeri maupun luar negari dengan segala prestasi akademik dan non-akademik. Bahkan, dengan ragam keilmuan berlatar multidisiplin, banyak santri yang mengontribusikan dirinya demi agama dan Indonesia. Para santri yang punya keahlian dengan profesinya masing-masing tentu tak bisa hanya berkiprah di pingggiran.

Para santri bertalenta tersebut perlu ditantang untuk membangun Indonesia melalui lingkup kekuasaan. Setidaknya, melalui lingkup kekuasaan, mereka  yang sudah lama mempunyai idealisme untuk membangun Indonesia diberikan kesempatan untuk mewujudkannya.

Dalam konteks ini, ada beberapa figur santri baik yang berkiprah di dalam negeri maupun luar negeri dengan kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni. Semisal KH Yudian Wahyudi yang mempunyai rekam jejak akademik hingga mendunia patut dilibatkan dalam zaken kabinet di bagian pendidikan dan kebudayaan. Pengalamannya mengelola lembaga pendidikan baik sekelas perguruan tinggi maupun pesantren perlu ditransfer ke lingkup kekuasaan agar bisa membangun otoritas kebijakan yang benar demi kemajuan pendidikan dan kebudayan Indonesia.

Demikian pula kehadiran KH Nadirsyah Hosen yang selama ini berkiprah di luar negeri dan berjibaku dengan pengayaan pemikiran keagamaan yang moderat serta keberaniannya menyinergikan semangat keagamaan dan keindonesiaan dalam satu tarikan nafas. Gus Nadir, begitu Nadirsyah Hosen akrab disapa, sangat pantas bila dilibatkan dalam zaken kabinet dengan posisi menteri agama misalnya.

Salah satu tantangan besar yang dihadapi negara ini adalah gerakan radikalisme yang menggunakan agama sebagai alat proliferasinya. Maka, menteri agama yang paling otoritatif dalam menangkal pergerakan radikalisme—dan tentu juga bekerjasama dengan kementerian dan lembaga lain—harus dijabat oleh seorang ilmuwan pemberani dan petarung, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Selain itu, Nadirsyah Hosen sudah lama mengenyam dunia pesantren dan sangat gigih menekuni dunia literasi keislaman, baik yang klasik maupun kontemporer. Karenanya, dia patut diberikan kesempatan untuk menguji nyali kesantriannya dalam memberantas gerakan radikalisme melalui lingkup kekuasaan. Menurut saya, Kementeri Agama adalah posisi yang sesuai bagi Nadirsyah Hosen untuk menghibahkan dirinya demi Indonesia sebagai negara baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Itulah tiga elemen penting yang menjadi kado terindah HSN 2019. Semoga kader-kader santri bisa memainkan perannya dengan amanah dan bisa mendistribusikan orkestrasi beban Indonesia dengan harmonis.

Bacaan terkait

Hari Santri, Kaum Sarungan, dan Istana

Ada Apa dengan Kiai-Kiai Muda NU

Dari Cantrik, Shastri, hingga Santri

Hari Santri, Kebangkitan Kedua Politik Santri

Santri, Nasionalisme, dan Jihad Zaman Now

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.