Beberapa waktu lalu kita mendengar kembali percakapan tentang pelbagai fatwa yang sudah dan akan dikeluarkan oleh lembaga fatwa di beberapa organisasi Islam kita. Majelis Tarjih Muhammadiyah telah memfatwakan, menggunakan Vape atau rokok elektrik itu haram.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyatakan kesiapannya untuk menfatwakan Netflix haram, meskipun ini kemudian dibantah lagi oleh pihak MUI.
Sebelumnya, MUI Bandung memberikan fatwa kepada Dewan Kemakmuran Masjid Bandung untuk mensterilkan masjid sebagai tempat tidur dan lain sebagainya.
Sudah barang tentu, respons masyarakat terhadap fatwa atau rencana fatwa di atas terpecah. Ada yang setuju dan ada yang tidak, ada yang menerima dan ada yang tidak. Pro-kontra di atas menunjukkan bahwa pengaruh fatwa memang masih ada di kehidupan masyarakat, meskipun fatwa bukan bagian dari hukum positif kita.
Catatan Syafiq Hasyim kali ini menyoroti bagaimana sikap yang bisa diambil oleh umat Islam pada umumnya dalam menghadapi fatwa-fatwa di atas?
Apakah mereka sebaiknya menerima ataukah menolak? Jika menerima posisi mereka harus seperti apa terhadap pihak yang tidak mau menerima?
Dalam Catatan Syafiq Hasyim episode pertama sudah disinggung masalah definisi fatwa, siapa yang berhak mengeluarkan dan bagaimana fatwa itu dikeluarkan. Kali ini saya akan membahas secara khusus bagaimana kita semua harus bersikap pada fatwa.
Pertama, fatwa itu bukan hukum (al-hukm) itu sendiri, tapi pendapat hukum Islam. Dalam sebuah kitab kontemporer yang berjudul al-Ifta’ Bayna Siyaj al-Madzhab wa Ikrahat al-Tarikh (Dar al-Thali’ah: 2014), ditulis oleh Prof. Zahia Juwairu, dikatakan bahwa ifta –memberi fatwa—adalah “ikhbaru bi hukmin syar’iyyin min ghayri ilzamin,” memberikan khabar hukum syariat tanpa ikatan.
Titik tekan di sini adalah “ghayri ilzamin”, tanpa ada ikatan dan keharusan.
Seorang mufti –pemberi fatwa—menurut Prof. Juwairu adalah pihak pemberi khabar atas hukum syariat, terhadap sebuah masalah yang ditanyakan padanya, tanpa didasarkan pada keharusan untuk mengikutinya: “amma al-mufti fa huwa al-mukhbiru an hukmin syar’iyyin fi mas-alatin yus-alu ‘anha la ‘ala wajhi al-ilzam.”
Di sinilah lahir pengertian, jika fatwa itu berbeda dengan hukum, sebagaimana beda antara mufti dan hakim (h. 40).
Bedanya di mana? Jika fatwa itu tidak ilzam (mengikat), maka hukum itu ilzam (mengikat). Hukum atau keputusan hakim itu mengikat, karena hakim memperoleh delegasi kekuasaan dari Sultan (penguasa).
Berdasarkan pandangan di atas, maka fatwa yang berseliweran di hadapan kita setiap hari, tidak memiliki kekuatan ilzam. Ini bagian dari diskursus sosial-keagamaan kita sehari-hari, yang mana kita bisa mengikuti dan tidak.
Lain halnya jika sebuah pengadilan memutuskan bahwa Vape tidak boleh digunakan bagi umat Islam di Indonesia, maka kita wajib menaatinya. Sepanjang itu masih berupa fatwa, fatwa tentang apa saja dan oleh siapa saja, maka misalnya fatwa haramnya Vape, Rokok, Netflix, dlsb, tidak ada ilzam pada masyarakat Muslim Indonesia untuk mematuhinya.
Apakah lalu kita tidak boleh mengikuti fatwa-fatwa tersebut? Ya boleh saja, tidak ada larangan sama sekali juga untuk merasa terikat (ilzam), namun yang mengikuti sebuah fatwa juga tidak memiliki hak untuk menyatakan mereka yang tidak terikat dengan fatwa itu salah dan sesat.
Karenanya, apa yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita di mana orang yang mengikuti fatwa tertentu menyalahkan orang yang tidak mengikuti fatwa tersebut. Dan sebaliknya pula, orang yang tidak mengikuti fatwa, menyalahkan yang mengikuti fatwa. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi, apalagi menjadi penyebab keterpecahan sosial.
Di sinilah sebenarnya letak demokrasi di dalam fiqih fatwa itu sendiri, di mana masyarakat muslim memiliki kebebasan penuh untuk ikut dan tidak ikut, untuk terikat dan tidak terikat pada sebuah produk fatwa keagamaan.
Selama ini kehidupan keagamaan kita seolah-olah mewajibkan untuk umat Islam tunduk pada semua produk fatwa. Hal ini bisa terjadi karena ada upaya politisasi fatwa oleh kelompok tertentu agar cara pandang mereka tentang Islam di Indonesia bisa mendominasi.
Kembali lagi pada pertanyaan bagaimana sikap kita atas fatwa di atas, bolehkah kita bertanya soal argumentasi yang dimiliki oleh seorang mufti dalam memberikan fatwa mereka?
Menurut Ahmad Ibn Hamdan al-Harrani al-Hanbali dalam kitabnya Sifat al-Fatwa wa al-Mufti wa al-Mustafti (h. 84) di sana dia menyatakan, bahwa seorang pencari fatwa boleh bertanya pada mufti tentang argumen (hujjah) yang digunakan oleh seorang mufti dalam mengeluarkan fatwa untuk kehati-hatian bagi si penanya.
Pendapat yang demikian ini artinya memberikan peluang kritisisme pada sebuah produk fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti.
Sebagai catatan terakhir, di dalam kehidupan keagamaan, menurut teori hukum Islam (Usul Fiqih), kaitan dengan fatwa, kita terbagi ke dalam dua kelas.
Pertama, kelas pemberi fatwa (mufti) yang terdiri para mujtahid dan ulama yang memenuhi syarat. Kedua, kelas masyarakat biasa (mustafti), yakni mereka semua yang tidak memiliki kapasitas untuk memberikan fatwa. Siapa mereka ini? Ya kita semua.
Hanya saja dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang “gedhe rumongso”, baru mengetahui barang secuil, bahkan belajar agama dari sumber-sumber yang tidak otoritatif, sudah menempatkan diri menjadi mufti. Memberi pendapat hukum sana sini, menyalahkan orang ini dan itu, dan apalagi merasa benar sendiri.
Sudah semestinya kita tidak melakukan apa yang tidak kita bisa apalagi berkaitan dengan pendapat hukum Islam. Ini berbahaya sekali.
Sekali lagi, sebagai masyarakat muslim, kita tidak diwajibkan untuk mengikuti fatwa dari pihak manapun.