Dalam kasus prostitusi, yang diminta untuk agung, bersih, dan suci adalah kaum perempuan. Oleh karena itu, mereka yang paling banyak direndahkan dan dimintai pertanggungjawaban. Sementara si laki-laki, yang wajar kalau dikasih ikan asin, yang wajar kalau lihat dada bernafsu, nyaris tak tersentuh, karena memang secara terberi, oleh Tuhan Yang Maha Esa, mereka diciptakan penuh nafsu dan binal. Maka tak menarik mencari tahu siapa laki-laki yang punya uang sekian puluh juta untuk menggunakan jasa prostitusi.
Barangkali yang membuat prostitusi itu menakutkan bagi lelaki di Indonesia, karena perempuan bisa menentukan harga tubuhnya sendiri. Mereka punya kuasa atas tubuhnya dan menentukan siapa-siapa yang berhak memakai, si laki-laki tak bisa memaksakan kehendaknya tanpa ada harga yang harus dibayar dan ini membuat mereka tak nyaman. Selama ini perempuan mesti tunduk karena itu fitrah, karena itu perintah agama, karena itu norma.
Peradaban kita mengajarkan laki-laki itu keren kalau tidur dengan banyak perempuan. Maka saat ada penangkapan prostitusi, pihak aparatus negara yang diwakili petugas hukum sibuk mencari siapa lagi pelacur yang menjual jasa layanan seksualnya? Bukan mencari tahu siapa pejabat publik, ustadz, pendeta, pengusaha, atau laki-laki yang menggunakan jasa itu. Karena si pembeli tidak salah, si penjual yang salah. Atau karena mereka perempuan jadi salah?
Yang kerap kita lupakan dari relasi seksual transaksional bernama prostitusi, ada dua pihak yang berkepentingan. Satu membutuhkan uang, sementara yang lain membutuhkan kepuasan. Tapi dalam pembagian beban tanggung jawab ketika terjadi penggrebekan, publik fokus pada si perempuan, sementara si laki-laki bisa dengan bebas menyembunyikan identitasnya tanpa harus dihakimi.
Sebagian kita, yang intelektual maupun tidak, berkelakar tentang apa yang bisa didapat dari 80 juta. Sembari merendahkan perempuan lain yang mungkin tidak pernah ikut jaringan prostitusi, kita mengomentari tubuh, wajah, hingga kelakuan orang lain. “Ah, 80 juta mah cari anak kuliah bisa tiap hari gratis”. “Ah, 80 juta mending ke sono murahan dikit, bisa 10 kali”. Seolah 80 juta tadi jadi harga yang pantas untuk merendahkan ibu, adik perempuan, atau istri kita.
Sebagian dari kita memang diberikan mukjizat oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk berkomentar demikian keji pada orang lain yang berbuat dosa tapi ketahuan. Hingga melupakan pada satu waktu, seorang manusia suci pernah berkata: “Orang yang tidak berdosa di antara kalian hendaklah dia menjadi yang pertama melempar perempuan itu dengan batu.”
Tapi mengapa kita demikian benci pada perempuan? Mengapa kita punya obsesi kemurnian untuk membuat mereka selalu suci, selalu bersih, dan selalu baik? Sementara yang laki-laki tak punya usaha mencakapkan diri dengan menahan birahinya untuk tidak tegang setiap melihat kulit putih perempuan yang ada? Apakah menjaga kesucian tanggung jawab perempuan sementara laki-laki baru diminta bertanggung jawab setelah tak mampu menahan nafsunya?
Ini mengapa ide tentang sekolah ibu jadi penting. Mungkin maksud pemerintah, sementara ibu sibuk belajar untuk jadi budak suami, ayah bisa jajan di luar sana tanpa ketahuan. Bukankah yang perlu dididik adalah perempuan? Karena yang menjual jasa kan perempuan? Laki-laki hanya membeli. Bukan salah yang beli dong.
Kita mengenal berbagai jenis sebutan untuk perempuan yang bekerja sebagai penyedia jasa seks komersial. Mulai dari alku, ayam kampung, baktau, barua, batau, bondon, bunga latar, bunga raya, cabo, gongli, hostes, jaruman, jobong, kembang latar, kupu-kupu malam, lanji, loki, loktong, lonte, lucah, moler, pandiang, pekcun, pendayang, penghibur, perek, pinang muda, pramunikmat, pramuria, purel, sengseong, sundal, wanita tunasusila, cocor merah, munci, perempuan geladak, perempuan jalang.
Sementara laki-laki si pengguna jasa?
Karena laki-laki nakal itu wajar, sementara perempuan harus santun, harus suci, harus menjaga diri. Dalam persoalan prostitusi, publik tak pernah peduli terhadap laki-laki. Jika ia seorang pejabat yang tertangkap tidur dengan perempuan yang bukan istrinya, kita sibuk mengomentari ukuran penis. Bukan bertanya, apakah pajak publik yang disalurkan melalui uang dinas digunakan untuk ngelonte? Apakah si pejabat menggunakan statusnya untuk mendapatkan layanan prostitusi?
Tentu kita tidak berpikir sejauh itu, kebanyakan dari laki-laki yang kemudian berkomentar tentang peristiwa ini fokus pada satu hal. Dan itu bukan pada perlindungan identitas si perempuan atau pengungkapan jaringan jual beli manusia atas nama layanan prostitusi, tapi siapa yang punya rekaman video senggama tersebut. Mutu peradaban kita yang mengklaim telah mempersiapkan perjalanan ke Mars atau bersiap hijrah dengan janggut dan celana cingkrang, toh masih kalah dengan keinginan menonton video 3gp minim estetik berisi artis yang sedang senggama.