Sabtu, Desember 7, 2024

Tentang Pernikahan Dini Anak Muda Masa Kini

Arif Utama
Arif Utama
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
- Advertisement -
Alvin-dan-Larissa
Larissa Chou dan Alvin Faiz (ilustrasi).

Membaca tulisan Ferena Debineva berjudul Menikah dan Prestasi: Membandingkan Apel dan Meja Kerja menuntun saya pada pemikiran yang lebih mendasar tentang pernikahan. Yang saya tahu, selalu saja persoalan pernikahan sangat pendek urusannya: jika tak urusannya ingin menjauhi zina, ya ingin memiliki keturunan anak. Singkatnya, nikah akan membuka ikhtiar kawin yang legal di masyarakat lalu mewujudkan eksistensi manusia di muka bumi ini. Padahal, jelas tak semudah itu.

Nikah itu ribet, dan kecuali pikiran Anda memang sempit, Anda merasa buru-buru nikah adalah hal yang baik. Dan sudah titahnya bahwa yang buru-buru itu tidak baik. Namun menyalahkan sepenuhnya kepada mereka yang nikah dengan cepat juga tak bisa sepenuhnya dibenarkan. Karena, selama ini pengetahuan kita tetang cinta—yang seringkali dikaitkan dalam urusan pernikahan itu—memang kurang.

Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Kalaupun ada, paling semisal novel-novel cinta yang tak menembak secara banal apa pemaknaan tentang cinta itu sendiri. Begitu pula dengan film dan lagu tentang cinta. Semuanya sendiri tak mendefinisikan secara konkrit dan matang tentang cinta sendiri.

Dan dari kontak fisik itu, semuanya kerapkali berakhir dengan hubungan seks. Padahal, “cinta” sendiri tak melulu soal “seks”, karena ada juga yang disebut dengan “cinta tanah air” atau “cinta keluarga” yang merujuk ke bentuk lain dair cinta. Tapi, secara umum cinta memang lebih dekat dengan dua insan. Kita menerka tanpa tahu sebenarnya cinta itu apa.

Lagi pula, jikapun memang cinta antara dua insan memang berakhir pada seks, itu jelas berbeda dengan seks itu sendiri. Sigmun Feud, misalnya, mengatakan bahwa seks sendiri tak memiliki objek. Tentu hal ini menggambarkan bagaimana hewan bisa kawin lalu pergi dan mengawini manusia lainnya.

Sementara cinta sendiri berbeda—ini sendiri mengaitkan tentang hubungan emosional dan membutuhkan objek. Kontak fisik adalah bahasa kita untuk mengungkapkan hubungan emosional kita terhadap yang dicintai. Ia meneliti semuanya dari psikoanalisis

Kemudian Freud menjelaskan dalam bukunya Group Psychology and the Analysis of the Ego bahwa libido adalah ekspresi kuantitatif dari semua energi yang dirangkum menjadi cinta. Sayangnya, Freud tak membedakan jenis cinta seperti apa yang sedang ia maksud. Hal ini mungkin juga menggambarkan gambaran umum tentang bagaimana cinta dan seks sendiri memang memiliki peran yang tumpang tindih.

Hal ini diperparah dengan tabunya dengan pengetahuan tentang seks yang kurang di masa pubertas misalnya. Remaja, yang sedang mencari jati diri, turut menyelam mencari sendiri pemaknaan tentang cinta itu sendiri. Ia mengerti kadang ia merasakan libido untuk mengawini lawan jenisnya. Atau hal yang lebih dari itu: sesuatu rasa yang menuntut kasih sayang dan rasa tertarik. Tapi di antara keduanya, selalu misalnya, dalam kehidupan laki-laki, membicarakan tentang ukuran dada dan lainnya akan menjadi sesuatu. Memiliki pacar seksi atau cantik menjadi ajang sebagai maskulinitas kemudian.

Hal ini tentu bisa dicegah bilamana informasi mengenai otoritas tubuh itu bisa dipelajari secara bijak. Membeberkan tentang kelamin dan bagaimana sepatutnya cinta itu ada dua hal yang, meski dekat dan seringkali tercampur, berada di dimensi yang berbeda. Seperti layaknya susu dan soda, keduanya adalah wujud yang berbeda—kendati bisa disatukan menjadi susu soda.

Jawaban tak memuaskan seperti, “nanti kalau sudah waktunya kamu sudah akan tahu…” membuat tiap remaja, dengan emosi yang menggebu-gebu dan hormon yang tak stabil, mengeksplorasi tubuhnya. Mencari apa yang disebut cinta dalam seks karena enggannya orangtua membicarakan tentang seks di depan anaknya.

- Advertisement -

Baru ketika mereka dewasa, hal-hal yang mengharuskan seseorang melakukan seks seperti “ingin menimang cucu” atau “menjauhi zina” menjadi suatu hal yang dianggap menjadi tujuan dari pernikahan.  Tak hanya perempuan, tapi juga laki-laki.

Padahal menikah tak melulu soal batang dan lubang. Ada soal finansial yang harus matang, ada ideologi yang meski tak harus searah tapi harus tetap bisa beriringan, ada mentalitas yang harus matang juga. Maka tak jarang kemudian, dalam kisah nikah muda biasanya akan berakhr dengan cepat. Karena adanya fase fluorescent adolescent—fase kaget saat seseorang menyadari bahwa pasangannya sangat jauh dari yang ia harapkan.

Dalam The Woman in Love, Simone de Beavoir mengatakan bahwa perempuan takkan menyerahkan dirinya begitu saja. Namun, ada serangkaian tes yang harus diberikan kepada sang laki-laki. Laki-laki yang akan dinikahinya, misalnya, harus memberikan rasa aman, rasa kagum, dan rasa sayang. Sehingga sang perempuan takkan merasa direndahkan bahwa ia telah bergantung pada laki-laki.

Nilai-nilai macam ini, kemudian dipermainkan oleh masyarakat dan diperparah dengan jual buku islami. Mengatakan nikah di masa belum mapan adalah omong kosong yang terlalu utopis untuk dijalani. Mengatakan bahwa nikah di masa muda akan berakhir dengan perjalanan tak terduga. Mengatakan bahwa menikah adalah tangga paling instan menuju ke surga sekaligus bebas dari cibiran masyarakat dan kekhawatiran orangtua. Yang saya tahu,  jika perjalanan itu berarti membunuh masa muda dan dipusingkan dengan perkara rumah tangga, itu betul.

Menikah membuat seorang perempuan harus terkait dengan suaminya. Kasarnya, untuk tunduk dan berada di satu level di bawah suaminya dalam budaya kita. Tentu membahagiakan jika rupanya seseorang rupanya sudah secara hati-hati untuk menikah. Namun, jika rupanya seseorang terburu-buru untuk menikah hanya untuk mendapat label halal saja? Ya, sebaiknya ke Majelis Ulama Indonesia saja, daripada pertimbangan setengah matang itu malah menjadi sesal yang abadi untuk selamanya.

Atau bertobatlah. Mengapa? Ya, selama ini pikiran Anda terlalu kotor karena hanya memikirkan nikah dari urusan lubang dan batang saja!

Arif Utama
Arif Utama
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.