Kamis, Oktober 3, 2024

Tentang Para Juara dan Beberapa Catatan Atasnya

Mahfud Ikhwan
Mahfud Ikhwan
Penulis Novel "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu"; Pengelola Blog Belakanggawang.

Segala puji bagi Manchester City atas musim terbaik di sepanjang sejarah mereka. Ini treble pertama City, demikian media akan menghitung. Bukan. “Empat gelar!” tegas Pep Guardiola di tengah perayaan timnya, sembari memasukkan lempengan Community Shield dalam hitungannya. (Rupanya, ia bisa terdengar seperti Mourinho juga.)

Semua orang mungkin masih akan membicarakan dan akan terus membicarakan permainan spektakular Liverpool di musim ini (dan malam heroik mereka di Anfield melawan Barcelona, lebih-lebih jika di awal bulan depan mereka mendapatkan gelar Eropa-nya yang keenam)—dan, tentu saja, kegagalan mereka untuk kesekian kali atas gelar Liga yang hampir. Juga karena keganasan tiga pemain depan mereka—yang dua di antaranya, Mane dan Salah, mendapatkan sepatu emas. Sementara bek Virgil Van Dijk menjadi yang terbaik di Liga.

Tapi siapa yang membutuhkan top skorer, jika nyaris seluruh pemain timmu bisa mencetak gol? Juga, tak terlalu dirisaukan siapa pemain terbaiknya apabila hal terbaik dari yang terbaik dari sepakbola, yaitu gelar, didapatkan dalam dua musim beruntun. Mereka adalah tim pertama di Liga Inggris yang mampu mempertahankan gelar setelah terakhir MU melakukannya sedekade lalu.)

Maka, sebaiknya, mari sematkan segala kredit atas apa yang mereka lakukan dan dapatkan. Tanpa ragu. Tak perlu diperdebatkan. Seperti ditegaskan oleh pernyataan Jurgen Klopp usai pertandingan di pekan terakhir. “Kami gagal juara bukan karena kurang beruntung,” katanya. “Kami gagal karena Manchester City.”

Lihat dua pertandingan Liga terakhir mereka di pengujung musim, maka akan terlihat nyaris semua hal yang menggambarkan kualitas tim ini di sepanjang musim.

Gol tendangan geledek Kompany pada pertandingan melawan Leicester City adalah gol seorang juara untuk sebuah tim juara. Mereka menderita di sepanjang pertandingan oleh tim yang tengah mengalami rejuvenasi oleh sentuhan mantan pelatih Liverpool, Brendan Rogers, dan tiba-tiba kapten mereka menciptakan gol dari kondisi ketiadaan. Gol yang membuat Gary Neville terlontar dari kursi komentatornya.

Pertandingan Liga terakhir mereka melawan Brighton, seperti yang pernah diperkirakan kolom ini, tidak begitu saja berjalan mudah. Mereka tertinggal oleh gol Glen Murray justru ketika terdengar berita Liverpool tengah memimpin atas Wolves. Itu kondisi yang sama yang mereka alami nyaris sepanjang musim ini. Tapi, hanya butuh beberapa detik bagi Kun Aguero untuk menenangkan timnya. Ini mungkin bukan “Momen Aguerooooo!!!” seperti di musim 2012, tapi Aguero selalu saja menciptakan momennya. Setelah itu, pertandingan berjalan mudah untuk mereka. Laporte, Mahrez, dan Gundogan, membuat mereka unggul 4-1 dan menjadi juara. (Lihat, di pertandingan yang sangat menentukan, daftar pencetak gol Man City bahkan tampak tidak biasa.)

Sebuah surel lama yang bocor, yang kemudian di-blow-up oleh media Jerman, Der Spiegel, yang mengindikasikan bahwa mereka menyiasati peraturan keuangan UEFA, dan menunjukkan tanda seperti yang telah lama dicurigai bahwa secara finansial mereka menginduk pada keuangan pemeritahan Uni Emirate Arab, mungkin akan menjadi pengganjal langkah mereka. (Bagi penggemar MU, berita ini pasti terdengar seperti angin surga berikutnya, setelah sebelumnya mereka ikut berpesta atas kegagalan Liverpool merebut gelar Liga di musim ke-29-nya). Para pengkritik dan pembenci mereka bahkan berharap Man City, bersama PSG, yang diperkirakan melakukan hal yang sama, dibuang dari kompetisi Eropa. Karena faktor ini, sebuah media di Italia bahkan berspekulasi bahwa Pep Guardiola akan pindah ke Juventus.

Rasa-rasanya Pep tak perlu ke mana-mana, dan seharusnya tak ke mana-mana, bahkan jika itu ke klub seperti Juve yang sudah pasti menjamin gelimang uang dan gelar. Salah atau benar tuduhan itu, secara sepakbola apa yang dilakukan City dan Pep sudah ada di jalurnya. Permainan bergaya, sepakbola berkonsep, pembelian pemain yang jarang gagal (setelah selama sedekade buang-buang uang, lihat bagaimana pesona Bernardo Silva dan betapa vitalnya Aemeric Laporte musim ini), akademi yang berkembang pesat, bibit-bibit muda yang mulai mekar (Jadon Sancho di Dortmund, Brahim Diaz di Madrid, dan Foden dan Zinchenko yang tetap di tim), sedang jadi barang langka bagi tim-tim yang bahkan punya kekuatan finansial yang lebih mapan. Lebih dari itu semua, sebuah dinasti dan warisan sepakbola yang akan dikenang dalam waktu lama mulai terlihat gambarannya.

(Dengan kekuatan uang dan keganasan ambisi yang lebih besar, coba bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh PSG. Juga, bandingkan dengan warisan berdekade-dekade yang mulai memudar macam yang terjadi di Barcelona, atau yang dengan cepat runtuh seperti di MU.)

Dan, bagi City, tak ada waktu yang lebih tepat lagi untuk menorehkan masa terbaik mereka melebihi musim ini. Vincent Kompany, kapten mereka, kapten terbaik di sepanjang sejarah mereka barang kali, pergi setelah 11 musim. Ia akan kembali ke klub masa kecilnya, Anderlecht, sebagai pelatih yang bermain.

***

Arjen Robben dan Franck Ribey juga mendapat upacara pelepasan yang sempurna ketika—akhirnya (!)—Bayern Munchen berhasil mempertahankan gelar Bundesliga. Yang lebih sempurna, dua pemain yang dalam satu dekade terakhir menjadi lambang dominasi Bayern di Jerman tersebut mencetak gol di pertandingan terakhirnya di Alianz Arena.

Robbery menangis di depan pendukung Munchen dan spanduk raksasa mereka yang berisi ucapan terimakasih dan kata-kata perpisahan. Dan itu air mata yang pantas. Ribbery datang dari Marseille ke Munchen dengan roker pembelian tertinggi untuk Bayern pada 2007, dan mencetak banyak rekor dan banyak gol selama 12 musim kemudian. Ia jadi pemain Bayern yang mendapat gelar terbanyak (24) dan gelar Liga terbanyak (9).

Sementara “Niko Kovac tertawa lega,” kata sebuah media Jerman, setelah mengantar Bayern mempertahankan gelar Liga yang disebut-sebut paling sulit yang pernah mereka jalani di dekade ini. Mereka terus tertinggal dari Borussia Dortmund—dengan pasukan mudanya, serta kemunculan berlian Inggris di Jerman bernama Jadon Sancho dan berapinya kembali meriam padam dari Spanyol bernama Paco Alcacer—hampir sepanjang musim. Bahkan, mereka sempat tertinggal sembilan angka, sebelum Dortmund melambat di sepertiga akhir kompetisi, dan dihancurkan Bayern 5-0 di awal April.

Mario Gomez kembali ke Mercedez-Benz Arena di Stuttgart, tim yang pernah dibawanya juara Bundesliga pada 2007, setelah sepuluh tahun pergi. Dan di akhir musim, di tengah Stadion An der Alten Forsterei yang diserbu penonton, ia mesti menenangkan rekan-rekannya, setelah kalah play-off degradasi melawan Union Berlin. Di antara mereka adalah Benjamin Pavard, yang musim panas tahun lalu menjadi Juara Dunia bersama Prancis di Rusia dan kiper Ron-Robert Ziller yang menjadi pelapis Manuel Neuer di Brazil 2014.

Identik sebagai klub milik serikat buruh dari bekas Jerman Timur, FC Union dulu adalah tetangga tak menyenangkan bagi klub yang dimiliki dinas polisi rahasia (Stasi), Dynamo Berlin, penguasa nyaris tunggal sepakbola Jerman Timur selama masa Perang Dingin—“yang memenangkan banyak pertandingan karena penalti di menit ke-95,” kata Simon Kuper di bukunya, Soccer Against the Enemy. Sementara FC Union naik ke Bundesliga untuk pertama kalinya, Dynamo masih ada di liga kasta keempat.

***

Setelah menjadi pelatih dengan gelar domestik terbanyak bersama Juve, maka imbalan terbaik untuk Max Allegri adalah diberhentikan. Ini sekali lagi menunjukkan ke mana kekang zebra diarahkan: ke Eropa—hal yang tak didapat Allegri selama lima musim kerjanya.

Siapa pun yang didapat Juve untuk menggantikan Allegri, entah Maurizzio Sarri atau Simone Inzaghi atau bahkan Pep, mereka harus memenangkan gelar Eropa. Itu bukan saja demi Juventus, tapi juga demi Serie A. Sebab, dengan dominasi yang begitu hebat, namun tanpa sekeping pun trofi di level benua, Juve jadi terlihat seperti Celtic di Liga Skotlandia. Dan itu tidak bagus sama sekali untuk sepakbola Italia.

Tapi musim ini, bagaimana pun, sepakbola Italia bukan semata milik Juventus. Ini berita bagusnya.

Lazio, di bawah pelatih Simone Inzaghi, memenangi Copa Italia, trofi besar pertama mereka sejak 2013. Diperkuat pemain-pemain bekas macam Senad Lulic, Milan Badejl, Ciro Immobile, dan Lucas Leiva, atau pemain-pemain yang hanya menunggu waktu untuk pergi seperti Sergej Milankovic-Savic dan Luiz Felipe, Lazio mengalahkan tim paling menarik dan paling banyak dibicarakan di Italia musim ini, Atalanta.

Gelar ini, juga kesanggupannya membuat Lazio stabil di klasemen Liga, membuat Simone Inzaghi masuk daftar pelatih baru Juventus. Ia bisa saja tetap di Lazio atau justru ke klub lain, AC Milan misalnya. Tapi, sudah semakin jelas, di kepelatihan, karir Simone tampaknya akan lebih cemerlang dibanding Filippo.

Namun, Atalanta adalah berita utamanya. Orang kini tak hanya akan bicara tim kecil dari Bergamo ini karena akademi pemain mudanya dan/atau pemain-pemain pinjamannya. Tidak lagi.

Gian Piero Gasperini, pelatih yang dulu pernah sangat bagus bersama Genoa, kemudian rusak bersama Inter, kini kembali cemerlang bersama Atalanta. Dengan sepakbola menyerang yang elok dan menyenangkan, Atalanta tak hanya menyalip duo Milan seperti yang tampak di klasemen, tapi juga melampau semua tim, termasuk sang juara Juventus, dalam hal mencetak gol. Di Genoa dulu Gasperini mengandalkan Tiago Motta di tengah dan Diego Milito di depan. Di Atalanta ia menumpukan timnya pada gelandang sekaligus kapten asal Argentina yang baru familiar namanya di musim ini, Papu Gomes, dan striker Kolumbia yang bahkan bukan milik mereka, Duvan Zapata.

Usai memenangkan pertandingan Liga terakhir yang sengit dan keras melawan Sassuolo, para pemain Atalanta melempar Gasperini ke udara, sebagaimana Gasperini melambungkan Atalanta ke urutan ketiga. Itu urutan klasemen tertinggi yang pernah mereka capai. Dan, dengan demikian, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Atalanta akan ikut kompetisi para juara Eropa.

Sementara Inter bisa dengan lega masuk empat besar oleh gol bola pental Radja Nainggolan ke gawang sebuah klub yang berjuang melawan degradasi, Milan mesti merasa puas mengulang Liga Malam Jumat-nya. Mereka mungkin hanya berselisih satu angka dari Atalanta. Tapi, tanpa menjadi terlalu dramatis, dalam satu angka itu ada selisih kasta. Untuk tim yang tahun lalu tak lolos babak grup Europa League (melawan klub-klub gurem seperti Betis dan Olympiacos), Milan memang pantas mencoba lagi.

Pendukung Milan tak perlu terlalu bersedih. Toh mereka tak sedang ditinggal seorang legenda sebagaimana yang dialami romanisti. Danielle De Rossi, seorang juara dunia, seorang pemain yang bisa mempertemukan kebintangan dan kesetiaan, jenis pemain yang semakin langka di sepakbola Italia—dan di sepakbola mana pun di dunia yang semakin dipenuhi para tentara bayaran ini. Ia meninggalkan AS Roma, klub yang didukungnya sejak masih bocah, setelah 18 tahun memperkuatnya.

***

Dari Spanyol, Valencia adalah cerita yang lain. Menyerobot empat besar di dua pekan terakhir, ia mungkin menggagalkan dongeng bernama Leganes, klub liliput, yang hanya memiliki stadion berkapasitas kurang dari limabelas ribu (dan biasanya hanya terisi sepertiganya), yang mengintip empat besar Liga dan nyaris mendapatkannya. Tapi, Valencia tak kurang punya dramanya sendiri.

Sejak diambil alih pada 2014, Valencia, klub ketiga terbesar di Spanyol, adalah hewan percobaan bagi laboratorium bisnis pemiliknya, taipan Singapura Peter Lim. Berkali-kali ganti pelatih, bongkar pasang manajemen dan tim, dan pada akhirnya berujung pada tertatih-tatihnya mereka di La Liga. Lim mengganti Juan Antonio Pizzi yang berprestasi lumayan dengan Nuno Espirito Santo, pelatih Portugal tak berpengalaman yang dibawa super agen Jorge Mendes, rekan bisnis Lim. Nuno berhasil membawa Valencia ke Liga Champions di musim pertamanya, tapi memulai musim keduanya dengan buruk.

Pada 2015, Gary Neville adalah buah bibir di dunia penyiaran sepakbola, karena kiprahnya sebagai komentator. Namun, ia mengejutkan pendukung Valencia dan semua penggemar sepakbola, setelah di akhir tahun Peter Lim menjadikannya pelatih menggantikan Nuno. Alasannya tak bisa lain kecuali pemasaran. Maka, hanya butuh beberapa pertandingan untuk membuat Neville dan Valencia menjadi olok-olok. Dan, lima bulan kemudian, Neville balik ke Inggris dan kembali ke pekerjaan lamanya, setelah mencatatkan namanya sebagai pelatih terburuk di sepanjang sejarah Valencia. Valencia berganti pelatih sampai empat kali sampai mereka menunjuk Marcelino Garcio Toral di awal musim 2017-18 dan menemukan kestabilan. Di antara itu, mereka sempat mencium bau hangus degradasi.

Membawa kembali Valencia ke habitatnya di zona Liga Champions di musim pertamanya, Marcelino tampak akan menjadi pelatih pecatan berikutnya sejak awal musim ini dimulai. Pada awal Januari mereka terdampar di urutan 12 dan hanya berjarak empat angka dari degradasi. Direktur dan presiden klub perlu sowan ke Singapura untuk meyakinkan pemilik agar Marcelino tak dipecat. Di bawah naungan belas kasih Peter Lim, Valencia dan Marcelina bangkit di paroh akhir musim. Mereka menelikung Getafe di pekan ke-37. Di laga terakhir di kandang Real Valladolid, mereka memastikan tempat tradisionalnya di Liga Champion.

Tapi akhir termanis Valencia musim ini tentu saja terjadi di kandang Real Betis, ketika mereka mengalahkan Barcelona di final Copa del Rey. Ini adalah gelar pertama Valencia sejak pelatih Ronald Koeman mempersembahkan gelar yang sama 12 musim lalu.

Sementara Marcelino bisa memastikan bahwa dirinya tak akan mendapatkan kabar buruk dari Singapura, maka di bangku cadangan sebelas Ernesto Valverde mungkin akan pulang ke Barcelona dengan hati gundah. Dua gelar La Liga dan satu Copa del Rey tentu bukan capaian buruk. Namun, memegang tim seperti Barcelona dan dua kali tersingkir secara memalukan di dua musim terakhir Liga Champions, lebih-lebih untuk yang terakhir di Anfield, jelas menghantui CV-nya. Dan sama sekali tak mengherankan, persis saat paragraf ini sedang ditulis, nama pelatih lain mulai disebut-sebut akan menggantikannya.

Tapi bukan hanya posisi Valverde yang sedang dihantui; masa depan Barcelona juga. Mereka tampak semakin tergantung dengan Messi, sementara tempat bergantung Messi yang terakhir, Andreas Iniesta namanya, telah diboyong sebuah perusahaan elektronik Jepang ke Vissel Kobe sejak awal musim. Messi, dengan bola di kakinya, tetap bukan manusia. Tapi, jelas itu tak mencukupi untuk Barcelona—sebagaimana juga gelar La Liga. Itulah kenapa, dari sebuah klub yang dipuja karena sepakbola yang dimainkannya dan terutama produk produk akademinya yang brilian, mereka berubah jadi klub gila belanja. Apesnya, mereka belanja dengan sangat buruk.

Keburukan itu terlihat sangat mencolok saat mereka digasak Liverpool 0-4. Dan, karena itu, mereka mungkin akan lebih gila lagi berbelanja, sembari tetap berdoa agar Messi tidak tergesa menjelma manusia biasa.

Mahfud Ikhwan
Mahfud Ikhwan
Penulis Novel "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu"; Pengelola Blog Belakanggawang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.