Minggu, November 24, 2024

Tentang Hatta dan Perempuan

Tarli Nugroho
Tarli Nugroho
Penulis tinggal di Jakarta
- Advertisement -
Hatta-Menikah
Hatta menikahi Siti Rahmiati pada 18 November 1945 (dok. historia.id). Foto: Repro “Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa,” karya Deliar Noer.

Di antara para pendiri Republik, Mohammad Hatta adalah satu-satunya orang yang sangat kaku terhadap perempuan. Bahkan Haji Agus Salim yang santun sekalipun sangat pandai memuji perempuan melalui diksi-diksinya yang memabukkan. Namun, Hatta adalah seorang “pendeta”. Demikian ledek kawan-kawan segenerasinya. Dan kenyataannya memang begitu.

Menurut Soekarno, cara terbaik untuk melukiskan bagaimana garingnya Hatta terhadap kaum hawa adalah melalui sebuah kisah yang selalu diingatnya sembari tertawa geli. Suatu petang Hatta sedang dalam perjalanan ke sebuah tempat di mana penumpang lain di mobilnya hanyalah sopirnya dan seorang perempuan cantik.

Tiba-tiba, di sebuah tempat yang agak terpencil, ban mobil mereka pecah. Sopir Hatta segera pergi mencari bantuan. Dan perginya cukup lama. Ketika si sopir kembali, ia mendapati Hatta sedang mendengkur di jok depan, sementara si perempuan cantik masih duduk di belakang.

“Nék ketemu wong ayu, paling pipiné gur dadi abang, tapi blas ora bakal enék omongan opo-opo,” barangkali demikianlah penjelasan Soekarno, kalau mengomentari kawannya itu.

Karena tak tahan melihat sikap Hatta yang garing itu, ketika masih kuliah di Belanda, kawan-kawannya bahkan sampai pernah bersekongkol untuk menggoda dan menjebaknya. Mereka sengaja mengirim seorang mahasiswi Polandia yang cantik untuk menggoda Hatta. Mahasiswi itu kemudian memang berhasil mengajak Hatta makan malam. Namun, meski telah digoda sedemikian rupa, nyatanya hanya obrolan formil dan garing saja yang akhirnya meluncur dari mulut Hatta. Tentu saja hal itu membuat si gadis geleng-geleng kepala.

“Kawan kalian itu tidak tahu caranya memanfaatkan perempuan,” ujar gadis Polandia itu pada teman-teman Hatta, yang segera disambut dengan tawa berderai-derai.

Menurut Basyariah, adik bungsu Hatta, kakaknya itu sejak remaja memang hanya pacaran dengan buku saja. “Buku itulah pacar dia,” katanya suatu ketika.

Sikap Hatta terhadap perempuan itu sangat kontras sekali dengan Soekarno. Mohammad Roem bahkan memiliki lelucon mengenai hal itu. “Kalau kalian ingin menyaksikan bagaimana moncernya pikiran Soekarno, kasih dia sepuluh ribu orang, maka dari mulutnya tak akan habis-habis meluncur berbagai pemikiran yang mengagumkan. Tapi kalau tak bisa mendatangkan sepuluh ribu orang, cukup datangkan saja lima ratus perempuan, maka ide-idenya juga akan meluncur menganak sungai,” ujar Roem.

Tak heran, karena dekat sekali dengan kaum perempuan, Soekarno memiliki banyak sekali perbendaharaan kata mengenai perempuan, termasuk dalam kaitannya dengan politik.

“Tahukah Tuan-tuan apa persamaan antara usia perempuan dengan kondisi sebuah negara?” demikian biasanya salah satu model obrolan pembuka Soekarno di hadapan tamu-tamunya, terutama para wakil negara asing. Para tamu biasanya akan mendengarkan dengan tak sabar lelucon yang akan diutarakan Si Bung.

- Advertisement -

“Perempuan berumur 15 hingga 19 tahun itu seperti bangsa Afrika. Mereka liar, muda, dan belum terjamah,” ujar Soekarno sembari terkekeh. Para tamu akan menyambut pembukaan itu dengan senyuman. “Nah, perempuan berumur 20 hingga 29 tahun itu seperti Amerika. Mereka kaya, bersemangat, dan punya banyak kelebihan.” Para diplomat Amerika akan senang mendengar bagian ini.

“Sementara, perempuan berumur 30 sampai 39 tahun itu seperti India. Mereka menyimpan dan menyembunyikan banyak sekali cerita misterius. Nah, kalau perempuan 40 hingga 49 tahun, itu tak ada bedanya dengan Prancis. Dia punya kejayaan, tapi sayangnya kejayaan itu sudah lama lewat. Dan terakhir, Tuan-tuan, para perempuan yang berumur di atas 50 tahun itu seperti Soviet. Mereka besar, lebar, sehingga tak ada satu pun yang mau mendekat kepadanya,” demikian Soekarno. Penutup ini biasanya akan disambut dengan gerrr.

Kembali kepada Hatta yang garing terhadap perempuan, barangkali kegaringan itu memang ada hubungannya dengan janjinya untuk terus membujang selama Indonesia masih belum merdeka.

Ya, Hatta memang memiliki ikrar itu. Dalam pikiran Hatta, sebagaimana halnya juga yang diimani oleh Sjahrir, bagi para pejuang kemerdekaan seperti mereka, membangun rumah tangga hampir mirip dengan membangun rintangan. Daripada nantinya akan membebani istri atau keturunannya, membujang adalah pilihan yang lebih masuk akal. Hanya bedanya, meski sering mengemukakan pandangan serupa Hatta dalam hal pernikahan, Sjahrir adalah seorang “kosmopolit” dalam hal berhubungan dengan perempuan.

Persis di situ, dibanding rekan-rekannya yang lain, Soekarno adalah seorang yang sangat beruntung, karena ia memiliki istri seperti Inggit Garnasih. Perempuan itu bukan hanya mencintai Soekarno sepenuh hati, melainkan menjadi pendukung dan penyokongnya yang paling gigih pada masa pergerakan. Tak banyak perempuan yang bisa seperti itu.

Sebagai sahabat, sesudah Indonesia merdeka, Soekarno tentu saja menegur Hatta terkait kehidupan asmaranya.

“Kita sekarang sudah merdeka, Ta, mbok koen segera kawin,” ujar Soekarno suatu ketika.

Yang ditegur hanya tersenyum.

“Mosok koen nggak ono sing ditaksir blas, Ta?” tanya Soekarno.
Akhirnya dengan malu-malu Hatta mengakui bahwa sebenarnya ada satu perempuan yang nyantol di benaknya saat itu.

Soekarno, saya bayangkan, kontan girap.

Sopo, sopo?! Aku dadi mak comblangé wés,” sambut Soekarno.
Hatta makin tersipu.

“Itu, No, gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Institut Pasteur Bandung tempo hari. Sepertinya dia anak baik,” aku Hatta.

Gadis yang dimaksud Hatta tak lain adalah Rahmi, putri Haji Abdul Rahim, sahabat Soekarno semenjak masih kuliah di Bandung. Mendengar pengakuan itu Soekarno sangat bergembira.

“Ooo, aku kenal baik sama Haji Rahim. Nanti aku lamarkan dia untukmu,” janji Soekarno.

“Tapi kira-kira ditolak nggak ya, No?” tanya Hatta, khawatir.

Yo nggak ngerti. Tapi ojo watir, biasanya orang sulit menolak permintaan Soekarno,” ujar Soekarno sembari terbahak. Hatta menyambutnya dengan senyum penuh harap.

Kita tahu, dengan perantara Soekarno, Hatta akhirnya bisa menikahi Rahmi, anak Haji Rahim itu. Mereka menikah pada 18 November 1945 di Megamendung.

Belakangan, di kalangan para pendiri Republik beredar lelucon lagi ihwal kenapa Hatta akhirnya hanya setia dengan satu perempuan saja, berbeda dengan beberapa tokoh politik segenerasinya yang menikah hingga beberapa kali, dan atau memiliki sejumlah pacar di luar pasangan resmi mereka.

Menurut mereka, itu bukan karena Hatta adalah orang saleh atau alim, tapi karena istrinya berumur 19 tahun. “Mau cari umur yang berapa lagi?!” tanya mereka. Tentu saja itu cuma banyolan.

Ketika menikah, Hatta memang sudah berumur 43 tahun, sementara istrinya baru berumur 19 tahun. Sebagai catatan, ketika Soekarno menikah lagi dengan Fatmawati, misalnya, Fatmawati juga saat itu baru berumur 20 tahun. Begitu juga dengan Ratna Sari Dewi, Yurike Sanger, atau Heldy Djafar, mereka dinikahi Soekarno ketika umurnya masih 18 dan 19 tahun.

Jadi—sekali lagi ini lelucon di kalangan para pendiri Republik—”kalau sudah punya isteri berumur 19 tahun, mau nyari yang umur berapa lagi, Bung?!”

Ha ha ha ha. Itulah rahasia “kesalehan” Hatta. Dan itu memang lelucon yang kurang ajar.

Tarli Nugroho
Tarli Nugroho
Penulis tinggal di Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.