Ada tiga kata yang menurut hemat saya tepat dipasangkan atas sosok yang berusia 85 tahun pada 3 Januari 2021, tujuh bulan tiga hari lebih muda dari saya. Tiga kata itu adalah bahwa Prof. Taufik Abdullah, Ph.D. benar-benar seorang ‘ilmuwan par excellence.’ Suatu ketika di abad yang lalu, alm. Prof. DR. Sartono Kartrodirdjo pernah mengatakan kepada saya yang kira-kira berbunyi begini: “Jika Taufik yang bicara, saya mesti menyimaknya.” Pengakuan mantan dosen Bung Taufik ini mengandung makna dan penghargaan yang dalam, sekaligus merupakan sebuah kebanggaan dari seorang guru yang merasa berhasil dalam tugasnya sebagai pendidik.
Bung Taufik sekalipun kelahiran Ranah Minang, radius pergaulannya sudah mendunia, jauh melampaui batas-batas keindonesiaan, apalagi Minangkabau yang hanya merupakan sebagian dari Indonesia. Filosofi Minang “alam terkembang jadi guru” telah menyatu dengan sempurna pada diri Bung Taufik. Perhatian intelektualisme Bung Taufik tidak hanya bertumpu pada disiplin sejarah, tetapi sudah menyeruak ke cabang-cabang ilmu sosial yang lain, di samping sastra. Saya tidak tahu sudah berapa juta halaman buku yang dibacanya dalam berbagai bahasa, dan sudah berapa ribu halaman pula sebagai hasil tulisannya, baik yang sudah diterbitkan atau pun yang belum. Bumi Indonesia patut bangga karena dari rahimnya telah lahir sejumlah manusia hebat yang produktif dalam mewariskan karya tulis. Salah seorang di antaranya adalah Bung Taufik Abdullah.
Jika pribasa Melayu kelasik mengatakan: “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan jasa (nama),” maka karya tulis seseorang yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan bermanfaat bagi sebuah bangsa dan kemanusiaan adalah jasa yang akan dibaca orang selama ratusan, jika bukan ribuan, tahun kemudian. Siapa tahu warisan karya Bung Taufik akan masuk dalam kategori yang bertahan lama itu, karena hampir seluruhnya dikerjakan dengan sungguh-sungguh dalam kualitas sebagai seorang ilmuwan.
Dalam telurusan saya dari berbagai sumber, Bung Taufik sudah memasukkan dirinya ke dunia ilmu sejak pertama menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Gadja Mada Yogyakarta pada tahun 1954. Dengan demikian, sudah 66 tahun, nyaris tanpa henti, dia bergumul dalam dunia ilmu yang memerlukan kesabaran, kesetiaan, ketekunan, dan semangat tahan banting itu. Tanpa nilai itu semua, tidak jarang orang bisa terpelanting ke luar gelanggang karena tidak tahan bekerja dalam kesunyian yang belum tentu didukung oleh fasilitas materi yang memadai, bahkan bisa saja dalam serba kekurangan. Semua rintangan dan kendala yang menghadang itu oleh Bung Taufik jika dibaca dalam ungkapan Chairil Anwar yang ditulis di masa pendudukan Jepang (1943), maka gambarannya begini:
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
(Lih. H.B. Jassin, Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45. Jakarta: Gunung Agung, 1959, hlm. 30 dalam sajak AKU).
Di usia lanjutnya Bung Taufik semoga selalu sehat, terus berkarya. Tidak perlu lagi meradang seperti saat diperlakukan secara sewenang-wenang oleh atasannya di akhir era Orde Baru. Pedih dan peri sudah disinpan di kelampauan untuk tidak diungkit lagi tetapi malah dimaafkan. Sifat pemaaf adalah bukti dari kebesaran jiwa seseorang. Bukankah dengan bergantinya rezim, Bung Taufik kemudian justru menduduki kursi mantan bosnya yang pernah menyakitinya itu. Politik kekuasaan tanpa wawasan moral di mana pun di dunia ini pasti selalu merusak dan bahkan menganiaya orang yang dinilai tidak sefaham. Dalam situasi semacam ini fikiran jernih dan kematangan emosional seorang penguasa nyaris absen, sekalipun penguasa itu sesungguhnya tidak besar amat.
Tenggat waktu selama 66 tahun bergumul dalam ranah ilmu tanpa lelah bukanlah masa yang pendek bila diukur dengan usia rata-rata manusia. Memang pernah diminta jadi Ketua MPP (Majelis Pertimbangan Partai) di awal Era Reformasi tanpa meninggalkan rumah aslinya. Bung Taufik ternyata tidak merasa betah lama di sana, karena memang politik kepartaian bukan habitat aslinya. Posisi terhormat itu dilepaskannya untuk tidak kembali lagi ke sana. Jika saja dia betah, tentu Bung Taufik mungkin tidak seperti yang kita kenal sekarang. Seorang ilmuwan sejati tidak bisa memakai bahasa topeng, seperti kebanyakan politisi di muka bumi, tidak peduli apakah mereka bergelar Ph.D. atau tanpa gelar. Sekali masuk politik hanya sedikit sekali di antara mereka yang bisa mempertahankan idealisme sebagai ilmuwan. Bung Hatta adalah di antara yang sedikit itu.
Di atas sudah saya sebut nama Prof. Sartono Kartodirdjo. Dalam sebuah pertemuan abad yang lalu, secara bergurau saya pernah memasangkan gelar ayatullah sejarawan Indonesia kepada tokoh sejarah kelahiran Wonogiri ini. Maka mungkin tidak pula salah jika gelar itu diberikan pula kepada Bung Taufik karena maqam kedua sejarawan itu sudah setanding. Bahkan mungkin talenta dan mozaik Bung Taufik lebih kaya dibandingkan dengan talenta mantan gurunya itu. Jika Sartono hanya sepintas saja bicara Islam, karya Bung Taufik tentang masyarakat Muslim Indonesia masih saja dibaca orang sampai sekarang. Jika hendak dicari bandingannya dalam masalah keislaman ini, maka alm. Prof. DR. Kuntowijyo, yunior Bung Taufik di UGM, patut disebut. Dua sejarawan mantan mahasiswa Sartono ini punya pengaruh yang cukup besar di kalangan pemerhati ilmu-ilmu sosial di Indonesia.
Ada perbedaan pendekatan terhadap Islam antara Bung Taufik dan Kuntowijoyo. Bung Taufik sesuai dengan pengakuannya tidak berbicara tentang substansi ajaran Islam,tetapi lebih banyak kepada“Islam sebagai agama…[yang] mewujudkan dirinya dalam konteks sosial.” (Lih.Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987, hlm.ix). Bung Taufik tampaknya menghindar untuk mengutip ayat al-Qur’an dan sunnah nabi dalam bahasannya mengenai Islam,karena memang perhatiannya lebih kepadaIslam sebagai gejala masyarakat atau fenomena Islam sebagai hasil pergumulannyadengan dinamika sosial dan sejarah.
Sebaliknya Kuntowijoyo di samping berbicara tentang Islam sebagai fenomena sosial, pada aspek-aspek tertentu kutipan ayat-ayat al-Qur’an juga dilakukannya. Saat berbicara tentang konsep ‘saling mengenal’ misalnya, Kuntowijoyo telah mengutip ayat 13 surat al-Hujurât yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orangorang yang paling bertakwa di antara kamu.” (Lih. Kuntowijoyo, Indentitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997, hlm. 92).
Kemudian tentang demokrasi, Kuntowijoyo telah mengutip ayat 38 surat al-Syûrâ, yang artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka.” (Ibid., hlm. 95). Dan banyak kutipan ayat yang lain. Tampaknya Kuntowijoyo lebih “berani” dari Bung Taufik, tidak saja telah mencoba melihat Islam dalam konteks sosiologis, tetapi sekaligus mengurai substansi ajaran Islam itu sendiri. Apa yang dilakukan Kuntowijoyo ini mengingatkan saya kepada metodologi mengenalkan Islam kepada publik oleh para intelektual Muslim pendidikan Barat generasi Mr.Kasman Singodimedjo yang juga sering membawakan ayat-ayat al-Qur’an untuk memberi dasar teologis kepada pemahaman keislaman mereka. Bung Taufik mungkin karena menjaga kehati-hatian ilmiah, tidak mau mengikuti cara Kasman ini.
Dalam disertasi Ph.D.-nya dengan judul “School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera,1927-1933” (Ithaca: Southeast Asia Program Publications, 1971), kalimat terakhir Bung Taufik di dalamnya dengan amat cantik menggambarkan interaksi dinamis antara keminangan dengan Islam dalam masyarakat Minangkabau di era itu:
Dengan menerima Islam sebagai sebuah bagian yang tak terpisahkan dari dunianya, Minangkabau tidak hanya memberikan dasar yang transedental pada tambatan kulturalnya tapi juga menjadikan dirinya sendiri sebagai objek perubahan yang berasal jauh di luar batas-batas georafisnya. Penghargaannya kepada rantau sebagai ritus peralihan turut berkontribusi pada perkembangan tatanan sosial Minangkabau, terutama dengan memaksanya untuk bertarung demi kontinuitasnya. Keterpesonaan pada cita-cita yang diidam-idamkan dan diekspresikan dalam pelbagai pepatah adat serta penerimaan atas bermacam tujuan yang ditetapkan oleh Islam tetap mendominasi pemikiran Minangkabau. Namun, hidupnya ditentukan oleh sistem sosial yang aktual, dan oleh pengakuan pada realitas politik. Pelbagai kekuatan yang paradoksal dan berbagai ketegangan yang inheren dalam ajaran Islam serta dalam asumsi adat tetap mencirikan tingkah laku sosial dan perkembangan sejarah Minangkabau. (Lih. Taufik Abdullah, Sekolah dan Politik, Pergerakan Kaum Muda Di Sumatra Barat, 1927-1933, terj. Muhammad Yuanda Zara. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018, hlm.290).
Dalam teori Bung Taufik jelas terbaca tentang betapa dinamisnya hubungan antarawarisan kultural Minang yang kaya dan pemahaman ajaran Islam yang sudah lama menyatu dengan kehidupan sosial budaya etnis yang sering dikenal sebagai salah satu “pabrik kearifan” di Indonesia. (Lih. Ahmad Syafii Maarif, Ranah Gurindam Dalam Sorotan (Bencana Budaya Mengancam Minangkabau? Padang: Dewan Kesenian Sumatra Barat, 2007, hlm.10). Tetapi apakah sekarang, kearifan itu masih terasa di sana?
Mungkin Bung Taufik sependapat dengan saya dalam menilai situasi budaya Minangkabau kontemporer yang mencemaskan seperti dalam ungkapan berikut ini:
Kabarnya konon,di Minang sekarang, ungkapan-ungkapan “sakti” seperti: “adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah; syarak mangato, adaik mamakai” plus petatah petitih, gurindam, dan sebagainya yang sarat makna itu sudah agak lumpuh tak berdaya, telah dijadikan retorika murahan tanpa ada bukti dalam kenyataan dan pergaulan sehari-hari. “Pabrik Kearifan” ini sudah berubah menjadi “Pabrik Komersial,” uang telah menjadi “agama” ditingkahi khotbah para khatib Jum’at yang kehabisan energi dan kosa-kata. Untuk kota-kota besar, polusi suara keras yang diputar via kaset para sopir angkot telah semakin menyempurnakan krisis budaya yang berdimansi banyak itu. Saya gagal memahami mengapa para sopir itu tidak lagi menghargai telinga manusia yang masih normal. Alangkah manisnya jika lagu-lagu yang diputar itu dengan suara yang lebih beradab.(Ibid.).
Bukan saja dalam perspektif budaya, Minang kontemporer dalam cara beragama pun juga terasa sudah jauh semakin mendangkal, dipengaruhi oleh faham impor dari sebuah kawasan yang sedang merosot dari sisi mana pun orang melihatnya.
Ternyata tulisan ini sudah mengelana ke mana-mana. Akhirnya, perlu ditambahkan bahwa saya sering berjumpa Bung Taufik dalam rapat-rapat reguler Akademi Jakarta (AJ) yang berkantor di TIM (Taman Ismail Marzuki). Bung Taufik adalah ketua lembaga itu setelah Prof. DR. Koesnadi Hardjasoemantri wafat pada 7 Maret 2007. Sekalipun saya tidak bisa selalu hadir, Bung Taufik nyaris tidak pernah absen memimpin rapat AJ saban bulan.
Selamat Ulang Tahun ke-85 pada 3 Januari2021. Jaga kesehatan dan kebugaran agar karya-karya ilmiah masih mungkin dihasilkan, sekalipun usia sudah berangkat jauh. Semoga Allah selalu melindungi sahabat kita Prof. Taufik Abdullah, Ph.D. Amin.
Nogotirto, Yogyakarta, 24 Juli 2020
Tulisan ini juga ada di buku 85 Tahun Taufik Abdullah – Perspektif Intelektual dan Pandangan Publik, Penerbit Buku OBOR, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2021