Kamis, Mei 9, 2024

Tafsir Konstitusi Presiden Harus “Orang Indonesia Asli”

Miftakhul Huda
Miftakhul Huda
Pemerhati Hukum Tata Negara
pelantikan-jkw-presdn
Pelantikan Presiden Republik Indonesia Periode 2014-2019 Terpilih Joko Widodo.

Ketika masalah kewarganegaraan Archandra Tahar mencuat yang berujung pemberhentian dirinya sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, saya langsung teringat soal syarat untuk menjadi presiden (dan wakil presiden) di Indonesia. Betapa konstitusi kita mensyaratkan seorang presiden dengan standar tinggi tidak sekadar warga negara Indonesia.

Dapat dipastikan seseorang yang pernah menerima kewarganegaraan Amerika Serikat atas kehendaknya sendiri seperti Archandra, meskipun sudah menjadi WNI, tidak akan lolos sebagai presiden. Kenapa?

Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen telah menegaskan bahwa, “Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”.

Maka, alangkah mengagetkan kemudian pasal ini diusulkan untuk diamandemen kembali oleh Partai Persatuan Pembangunan dalam Musyawarah Kerja Nasional I belium lama ini. PPP merekomendasikan agar frasa “orang Indonesia asli” kembali dimasukkan dalam pasal tersebut seperti sebelum diamandemen.

Adapun mengenai definisi “orang Indonesia asli” yang dimaksud PPP adalah perorangan WNI yang berasal-usul dari suku atau ras yang berasal atau asli dari wilayah Indonesia. WNI yang memiliki darah atau keturunan asing dianggap PPP tidak bisa menjadi presiden atau wakil presiden.

Usulan PPP ini ditanggapi dingin para politisi dari berbagai partai politik. Hampir mereka seluruhnya menolak usulan PPP.

Siapa “Orang Indonesia Asli”?
Menyikapi usulan ini, kita perlu mengetahui makna “Presiden adalah orang Indonesia asli” sebagaimana rumusan UUD 1945 sebelum diamandemen. Apa maknanya sehingga kita dapat memahami perbedaannya dengan rumusan baru hasil amandemen ketiga oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1999-2004.

Konon, para pendiri negara/perumus konstitusi di dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menghendaki presiden orang Indonesia asli agar jabatan presiden tidak dipegang oleh Jepang. Demikian kata Roeslan Abdulgani saat dengar pendapat dengan Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR, 13 Desember 1999. Menurutnya, Jepang menghendaki Indonesia merdeka berbentuk monarki dan kepala negaranya orang Jepang (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, 2008).

Pandangan Roeslan ini sangat beralasan. Sesuai dokumen Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (1959) maupun Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (1995) soal presiden harus orang Indonesia asli tiada perdebatan. Hanya soal syarat beragama Islam muncul pertentangan tajam, hingga akhirnya dicoret.

Suasana kebatinan saat itu menginginkan presiden bukan berasal dari orang-orang yang selama ini menjajah bangsanya dan bukan dari golongan yang masih belum jelas status kewarganegaraanya dari sisi hukum internasional.

Sebagian besar ahli hukum tata negara memaknai presiden “orang Indonesia asli” berhubungan dengan kondisi penggolongan penduduk (rakyat) di bumi Nusantara sebelum Indonesia merdeka. Dengan kata lain, orang Indonesia asli merujuk kepada orang-orang dari golongan Bumiputra. Pemberian keistimewaan kepada golongan Bumiputra adalah kebijakan yang wajar dalam sebuah negara yang merdeka dari penjajah asing sebagai antithesis kebijakan hukum kolonial yang menempatkan golongan Bumiputra sebagai kelas bawah.

Soepomo dalam Sistem Hukum di Indonesia (Sebelum Perang Dunia II) menjelaskan bahwa orang-orang yang tinggal di daerah Indonesia dibagi dalam beberapa golongan, yaitu: kaulanegara Belanda dan orang asing; penduduk negara dan bukan penduduk negara; orang Eropa, Timur Asing, dan Bumiputra; dan orang Belanda, kaulanegara pribumi bukan orang Belanda, dan kaulanegara mancabumi bukan orang Belanda.

Dari penggolongan saat itu yang punya arti penting di kemudian hari, yakni penggolongan orang Eropa (Europeanen), Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), dan Bumiputra (Inlander) sesuai Pasal 163 Indische Staatsregeling. Penggolongan ini menjadi dasar perundang-undangan, pemerintahan, dan peradilan semasa Hindia Belanda. Pada zaman itu tidak ada sistem yang seragam, pluralistik, bahkan dualistik berdasarkan tiga golongan kebangsaan itu.

Pembedaan ini menunjukkan politik kolonial yang menempatkan orang Eropa sebagai golongan kelas satu (istimewa), sedangkan orang Bumiputra sebagai golongan kelas dua, bahkan kelas ketiga. Contoh nyata keistimewaan Eropa hanya orang Belanda dapat menjadi Gubernur-Jenderal dan Letnan Gubernur Jenderal dan perbedaan hak pilih dan susunan badan-badan perwakilan berdasarkan orang Belanda dan bukan.

Siapakah orang-orang yang tergolong Bumiputra? Soepomo menyatakan, golongan Bumiputra ialah rakyat pribumi dari Hindia Belanda. Pribumi tidak berarti “dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia”, tetapi pribumi berarti sedari zaman “tandu” (kuno) sudah berdiam di Indonesia. Orang pribumi hanyalah orang Indonesia asli. Karenanya, kriteria keetnologian atau kebangsaan yang menjadi patokan.

Menurut saya, munculnya perluasan makna orang Indonesia asli, termasuk orang-orang yang sebelumnya tunduk pada golongan Eropa maupun Timur Asing, terlalu memaksakan diri. Dengan mencantumkan orang Indonesia asli dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 195 dan saat bersamaan Pasal 26 ayat (1) menetapkan bahwa, “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”, para penyusun konstitusi menghendaki presiden berasal dari orang Indonesia asli yang dikenal pada masa Hindia Belanda dan tidak beralih masuk golongan rakyat lain dan mereka yang mula-mula termasuk golongan rakyat lain, lantas mencampurkan diri dengan rakyat Indonesia asli.

Sedangkan bagi keturunan (peranakan) Belanda, Tionghoa, Arab, India, dan lainnya tidak dapat menjadi presiden.

Menelusuri perdebatan sidang BPUPK/PPKI, status kewarganegaraan orang Timur Asing belum dapat ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Terdapat dua pandangan soal bangsa lain yang bukan bangsa asli, apakah menjadi WNI atau tidak. Pertama, pendapat agar seluruh keturunan Tionghoa, Arab, dan lainnya ditetapkan sebagai WNI. Sedangkan bagi yang tidak bersedia dapat memberitahukan penolakannya. Kedua, pendapat agar penerimaan sebagai WNI ditetapkan orang-per orang (individual).

Karena tiada kesepahaman dari kalangan Tionghoa, terutama karena sebagian menegaskan sebagai bangsa Tionghoa dan bukan bagian dari bangsa Indonesia, sampai batas mana orang yang bukan Indonesia asli dapat menjadi WNI kemudian diserahkan kepada undang-undang dan tidak ditetapkan dalam konstitusi. Padahal, sejatinya banyak usulan agar dari golongan Timur Asing ditetapkan sebagai bangsa Indonesia. Artinya, pada saat UUD 1945 ditetapkan, soal bangsa atau orang Indonesia asli tidak mencakup orang-orang yang tergolong Timur Asing.

Dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1973 yang mengatur tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden menyebutkan, “Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden ialah orang Indonesia asli dan harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia ….”. MPR sebagai penafsir konstitusi saat itu menegaskan syarat presiden bukan hanya sekadar WNI, tetapi juga orang Indonesia asli.

Pembatasan WNI untuk Jadi Presiden
Setelah puluhan tahun merdeka, masalah syarat presiden mendapat perhatian untuk disempurnakan dalam amandemen konstitusi. Menelusuri jejak-jejak perdebatan syarat presiden menurut Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku IV, Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 1, mayoritas fraksi di PAH III Badan Pekerja MPR (Tahun 1999) dan PAH I (Tahun 2000 dan 2001) bersemangat melakukan penyempurnaan terhadap rumusan presiden adalah orang Indonesia asli.

Berkembang pemikiran untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap warga negara tertentu. Sebagian pandangan fraksi menghendaki pembatasan-pembatasan bahwa tidak seluruh WNI dapat menjadi presiden untuk menghindari seseorang dapat menjadi presiden hanya karena memperoleh status WNI melalui pengangkatan, perkawinan, dan sebab-sebab lain di luar karena kelahiran.

Misalkan saja ada anggota fraksi di MPR menyatakan, “…jangan nanti orang Jepang yang baru menjajah kita langsung masuk menjadi warga negara Indonesia, direkayasa kayak model sekarang karena duitnya, banyak money politic, kan bisa saja terpilih langsung jadi presiden. Sungguh menusuk perasaan, kalau sampai terjadi demikian.”

Ada lagi anggota yang menyebutkan, “..tetapi yang perlu diwaspadai jangan sampai orang yang baru masuk jadi WNI 6 bulan bisa menjadi Presiden, itu yang perlu diwaspadai” dan “apakah nanti kalau ada seorang warga negara Amerika pindah ke Indonesia kemudian dengan cepat dia berubah kewarganegaraan, pada saat itu dia bisa mencalonkan diri sebagai presiden?”

Soal kesetiaan sebagai warga negara juga dianggap sangat penting. Misalkan saja salah satu anggota ada yang mengemukakan, “jadi, kalau ada warga negara kita pernah menjadi warga negara lain, itu tidak bisa menjadi presiden Republik Indonesia, karena dia sudah tidak setia lagi pada Republik ini atau dobel kewarganegaraan.”

Menurut saya, dalam pembangunan bangsa memang sudah tidak relevan lagi membedakan WNI yang asli dan tidak asli ataupun WNI kelas satu dan kelas dua, tetapi semua pembedaan hanya berdasarkan WNI atau warga negara asing. Selain itu, sangat sulit untuk menentukan seseorang WNI ”asli”, apakah parameternya dilahirkan saat Indonesia merdeka atau sebelum datangnya penjajah bangsa asing atau zaman sebelumnya.

Apabila menggunakan parameter pertama, maka golongan Eropa dan keturunan Tionghoa, Arab, India, dan lainnya yang lahir sebelum Indonesia merdeka termasuk orang Indonesia asli. Adapun dengan parameter yang kedua membutuhkan penelitian asal usul dan sejarah suku dan etnis di Nusantara jauh ke belakang yang tentu tidak mudah dilakukan.

Meskipun demikian, pembatasan-pembatasan WNI masih mungkin dan lazim dilakukan karena di setiap negara yang warga negaranya heterogen pun masih membatasi tidak setiap warga negaranya dapat menjadi presiden. Pembatasan warga negara dari negara yang bersangkutan dapat menjadi presiden dimungkinkan hanya warga negara karena kelahiran (natural born citizen). Konstitusi Amerika Serikat menyatakan, “No person except a natural born citizen, or a citizen of the United States, at the time of the adoption of this constitution, shall be aligible to the office of President..”.

Akhirnya perdebatan soal ini yang sudah dimulai sejak 1999 sampai 2001 tercapai kesepakatan rumusan dengan dua alternatif sebagai hasil PAH I BP MPR, yaitu:
Alternatif pertama:

Ayat (1) Presiden dan Wakil Presiden adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.
Ayat (2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Alternatif kedua:
Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, berusia sekurang-kurangnya 40 tahun dan tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah dijatuhi hukum pidana dan mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden

Hasil PAH I BP MPR kemudian digodok dan dirumuskan kembali di Komisi A yang kemudian disepakati menjadi hasil amandemen ketiga pada 9 November 2001. MPR menyepakati bahwa capres dan wapres harus WNI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, dan tidak pernah mengkhianati negara.

Dengan rumusan ini, ukurannya adalah kewarnegaraan seseorang, bukan lagi kebangsaan sebagaimana penggolongan orang dan penduduk berdasarkan kebangsaan menurut politik hukum kolonial. “WNI asli” harus dimaknai secara konstitusional sebagai warga negara sejak kelahiran (natural born citizen) dan tidak dimaknai orang Indonesia asli sebagaimana golongan Bumiputra sebelum kemerdekaan.

Dengan demikian, seorang WNI tidak memenuhi syarat konstitutif sebagai presiden apabila memperoleh kewarganegaraan karena pewarganegaraan (naturalisasi), perkawinan, pengangkatan (adopsi) atau sebab-sebab lain di luar kelahiran. Sedangkan keturunan Tionghoa, Arab, India yang menjadi WNI sejak kelahirannya dapat menjadi presiden dengan catatan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri dan tidak pernah mengkhianati negara.

Usulan PPP untuk kembali kepada UUD 1945 sebelum amandemen perlu dipertanyakan kembali. Apakah makna presiden harus orang Indonesia asli adalah orang-orang yang telah dilahirkan di Indonesia sebelum kemerdekaan atau golongan Bumiputra sesuai penggolongan orang Eropa, Timur Asing, dan Bumiputra? Apabila hal ini yang dimaksud PPP, maka kita kembali menghadirkan wacana yang usang dan telah selesai dalam amandemen konstitusi.

Miftakhul Huda
Miftakhul Huda
Pemerhati Hukum Tata Negara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.