Alam kesehatan Indonesia memiliki salah satu penyihir. Penyihir itu bernama BPOM alias Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sekali BPOM mengayunkan tongkatnya (hap!), satu-dua merek makanan dan obat-obatan hilang dari peredaran. Sebut saja mulai dari kemarin heboh soal Albothyl, Viostin DS, hingga Enzyplex. Kali ini sang penyihir memainkan tongkatnya untuk salah satu saksi sejarah berdirinya Indonesia, susu kental manis (SKM) yang belakangan diributkan. Apalagi iklan susu kental manis tersebut menggunakan anak-anak dan menyasar para penonton anak-anak.
Semua bermula dari temuan BPOM bahwa susu kental manis memiliki kandungan yang dianggap berbeda dari susu. Hal ini karena produk ini adalah susu yang telah dikondensasi dengan suhu tinggi dan ditambahkan gula. Kandungan gula itu dikatakan tidak sehat, khususnya bagi anak.
Baiklah, sebelum kita membahasanya secara murni dan konsekuen, kita perlu mengenal dulu bagaimana susu kental manis itu. Susu kental manis pertama kali ditemukan oleh Marcopolo dalam perjalanannya sekitar abad ke-13. Di perjalanan itu dia menemukan orang Tartar menggunakan metode pencampuran air dengan pasta susu sebagai minuman khas mereka.
Metode tersebut kemudian berkembang, mencapai titik puncak di tangan Gail Borden Jr. pada 1853. Pria asal New York ini menemukan kematian anak-anak yang disebabkan buruknya kualitas susu dari sapi yang dibawa dari Inggris. Dia menemukan teknik pengawetan susu dengan menguapkan air lewat proses pemanasan dan penambahan gula untuk pengawetan.
Dalam dokumen Smithsonian, tercatat bahwa pencapaian Borden tersebut membuatnya dianugerahi oleh Komite Akademi Kesehatan “tiada banding” dari segi kemurnian, keawetan, dan nilai ekonomis. Produk Borden ini digunakan utamanya saat Perang Sipil di Amerika. Pada 1860, produk ini kemudian menjadi industri, membuat Borden semakin terkenal dan kaya raya.
Di Indonesia, Susu Kental Manis ini sudah menembus lima era, dari era pra-kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, hingga era Tik Tok (insyaallah juga melalui Pilpres 2019).
Dilema SKM
SKM Masuk Indonesia sejak tahun 1873. Di tahun 1967, Indonesia sudah mulai memproduksi SKM. Dan di tahun-tahun setelahnya, pabrik-pabriknya terus memperbanyak diri. Sepanjang perjalanan itu pula, penelitian-penelitian dan kritik terhadap produk kondensasi susu itu terus bermunculan.
Salah satunya adalah temuan O.F. Hunziker, seorang guru besar Peternakan dari Universitas Purdue pada 1920. Dalam bukunya, Condensed Milk and Milk Powder, dia memaparkan bahwa kadar gizi SKM ini terganggu karena tingginya kadar karbohidrat dibandingkan protein.
Selain itu, dia menuturkan bahwa tingginya kadar gula (dalam hal ini sukrosa) dalam susu kondensasi ini membuat produk ini tidak seimbang secara gizi—juga karena kurangnya kadar susu. Penggunaan pada anak dan bayi dalam waktu lama akan menyebabkan kekurangan gizi dan obesitas. Jauh sebelum BPOM mengeluhkan soal iklan SKM ini, Hunziker sudah mengeluhkan soal bagaimana di masa itu, produk ini sering diiklankan cocok untuk bayi dan anak-anak.
Di tahun 2000, Filipina membuat panduan nutrisi lewat Departemen Sains dan Teknologi. Dalam panduan tersebut, ditetapkan bahwa SKM memiliki kadar gula yang tinggi (40 persen) dan tidak direkomendasikan untuk bayi dan anak-anak.
Panduan tersebut juga menetapkan bahwa SKM bukanlah produk susu, karena rendahnya kadar nutrisi tersebut. Panduan dari Filipina ini bahkan dipakai oleh saudara kita, Malaysia dalam menyusun panduan dietary atau pola konsumsi makanan.
Pada 2005, WHO mengeluarkan anjuran yang sama. Pada 2014, FAO turut menyarankan bahwa SKM sebaiknya tidak diminum, tapi digunakan utamanya untuk topping atau campuran untuk bahan makanan lainnya.
Lantas kenapa Indonesia baru ribut di tahun 2017-2018? Kenapa dokumen-dokumen tersebut sangat telat menjadi panduan BPOM ataupun Kementerian Kesehatan?
Menariknya, sekalipun Filipina sudah mengeluarkan “fatwa”, iklan SKM di sana masih menggunakan anak-anak bersama orangtuanya dan di kalengnya masih menggunakan label “susu”. Begitu juga di India dan Jamaika. Menggunakan anak-anak dalam iklan, tentu tujuannya menyasar pasar anak-anak dan keluarga yang menautkan matanya di layar. Entah mengapa, Indonesia lebih lebay bin reaktif dalam menanggapi soal SKM ini. Semoga ini bukan karena soal budaya kita.
Terlepas dari berbagai fakta di atas, tentunya kita harus juga turut bersikap adil. Menyerahkan semua kesalahan-kesalahan atas nama penyakit kepada SKM, sama saja seperti main kambing hitam. Ya, itu sedikit lebih hina dari semua haters Bowo Alpenliebe.
Apakah kasus diabetes akan selalu diarahkan pada SKM? Ah, tidak juga. Mathew Campbell, seorang pakar gizi dari Universitas Leeds Beckett menuturkan bahwa gula yang dikonsumsi bukanlah penyebab utama diabetes.
Dia menuturkan bahwa diabetes tipe pertama disebabkan penyakit autoimun, di mana genetik dan faktor lingkungan. Tipe kedua yang dikenal disebabkan oleh konsumsi gula. Menurutnya, diabetes tipe kedua ini bukan semata karena konsumsi gula (dalam hal ini SKM), melainkan disebabkan oleh pola makan yang buruk, gaya hidup yang kurang sehat, pola pertumbuhan urban, jenis lingkungan, jenis makanan, stres kerja, kurang tidur, dan harga makanan.
Sama halnya dengan premis, “SKM menyebabkan karies”. Beberapa dokter dan ahli gizi sibuk menuturkan bahwa susu kondensasi ini adalah faktor kariogenik (penyebab karies atau gigi berlubang). Betul, bahwa makanan atau minuman manis dapat menyebabkan karies, tetapi di Indonesia belum ada satu penelitian pun yang menunjukkan bahwa SKM adalah penyumbang karies gigi terbesar pada anak.
Menurut penelitian yang dilakukan di Jakarta dan Bekasi, SKM bukanlah faktor utama penyebab karies pada gigi. Ada faktor pola sikat gigi ataupun penggunaan susu botol dan pola menyusui. Betul SKM adalah faktor, tetapi hanyalah salah satu faktor.
Selain adil terhadap masalah di atas. Tentulah kita juga harus bersikap adil, mengingat SKM sudah berkontribusi pada pembangunan bangsa. Produk itu sudah menyumbang 812 ribu ton per tahun, dengan investasi yang telah menembus angka Rp.5,4 triliun dan total penyerapan tenaga kerja sebanyak 6.652 orang.
Anggap saja sejumlah itulah yang menghidupi ribuan anak-anak mereka, calon penerus bangsa dan negara ini. Ya … semoga saja sejumlah angka-angka tersebut tidak dikorupsi.
Saya salut dengan sihir BPOM, dengan sekali ayun tongkat dan sekali surat edaran, lembaga ini dapat mengubah keadaan. Saya sepakat dengan YLKI, tentu BPOM dan Kementerian Kesehatan haruslah fair terhadap produk-produk lainnya. Kalau perlu, semua produk persusuan atau susu-susuan diteliti kandungannya.
Tahu kan, produk persusuan itu paling mudah dijual soal kandungan gizinya, kandungan vitaminnya, atau khasiatnya yang ini-itu? Kalau perlu, ayunkan juga tongkat lewat surat edaran kepada produsen-produsen yang nakal.
Bolehlah polemik dan pemakzulan terhadap Susu Kental Manis menitikkan nila sebelanga dan merusak warna putih SKM. Namun, susu kental tersebut akan terus manis dalam ingatan banyak orang. Saat menyuap sendok demi sendok bubur kacang ijo, dalam tiap sesap kopi susu atau teh tarik, dalam tiap sejuknya es teler atau sup buah, hingga tiap potong terang bulan yang masuk ke kerongkongan, SKM tak akan pernah terganti.
Lagi-lagi kita harus adil: pada dasarnya manusia memang suka yang manis-manis.