Di Kota Cologne, Jerman, di tengah kemeriahan Tahun Baru 2016, terjadi pelecehan seksual secara massal. Kepolisian Jerman telah menerima laporan 90 pengaduan kasus pelecehan yang dialami perempuan Jerman ketika merayakan pergantian tahun itu. Seorang korban pelecehan mengatakan, para pelaku adalah pria asing bertampang Arab dan Afrika Utara. Tak lama kemudian media ramai-ramai melansir berita bahwa pelaku pelecehan massal tersebut adalah para pengungsi asal Suriah.
Masih segar dalam ingatan ketika terjadi serangan teror bom dan penembakan massal di Paris, November 2015, yang pelakunya juga disebut-sebut pengungsi Suriah karena di lokasi kejadian ditemukan paspor Suriah. Media Barat sontak memberitakan hal ini sehingga opini publik meluas dan beranggapan pelaku teror Paris adalah pengungsi asal Suriah.
Kini terungkap, kenyataannya otak dan pelaku serangan adalah sel teroris berkebangsaan Belgia dan Prancis. ISIS juga mengaku sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan teror Paris yang menewaskan 153 dan melukai ratusan orang lainnya.
Motif pelaku insiden perayaan tahun baru di Jerman sebenarnya juga masih belum jelas. Ada yang menyebut ini murni kasus tindak pelecehan seksual. Sumber lain menyebut motif utama pelaku adalah pencurian dan perampasan benda berharga. Penyelidikan polisi kini masih berlangsung. Sementara itu, kelompok anti-imigran berupaya memanfaatkan kejadian ini untuk membangkitkan kebencian terhadap para pengungsi seiring meningkatnya jumlah pengungsi dari Suriah yang membanjiri Jerman.
Sebelumnya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pernah merilis sebuah pesan dalam konten video berjudul “Whould you replace that which is good with that which is worse”, yang ditujukan kepada para pengungsi muslim di negara-negara Eropa. Inti pesan tersebut mengecam para pengungsi yang memilih bermigrasi ke negeri Eropa yang ISIS sebut sebagai negeri kafir.
ISIS menuding para pengungsi telah membahayakan kehormatan dan agama mereka dengan memilih Eropa sebagai tujuan hidupnya. Dabiq, majalah yang diterbitkan ISIS, dengan judul “Bahaya Meninggalkan Negeri Islam” bahkan menyebut kaum muslimin yang mengungsi ke Eropa telah melakukan perbuatan dosa besar, bermigrasi ke negeri Barat sama saja meninggalkan Islam.
Hal ini dikuatkan dengan pernyataan ISIS sebelumnya yang berulangkali menyerukan umat Islam di segala penjuru dunia untuk bermigrasi ke wilayah yang dikuasai ISIS. ISIS bahkan
menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi umat Islam yang hijrah di “negara” yang didirikannya.
Sebuah media di Rusia bahkan menyebut ada penurunan 50 persen aksi militan Islam di Rusia seiring meletusnya konflik Suriah. Sebab, banyak militan Islam yang mendiami kawasan Kaukasus Utara berbondong-bondong bermigrasi ke Suriah demi bergabung dengan kelompok teroris seperti ISIS. Rusia mendapat keuntungan dengan gejolak perang di Suriah karena aksi separatis bersenjata menurun drastis.
Pernyataan resmi ISIS ini telah menepis sejumlah prasangka buruk yang dilontarkan pihak Barat selama ini yang menyatakan meningkatnya gelombang pengungsi kemungkinan besar dimanfaatkan oleh militan ISIS menyusup ikut menyeberang bersama pengungsi ke Eropa. Kenyataanya justru selama ini ISIS memobilisasi dan mendorong warga asing, khususnya Eropa, untuk bermigrasi ke Suriah agar bergabung dengannya.
Pengungsi di Eropa harus menghadapi kepungan stigma yang dialamatkan kepadanya. Pihak Barat mencurigai kehadiran mereka di Eropa telah disusupi ISIS, sementara ISIS melabeli mereka sebagai kaum yang lari dari Islam menuju negara kafir.
Masa depan pengungsi di Eropa hingga kini masih belum jelas. Seperti di Amerika, isu krisis pengungsi tak jauh berbeda dengan isu ISIS yang hanya sebatas menjadi komoditas politik para elite kekuasaan. Negara penampung pengungsi masih setengah hati menerima kehadiran pengungsi.
Sempat timbul pertanyaan, kenapa para pengungsi Timur Tengah yang mayoritas asal Suriah ini memilih mengungsi ke Eropa bukan ke negara-negara teluk yang kaya seperti Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Kuwait, dan Uni Emirat Arab, misalnya?
Ada tiga alasan. Pertama, negara-negara monarki teluk menolak mengambil peran menerima pengungsi karena tidak pernah menandatangi konvensi internasional tentang hak-hak pengungsi. Kedua, negara-negara teluk khawatir kehadiran pengungsi akan menimbulkan permasalahan yang mengancam stabilitas politik di negaranya.
Ketiga, para pengungsi memilih bermigrasi ke Eropa punya alasan mereka melihat ada harapan untuk masa depan yang tak bisa mereka peroleh jika hidup di negara-negara monarki Arab. Bagi mereka, mengungsi dari Suriah ke negara Arab lainnya ibarat pindah dari negeri tiran ke negeri tiran lainnya. Jadi, lupakan negara-negara teluk soal pengungsi, jangan terlalu berharap. Mereka lebih tertarik memasok senjata untuk pemberontak Suriah ketimbang berbicara masalah pengungsi Suriah.
Masa depan pengungsi di Eropa sangat bergantung pada dua hal. Pertama, penyelesaian konflik di negeri asal mereka. Selama Suriah dilanda peperangan, gelombang pengungsi akan terus meningkat dan membanjiri Eropa.
Kedua, kesungguhan dan kemurahan hati publik Eropa menerima kehadiran para pengungsi atas dasar kemanusiaan, meski elite negara Eropa sedang menghadapi tekanan politik di dalam negerinya. Jadi, situasi politik di negara tujuan pengungsi sangat menentukan masa
depan nasib pengungsi.