Kamis, April 25, 2024

Yang Merdeka, Hanyalah Orang-orang di Kampung

Adi Perwira Purba
Adi Perwira Purba
Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro ITB
Sejumlah warga mengikuti upacara bendera di sungai Kelurahan Barombong, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (17/8). Upacara diikuti oleh sejumlah anak-anak, pelajar dan warga tepi sungai dalam rangka memperingati HUT ke-72 Proklamasi Kemerdekaan RI. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Di sebuah kecamatan kecil yang bersembunyi dalam gulungan bukit dan pegunungan, hari-hari ini adalah hari-hari yang sedang ramai-ramainya. Anak-anak sekolah mulai dari SD sampai SMA berkumpul dan berbaris membentuk lingkaran di sebuah lapangan luas, yang sehari-harinyanya digunakan sebagai lapangan sepak bola. Untuk menuju tempat tersebut, mereka terlebih dahulu berkumpul di suatu titik temu, di sekitar kantor kecamatan. Didampingi oleh para guru dan kepala sekolah, mereka berjalan beriringan membentuk suatu pawai.

Malam sebelumnya juga tidak kalah meriahnya. Para anak sekolah tersebut datang dengan membawa bambu yang akan dijadikan obor. Lagi-lagi mereka berjalan beriringan, memecah kegelapan malam, dalam nyala-nyala obor yang menciptakan keindahan. Di depan barisan, dentuman marching band menambah hiruk pikuk dan semarak pawai.

Hari-hari seperti ini pun selalu menjadi tradisi sekaligus hiburan bagi masyarakat setempat. Di pinggir-pinggir jalan, masyarakat setempat berdiri mematung menyaksikan, seolah-olah tidak mau melewatkannya barang sedetik pun. Dalam kesederhanaan dan kepolosan, mereka tersenyum bahagia menyambut datangnya kemerdekaan esok hari.

Di lain tempat, di sebuah kota yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa, hari kemerdekaan juga turut datang menghampiri. Para pekerja pun mendapat hari libur dari kantor, begitu juga para anak kuliahan. Tetapi tidak seperti orang-orang di kampung tadi, hari ini, jalanan justru sepi dan lengang. Para pekerja kantoran yang libur tadi ternyata lebih memilih duduk diam di dalam rumah.
Tidak ada pawai, dentuman musik marching band apalagi obor-obor di malam hari. Hari ini justru terasa lebih sepi dari hari-hari biasanya.

Konon, katanya, 17 Agustus adalah hari kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia, tidak peduli di mana pun tempat tinggalnya. Tetapi hari ini yang merdeka ternyata hanyalah orang-orang di kampung. Yang menyambut dengan penuh sukacita dan perayaan meriah juga hanyalah mereka.

Orang-orang di kota hanya duduk di depan televisi melihat kemeriahan tersebut. Orang-orang di kota bukanlah orang-orang merdeka yang kita rayakan hari ini. Orang-orang di kota hanyalah penikmat dan penonton kemerdekaan dari balik layar televisi.

Dalam kemajuan, kekayaan, dan kelayakan hidup, yang bisa mereka lakukan hanyalah menonton kebahagiaan orang lain, kebahagiaan orang-orang merdeka yang kini sedang bersorak-sorai di kampung.

Bagi orang-orang kota, kemerdekaan tidak lebih dari sebuah hari libur, sama seperti hari Sabtu dan Minggu, setiap pekannya. Karena itu, cara mereka merayakannya pun, persis seperti hari-hari libur weekend, duduk bermalas-malasan di rumah.

Bagi orang-orang kota, hari ini hanyalah sebuah jeda dari pekerjaan rutin setiap harinya. Tidak ada yang spesial. Tidak ada yang berbeda. Bagi mereka, kemerdekaan hanyalah sebuah glorifikasi masa lalu. Hari ini adalah hari yang berbeda dari 72 tahun yang silam.

Orang-orang kota mulai lupa bahwa hari ini ada karena bentukan dari masa lalu. Tanpa kemerdekaan yang kita raih di masa lalu, tidak mungkin mereka bisa bekerja di kota saat ini. Tanpa kemerdekaan, sekarang ini mungkin saja kita sedang kerja rodi di bawah mandor belanda atau tergeletak lelah dalam kejamnya romusha Jepang.

Tetapi orang-orang kampung sepertinya tahu bersyukur dan tahu merayakan. Yang mereka punya hanyalah sepetak sawah dan sebidang tanah untuk berkebun. Pendapatan mereka juga hanya sebatas menutup lapar setiap hari, tidak ada kemewahan untuk menabung apalagi investasi.

Tetapi hari ini, orang-orang kampung itu tidak pergi ke sawah atau ke kebun. Mereka justru pergi ke tanah lapang, membawa anak dan keluarganya untuk bersenang-senang, walaupun hanya untuk sehari. Kenyataan bahwa hari ini mereka merdeka, sudah cukup untuk menjadi alasan bahagia.

Orang-orang kampung itu hari ini sedang menonton lomba balap karung, lari guli, lomba menari, sampai menonton sepakbola. Dengan sedikit uang di kantong, mereka membeli jajanan ringan untuk anak-anaknya. Para orangtua itu tahu bahwa hari ini anak-anak mereka pun selayaknya ikut merdeka dan bahagia. Jajanan yang tidak akan mereka makan di hari-hari biasa, mereka nikmati hari ini seraya mengucap syukur.

Orang-orang kota kini adalah korban dari kerutinan dan persaingan. Tentu daripada repot berpanas-panasan di lapangan, memikirkan masalah kerjaan adalah hal yang lebih penting dan bermanfaat. Di saat libur pun, bayang-bayang pekerjaan tadi adalah teman abadi sepanjang hari. Tidak ada waktu untuk perayaan bagi semua orang. Pencapaian individulah yang perlu dirayakan, promosi jabatan, kenaikan gaji atau mendapat bonus akhir tahun. Kemerdekaan mereka bukanlah hari ini, tetapi hari-hari di mana keadaan finansial mereka meningkat sehingga bebas untuk dibelikan atau dibelanjakan.

Rasa-rasanya, kekayaan, kemapanan dan kemajuan tempat tinggal adalah hal-hal yang selalu kita mimpikan. Bahwa dengan memiliki hal-hal tersebut, kita merasa akan lebih bebas untuk membuat pilihan-pilihan hidup. Segalanya terbayang akan menjadi lebih mudah.

Tetapi hari ini kita tahu bahwa hal-hal yang kita impikan itu justru bisa saja merebut kemerdekaan kita, kemerdekaan untuk tersenyum atau sekedar bersyukur akan sebuah hari yang baik. Hal-hal tersebut bisa saja mengontrol cara berpikir kita, mencoba melihat aspek keuntungan di balik setiap tindakan. Maka, tentu saja, pergi menonton lomba balap karung di lapangan tidak akan memberikan keuntungan apa pun, yang ada justru buang-buang waktu.

Hari ini kita juga tahu, justru orang-orang kampung dengan segala keterbatasan ekonomi dan latar belakang pendidikan yang juga rendah, ternyata bisa jauh lebih merdeka. Mereka tidak dikontrol oleh persaingan pekerjaan atau ambisi naik gaji dan jabatan. Senyuman dan kebahagiaan mereka tidak bisa direnggut oleh kecemasan masa depan. Mereka adalah orang-orang yang hidup dalam kenyataan, bukan bayang-bayang.

Hari ini, yang merdeka hanyalah orang-orang di kampung.

Baca juga:

Memimpin Kemerdekaan [Refleksi 71 Tahun Kemerdekaan Indonesia]

Mengenang Kemerdekaan, Mengenang Franky

Titik Balik Nasionalisme

Mengisi Kemerdekaan, Memperkuat Karakter

Adi Perwira Purba
Adi Perwira Purba
Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro ITB
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.