Selasa, April 23, 2024

Women’s March Melawan Patriarki

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.

Bulan Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional, tepatnya pada 8 Maret. Hari Perempuan Internasional merupakan peringatan pencapaian perempuan dari bidang politik hingga sosial dan perempuan diharapkan selalu berkontribusi untuk bangsa dan negara. Peringatan itu juga bertujuan merangkul seluruh elemen masyarakat untuk selalu menyuarakan kesetaraan gender.

Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, peristiwa pilu yang kerap meneror para perempuan tidak pernah surut. Salah satunya adalah kekerasan seksual yang dipandang sebagai salah satu produk dari sistem patriarki yang kaku dan diskriminatif. Saya setuju dengan Brooks pada tulisannya berjudul “Lovers, Prospectors and Predators” yang dimuat di The New York Times setahun yang silam. Saya pikir tulisan itu masih relevan dibicarakan di tengah semakin maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang-ruang publik.

Pendeknya, Brooks mengatakan bahwa seks itu spesial di zaman sekarang. Karena spesial, maka banyak lelaki tidak bisa meredam hasrat seksnya ketika melihat seorang perempuan bertubuh semok atau perempuan yang memakai rok pendek dalam bus kota.

Belum lama ini seorang perawat berani melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap pasien wanita di sebuah rumah sakit ternama di Surabaya. Tak sampai di situ, kekerasan seksual juga terjadi di sebuah gang sempit di Cipinang yang terekam CCTV. Sejurus dengan tulisan itu sekaligus memunculkan banyak peristiwa kekerasan seksual lain yang terjadi di ruang-ruang publik, terutama di Indonesia.

Apa yang menyebabkan peristiwa kekerasan seksual terjadi? Dalam teori patriarki, lelaki merasa berhak mengontrol perempuan dari semua aspek. Lelaki menguatkan kepentingannya dalam struktur sosial. Karena itu, kekerasan laki-laki dan terutama pemerkosaan sebagai dasar hubungan patriarkal. Pada patriarki tingkat paling abstrak ada sebagai sistem hubungan sosial dibangun di atas asumsi bahwa setiap kali seseorang berhubungan dengan perempuan, dia akan berusaha menindasnya.

Tingkat kedua patriarki disusun sekitar enam struktur patriarki, antara lain, cara produksi patriarki; hubungan patriarkal dalam pekerjaan; hubungan patriarki dalam negara; kekerasan laki-laki; hubungan patriarki dalam seksualitas; hubungan patriarki di institusi budaya, seperti agama, media, dan pendidikan.

Dalam teori sosial, seperti dalam kehidupan sehari-hari, kita salah menganggap bahwa orang memahami konsep yang sudah dikenal dengan cara yang sama seperti kita. Meski feminisme bukanlah perspektif terpadu atau serangkaian gagasan, ada beberapa makna dan asumsi bersama, sehubungan dengan apa yang kita pahami dengan konsep ‘perempuan’ dan ‘laki-laki’.

Buku teks secara historis menguraikan tiga tahap aktivisme dan teori feminis. Gelombang pertama feminis di abad ke-19 dan awal abad ke-20 berargumen dan berkampanye untuk kesetaraan di bidang hukum dan politik.

Kemudian, feminisme gelombang kedua (tahun 1970-an) dibangun berdasarkan perbedaan yang diidentifikasi oleh Simone de Beauvoir, antara jenis kelamin ‘alami’ dan ‘dibangun’/gender budaya. Gelombang kedua sering dikaitkan dengan kaum-kaum feminis tersohor, seperti Betty Friedan, The Feminine Mystique (1965), Kate Millett, Sexual Politics (1970) dan Germaine Greer’s The Female Eunuch (1970).

Para penulis sekaligus pemikir feminis ini menginginkan lebih dari sekadar hak yang sama. Mereka ingin meningkatkan kesadaran tentang beragam isu dalam kaitannya dengan identitas dan hierarki gender. Dalam pandangan mereka, semua perempuan memiliki ikatan patriarki yang menindas yang ditegakkan oleh ayah, suami dan berbagai pria lainnya.

Christine Delphy berpendapat bahwa perempuan adalah kelas sosial, ditundukkan oleh heteroseksualitas reproduktif yang dipaksakan secara paksa.

Secara bersamaan, para feminis pertama dan kedua menduga hal itu. Mereka berkesimpulan bahwa perempuan menderita diskriminasi karena jenis kelamin mereka; struktur sosial dan budaya dibentuk oleh patriarki, yang bersifat global, ahistoris dan di luar kendali manusia.

Patriarki dialami secara langsung oleh semua perempuan; dominasi laki-laki ditemukan secara pribadi dan aspek publik dari kehidupan seorang perempuan, dari “integritas tubuh”; hingga akses yang tidak setara terhadap profesi dan politik. Laki-laki menolak pengetahuan perempuan, melalui kontrol terhadap proses sosialisasi; laki-laki bertanggung jawab atas penindasan dan subordinasi, baik ditingkat institusional maupun tingkat gagasan; semua hal di atas sering diperkuat oleh kekerasan-kekerasan yang dialami oleh perempuan.

Gelombang pertama dan kedua feminisme mengambil asumsi ini sebagai pembagian langsung dan tak terelakkan, ditentukan secara biologis antara ‘feminin’ dan ‘maskulin’. Pendekatan ini mencoba untuk membentuk perpecahan yang kaku antara ‘pria’ dan ‘perempuan’. Maka, tak salah fenomena yang terjadi di ruang-ruang publik, sexual harassment (kekerasan seksual). Dalam tulisan itu, Brooks menegaskan bahwa kekerasan bukan hanya seks dan bukan hanya kekuatan; ini adalah campuran jahat dari keduanya.

Jika dilihat dari kacamata psikologi, para peleceh ini memiliki apa yang disebut sebagai maskulinitas yang bermusuhan; mereka rupanya merasa senang karena menghukum perempuan yang membangkitkan hasrat mereka.

Thompson dalam bukunya, Radical Feminism Today mengklaim bahwa untuk memperdebatkan feminis kita harus mengambil sikap ‘politis’ yang berada di luar politik tradisional dan melampaui pengertian gender sebagai ‘konstruksi sosial’. Feminisme adalah perusahaan moral dan sosial yang peduli dengan isu ‘nilai’, baik dan jahat, benar dan salah, dan menciptakan kerangka politik untuk kondisi manusia.

Ini melibatkan dan mengungkap hubungan sosial kekuasaan yang bersifat supremasi laki-laki dan selalu menindas semua perempuan. Unsur kunci dari dominasi ini adalah bahwa kepentingan manusia dipandang sebagai kepentingan manusia universal. Hanya pria yang dikenali memiliki status ‘manusia’, karena penis adalah ‘satu-satunya simbol status “manusia” yang diperbolehkan dalam kondisi supremasi laki-laki’.

Dalam pandangan Thompson hal ini memungkinkan perempuan untuk ditolak hak dan martabat manusia. Oleh karena itu, ‘seks sangat penting bagi penindasan perempuan’, dan konstruksi ideologis seks ada di sekitar penis. Perempuan terlibat dengan ideologi ini karena mereka menerima status kelas dua yang diberikan kepada mereka dan meniru subordinasi mereka dengan menerima hubungan heteroseksual, merasa tidak terpenuhi jika mereka tanpa pria untuk menyusun keinginan mereka.

Perempuan di bawahnya melayani orang laki-laki: ‘Laki-laki bukan apa-apa selain penis mereka, perempuan tidak lain adalah “benda” yang bisa digunakan untuk melayani’.

Kekerasan seksual yang telah menjadi isu sosial akan terus ada dalam hubungan sosial kita. Kekerasan seksual yang kita pandang sebuah peristiwa biasa-biasa saja padahal dampaknya sangat berbahaya bagi kelangsungan aktivitas manusia, terutama bagi kaum perempuan. Kaum perempuan selalu diliputi perasaan gelisah ketika keluar rumah, kaum perempuan merasa was-was ketika memakai pakaian yang mereka suka dan bertemu orang-orang diruang publik di luar sana.

Patriarki adalah cara ampuh yang dipergunakan lelaki untuk mengontrol perempuan. Patriarki dapat mengambil bentuk yang berbeda dan bergantung pada berbagai struktur. Jika satu struktur ditentang dan menjadi tidak efektif, yang lain dapat dengan mudah menggantinya. Selain itu, hubungan patriarki tidak diberikan begitu saja, hal itu diciptakan oleh individu sebagai media dan hasil dari praktik yang membentuk kehidupan mereka sehari-hari.

Orang-orang memanfaatkan struktur patriarki untuk memberdayakan diri mereka sendiri dan membuat tindakan sosial mereka menjadi efektif. Dengan demikian, mereka memperkuat struktur ini. Struktur patriarki seperti “magnet” yang secara konstan ada dan karena ditarik oleh manusia, diperkuat, dan diciptakan kembali.

Kolom terkait:

Belajar dari Gerakan Women’s March Washington

Hari Perempuan Internasional: Sebuah Tengokan ke Dalam

Feminisme dan Prostitusi

Menuju Gerakan Perempuan Baru [Catatan Perempuan 2016]

Apa yang Diperkuat oleh Obat Kuat? Patriarki!

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.