Jumat, Maret 29, 2024

Warisan Terakhir Ben Anderson

Lutfhi Anshori
Lutfhi Anshori
Jurnalis GeoTIMES dan penggemar sepak bola.

bukuben

Tentang anarkisme Eropa dan nasionalisme negara dunia ketiga.

Diskusi buku yang diselenggarakan di kampus Universitas Indonesia, Depok, 10 Desember lalu, barangkali menjadi kado perpisahan yang manis bagi Indonesianis kenamaan, Ben Anderson, dengan masyarakat Indonesia.

Tiga hari setelah acara tersebut, ilmuwan kelahiran Kunming, China, 79 tahun silam, itu mengembuskan napas terakhir di Malang, Jawa Timur. Ia meninggal di negara yang paling dicintainya, setelah melakukan penelitian panjang mengenai sejarah, politik, dan budaya di kawasan Asia Tenggara sejak 1960-an.

Karyanya yang diluncurkan terakhir Di Bawah Tiga Bendera: Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial. Buku ini membahas riwayat perlawanan kaum anarkis militan di benua Eropa dan Amerika, serta hubungannya dengan keruntuhan imperium Spanyol di negara-negara dunia ketiga.

Secara spesifik, Ben membatasi kajiannya di periode abad ke-19. Melalui kajian teks terhadap dua karya tokoh besar Filipina El Filibusterismo (Jose Rizal) dan El folk-lore Filipino (Isabelo de los Reyes), ia menceritakan rentetan gerakan revolusioner José Martí di Kuba hingga pemberontakan Katipunan di Filipina.

Tak hanya melakukan studi pustaka, Ben juga menempuh perjalanan “masa silam” dengan menelaah bacaan dan pengalaman Rizal selama di Eropa (1882-1891), termasuk meneliti novel perdananya: Noli Me Tangere yang menjadi simbol perlawanan rakyat Filipina terhadap kolonialisme.

Dalam teorinya, Benedict Richard O’Gorman Anderson mengemukakan tesis bahwa pemberontakan yang dilakukan kelompok anarkis Eropa dan kaum nasionalis  di negara dunia ketiga memiliki keterkaitan. Salah satu faktor yang mendukung interkoneksi antara kelompok radikal penentang kolonial adalah terjadinya revolusi komunikasi yang diawali penemuan telegraf pada pertengahan abad ke-19.

Selanjutnya, pendirian Universal Postal Union (Organisasi Pos Sedunia) pada 1974 makin mempercepat penyebaran kabar tersebut melalui surat, majalah, ataupun buku-buku. Seperti pemboman paling berdarah yang dilakukan kelompok anarkis Barcelona semasa pemerintahan rezim Canovas, yang kemudian memantik gerakan perlawanan serupa di seantero Eropa hingga menyeberang ke Samudra Atlantik.

Menariknya, perlawanan tersebut digaungkan melalui halaman-halaman La Revue Blanche, jurnal avant-garde terkemuka di Prancis. Artikel-artikel yang ditulis seorang anarkis kebangsaan Kuba, Tarrida, dengan cepat memperoleh simpati dan dukungan dari organisasi-organisasi dan jurnal progresif di Prancis.

Kisah perjuangan mereka ditutup dengan terbunuhnya Canovas (1897) di tangan seorang anarkis muda Italia, Michele Angiolilo, yang menjadi penanda keruntuhan imperium Spanyol setahun berikutnya.

Di saat kelompok anarkis Eropa sedang bergolak, belahan dunia lain di Amerika Latin dan Asia juga merasakan letupan yang sama. Di Florida dan New York, pada 1895, Jose Marti menggalang kekuatan bersama para imigran Kuba untuk melakukan pemberontakan terhadap musuh yang sama: Spanyol.

Di Filipina, selain Rizal dan Isabelo, muncul satu lagi tokoh yang berperan penting dalam pemberontakan kaum Katipunan, Mariano Ponce, sebagai propagandis pemerintahan revolusioner Filipina yang andal. Ia melakukan banyak korespondensi dengan orang-orang asing di Mexico City, New Orleans, New York, Barcelona, Paris, London, Amsterdam, Shanghai, Tokyo, dan Singapura.

Sedangkan Isabelo, sepulang dari pengasingan penjara Montjuih, Barcelona, membawa banyak karya Kropotkin, Marx, dan Malatesta, termasuk mempraktikan apa yang diajarkan rekan-rekan anarkis Katalunya dengan mengorganisasi serikat buruh pertama Filipina yang lebih serius dan militan.

Secara umum, pembaca mendapatkan pemahaman keterkaitan global tersebut melalui imajinasi sosok-sosok yang menjadi bahasan utamanya. Namun, seperti dikatakan sejarawan Andi Achdian, hal itu masih bisa diperdebatkan.

Ia menganggap tesis Ben masih merupakan hal yang samar. Apalagi bila melihat perkembangan anarkisme di India dengan sosok Swami Vivekenanda, yang baru mengambil sikap revolusioner setelah perjumpaan dengan seorang anarkis Rusia Pyotr Kropotkin.

Lutfhi Anshori
Lutfhi Anshori
Jurnalis GeoTIMES dan penggemar sepak bola.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.