Sabtu, April 20, 2024

Tumpeng Nasionalisme di Negeri Seberang

Anna Christi Suwardi
Anna Christi Suwardi
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Paramadina, Jakarta. Alumnus S2 Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.

[ANTARA FOTO/Yusran Uccang]
Sudah kian sepuh saja Republik Indonesia. Hari ini, 17 Agustus 2017, Indonesia genap menginjak 72 tahun usia kemerdekaannya. Perjalanan NKRI mengisi kemerdekaan sejauh ini telah mencapai banyak kemajuan dari pelbagai sektor, meski tidak sedikit pula persoalan yang belum terselesaikan. Tantangan di era milenial juga menuntut Indonesia mempertangguh diri guna siap menghadapi berbagai dinamika yang akan datang.

Perayaan HUT RI tahun ini yang bertemakan “Indonesia Kerja Bersama” agaknya tepat dijadikan sebagai jargon pemantik semangat persatuan dan meningkatkan etos kerja masyarakat Indonesia. Kerja nyata menjadi urgensi penting ketimbang muluknya retorika dan wacana yang urung diwujudkan dengan baik. Demikian pula dimensi semangat kebersamaan adalah hal yang saat ini perlu dikobarkan kembali di tengah kehidupan sosial kita yang acap rentan terpecah belah atas perbedaan dan kemajemukan.

Lalu, seperti apa pemaknaan dan perayaan HUT RI ke-72 di luar atanah air? Akankah diaspora Indonesia yang tinggal di luar negeri masih memiliki semangat keindonesiaan ataukah justru benih-benih nasionalisme yang mereka miliki kian layu tergerus oleh jarak, ruang, dan waktu yang jauh dari kampung halaman?

Mengambil contoh dari Negeri Gajah Putih, Thailand, kisah perayaan “tujuh belasan” barangkali narasi kemeriahan “agustusan” menjadi berbeda. Di ibu kota–Bangkokdi–di mana KBRI berada, pihaknya mengadakan beberapa rangkaian acara, seperti pertandingan olahraga dan bazaar di penghujung acara. Namun, diaspora Indonesia di Thailand tersebar dari selatan hingga utara, sehingga tidak semua bisa menikmati kemeriahan acara perayaan kemerdekaan di Bangkok.

Agustusan di Lower Northern Thailand

Berbeda dari gegap gempita perayaan HUT RI di tanah air, tidak pula semeriah yang diadakan KBRI di Bangkok, WNI yang berada di wilayah Lower Northern Thailand memiliki cerita tersendiri dalam merayakan hari kemerdekaan dengan kesederhanaan.

Berjumlah tidak lebih dari 50 orang, kami membuat acara sederhana difasilitasi dan bertempat di salah satu universitas negeri terbesar di wilayah ini bersamaan dengan agenda yang diadakan pihak universitas bertajuk “Naresuan University (NU) Open House 2017”. Agenda ini merupakan acara untuk menyambut mahasiswa baru selama dua hari, 17-18 Agustus 2017, sekaligus memperkenalkan seluruh perwakilan komunitas negara asing yang ada di lingkungan kampus.

Dengan booth ukuran tiga kali dua setengah meter, kami mengusung tema “Dirgahayu RI” yang kami lengkapi dengan berbagai atribut keindonesiaan. Pertunjukan tari dari daerah Sumatera Utara, paduan suara lagu kebangsaan, dan kuliner khas Indonesia kami hadirkan guna mempromosikan Indonesia kepada khalayak yang datang.

Meskipun dalam jumlah kecil, ihwal keberagaman juga terjadi dalam komunitas ini. Perbedaan suku (Batak, Aceh, Sunda, Jawa, Melayu Sumatera, Bugis) dan agama (Islam, Kristen, Katolik) yang kami miliki kadang masih saja menyebabkan gesekan-gesekan perbedaan pendapat. Akan tetapi, di bawah satu nama (Indonesia) kami tetap bergandengan tangan dan mampu guyub rukun menunjukkan semangat solidaritas kebangsaan.

Kesederhanaan atas peringatan HUT RI dari komunitas kecil WNI di Lower Northern Thailand mengusik penasaraan perihal bagaimana nasionalisme dan kemerdekaan dimaknai. Sebagai minoritas, kami yang kebanyakan sivitas akademis harus berjibaku dan menyesuaikan diri pada kehidupan sosial masyarakat lokal, baik dari segi bahasa, norma budaya serta corak agama Buddha.

Makanan halal sudah pasti menjadi tantangan tersendiri bagi para Muslim dan kesulitan mengikuti pemberkatan di Gereja dalam bahasa lokal juga dialami oleh rekan-rekan Nasrani. Namun, di sisi lain, infrastruktur yang baik, harga-harga kebutuhan pokok yang tebilang murah, dan standar upah penghasilan yang lebih tinggi menjadi poin plus yang bisa dinikmati.

Disadari ataupun tidak, dua sisi koin realita kehidupan di luar negeri membawa refleksi tersendiri atas pemaknaan nasionalisme. Rasa cinta tanah air kami acapkali tergugah justru pada saat kerinduan akan cita rasa makanan asli Indonesia datang yang sulit tergantikan oleh apa pun. Selain makanan, orang juga menjadi hal yang membuat kami selalu rindu kampung halaman, kebiasaan gotong royong dan kebersamaan dalam setiap komunitas adalah salah satunya.

Disengaja maupun tidak, diaspora Indonesia di luar negeri juga berperan sebagai agen promosi potensi Indonesia, terutama sektor pariwisata. Tidak jarang warga lokal memilih berwisata ke Indonesia setelah berinteraksi dengan WNI.

Demikianlah, sepenggal kisah sederhana perayaan HUT RI di Lower Northern Thailand. Layaknya seperti tumpeng, beragam lauk pauk yang mengelilinginya terasa nikmat dimakan bersama nasi kuningnya. Demikian pula kami di perantauan sini, keberagaman yang sering menjadi narasi perbedaan pada saat di tanah air justru menjadi semangat pemersatu di bawah satu naungan, kibar merah putih.

Dirgahayu Indonesiaku, damai dan jayalah selalu.

Baca juga:

Sebuah Pertanyaan Untuk Nasionalisme

Jokowi dan Nasionalisme Ketok Magic

Memperalat Negara [Renungan 71 Tahun Kemerdekaan Indonesia]

Anna Christi Suwardi
Anna Christi Suwardi
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Paramadina, Jakarta. Alumnus S2 Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.