Rabu, November 20, 2024

Terorisme, Kegilaan Baru, dan Krisis Qatar

Suhadi Cholil
Suhadi Cholil
Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Ketua LAKPESDAM NU Yogyakarta. Meraih PhD di Radboud University Nijmegen, Belanda, dalam bidang Inter-Religious Studies. Associate researcher di School of Social Sciences, University of Western Australia dan penulis.
- Advertisement -
Seorang warga meletakkan bunga penghormatan setelah renungan di Potters Field Park, di dekat lokasi serangan di London Bridge, London, Inggris, Senin (5/6). ANTARA FOTO/REUTERS/Clodagh Kilcoyne

Tidak ada hari tanpa aksi terorisme. Ini kegilaan baru dan nyata. Mungkin itulah kata-kata yang tepat mewakili situasi dunia kita sekitar tiga pekan belakangan ini. Di Indonesia, dan Asia Tenggara pada umumnya, aksi terorisme selama ini masih dianggap sporadis. Namun, ancamannya menjadi semakin nyata setelah konflik meletus di Marawi, Filipina selatan, yang melibatkan jaringan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) atau yang dalam akronim bahasa Arab disebut Daesh.

Oleh sebab itu, negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Australia, dan Jepang sedang berpikir keras bagaimana mengantisipasi perkembangan ISIS di kawasan ini.

Terorisme adalah kegilaan baru di era postmodern. Ketika di era modern orang berjuang keras untuk sebuah kehidupan, di era postmodern ini ada sekelompok orang yang berjuang keras untuk sebuah kematian. Ironisnya, kematian itu bukan kematian pribadi untuk dirinya sendiri, tapi juga mengakibatkan kematin banyak orang lain.

Aksi Teror Beruntun

Sekitar tiga pekan lalu, bom meledak di Manchester Arena, Inggris, saat konser Ariana Grande pada 22 Mei 2017 yang menewaskan 22 orang dan lebih dari 60 orang terluka. Dua hari kemudian, bom bunuh diri meledak di terminal Kampung Melayu. Bom ini mengakibatkan 3 polisi meninggal, 2 orang pelaku juga tewas, dan kira-kira 10 orang terluka.

Sementara itu, seminggu setelahnya, tepatnya 31 Mei 2017, teror bom terjadi di Kabul, Afghanistan. Pemerintah setempat mengumumkan 49 orang meninggal dan 320 lainnya luka-luka.

Tiga hari kemudian, 3 Juni, teror bom malam hari terjadi di London Bridge dan Borough Market, Inggris. Tercatat 6 orang meninggal dan sekitar 48 orang luka-luka. ISIS mengklaim bertanggung jawab atas aksi teror ini.

Lagi, dalam hitungan 3 hari setelahnya, 6 Juni 2017, lagi-lagi ISIS mengklaim bertanggung jawab atas aksis terorisme penyanderaan warga di Melbourne Australia. Dalam aksi ini 2 orang meninggal, termasuk pelaku teror, dan 3 orang polisi terluka. Dan sehari setelah itu, 7 Juni, giliran parlemen Iran di Teheran yang diteror.

Selain ISIS telah menjadikan Suriah dan Irak sebagai basis utama gerakan, mereka juga telah membuka cabang resmi di sembilan negara. Setelah terdesak di Suriah, gerakan ISIS berusaha merangsek ke kawasan baru, salah satunya Asia Tenggara.

Kompas edisi 6 Juni menyajikan analisis sebaran anggota ISIS di sejumlah negara. Di Indonesia, memang belum dibuka cabang resmi, tetapi diperkirakan sudah ada 700 orang yang bergabung menjadi anggota resmi ISIS. Dengan 700 pengikut militan itu, mereka sangat potensial membuka cabang resmi di Indonesia, tentu jika tidak ada antisipasi secara serius.

Terorisme adalah Kegilaan

Saat ini tidak ada “kegilaan” yang lebih mengejutkan dan mengkhawatirkan melebihi kegilaan terorisme. Perang merupakan sebuah kejahatan dan warisan buruk peradaban politik manusia. Meskipun demikian, dalam sebuah perang pihak yang berkonflik memberikan aba-aba. Dalam perang juga berlaku konvensi internasional yang dapat meminimalisasi jatuhnya korban.

- Advertisement -

Dalam perang, target korbannya lebih jelas, meskipun juga ada kemungkinan besar salah sasaran. Tidak demikian dengan aksi terorisme. Kecenderungan aksi-aksi terorisme belakangan ini semakin tidak jelas sasarannya. Misalnya, teroris menabrakkan truknya pada kerumunan massa yang sedang merayakan hari nasional Prancis di Nice pada pertengahan Juli tahun lalu. Seketika 77 orang meninggal. Agenda terorisme adalah memunculkan moral panic masyarakat.

Setelah memperhatikan aksi-aksi teror yang terjadi belakangan ini, saya teringat penelitian saya di Surakarta tujuh tahun lalu. Dalam sebuah wawancara dengan saya, seseorang mengatakan, “Ya… orang beragama itu ya ada yang normal, ada yang radikal”.

Ungkapan ini terdengar ringan, tapi sebenarnya sangat mendalam. Dalam kacamata Piere Bourdieu (1992) bahasa berperan “to make and unmake social groups”. Di sini orang beragama pada umumnya dianggap normal, sementara para teroris dianggap abnormal alias gila.

Apa yang dianggap ketidaknormalan atau kegilaan dalam sebuah masa tertentu telah menjadi perhatian menarik para sarjana. Reproduksi pengetahuan tentang kegilaan yang berbeda mengundang penyikapan yang berbeda pula kepada mereka yang dianggap gila.

Michel Foucault (1972) dengan gamblang membeberkan sejarah kegilaan dalam karyanya, Histoire de la Folie à l’âge Classique (Sejarah Kegilaan Zaman Klasik). Pertama, pada akhir Abad Pertengahan dan awal Renaisan, kegilaan masih dipandang sebagai kewajaran. Orang gila identik dengan orang sakit lepra. Sebagaimana orang lepra yang diasingkan, saat itu orang gila juga diasingkan atau diisolasi.

Kedua, pada zaman Klasik atau sekitar abad ke-17 kegilaan mulai dipertentangkan dengan akal. Orang gila dianggap tidak berakal, sehingga misalnya di Paris tahun 1965 dibangun Hôspital General untuk memenjarakan dan mengurung orang-orang gila. Pada masa itu orang-orang gila juga dianggap turun derajatnya dari manusia menjadi binatang. Maka, tidak jarang orang gila dipertontonkan kepada khalayak ramai di tempat umum layaknya binatang di kebun binatang di era kita sekarang.

Ketiga, setelah zaman Klasik, kegilaan dipandang sebagai penyakit jiwa (mental illness). Mereka tidak lagi identik dengan tidak berakal, tapi kegilaan lebih dipertentangkan dengan moralitas. Kemudian orang-orang gila dikeluarkan dari penjara dan dipindahkan ke suatu tempat penampungan yang disebut asylum. Pada perkembangan berikutnya mereka ditampung di lembaga-lembaga pedagogis yang melibatkan peran dokter.

Foucault menyimpulkan tiap zaman mempunyai pengandaian dan cara pendekatan tertentu terhadap realitas. Konstruksi pengetahuan ini kemudian dipopulerkan dengan istilah episteme. Karena episteme yang menganggap terorisme sebagai kegilaan, para teroris kemudian dipenjara atau pandangan mereka diluruskan melalui program deradikalisasi.

Teringat ungkapan di atas tentang kata ”radikal” yang dilawankan dengan ”normal”, program deradikalisasi merupakan tindakan normalisasi, agar seorang teroris tidak lagi radikal dan menjadi normal.

Jangan Ikut Gila

Seruan untuk jangan ikut gila di sini bisa memiliki dua pengertian sekaligus. Pertama, pentingnya menghindarkan diri dari keikutsertaan pada gerakan para teroris. Kedua, bagaimana kita tidak ikut gila dalam menyikapi aksi-aksi terorisme.

Pengertian pertama tersebut sudah sangat gamblang. Pengertian kedua membutuhkan kejelian yang lebih cermat. Bagaimana penyikapan kita terhadap gerakan terorisme pada satu sisi tidak malah memupuk dan menyuburkan aksi terorisme itu sendiri. Di sisi lain, bagaimana sikap kita pada kelompok teroris tidak malah berpotensi membuat kerusakan yang lebih besar.

Hari-hari ini, dengan dukungan penuh Amerika Serikat, saya melihat Arab dan sekitar enam negara sekutunya di Timur Tengah yang membangun permusuhan diplomatik dengan Qatar sedang mengarah pada kegilaan baru. Sikap mereka dalam memerangi terorisme di kawasan Timur Tengah pasca Arab Spring, dengan memutus hubungan diplomatik dengan Qatar dan menyerukan perlawanan keras terhadap Iran, jelas berpotensi memperkeruh suasana Timur Tengah yang sudah sangat panas satu dekade belakangan ini.

Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik harus belajar dari peristiwa ini. Pertama, untuk Indonesia, penting untuk tetap mempertahankan prinsip diplomasi luar negeri bebas aktif dalam menyikapi babak baru konflik Timur Tengah melalui propaganda dan retorika anti terorisme mereka.

Kedua, perlawanan dan pencegahan terhadap aksi-aksi terorisme yang semakin mengancam di kawasan Asia Tenggara harus dilakukan dengan cermat. Pada satu sisi, keamanan warga merupakan kepentingan yang tak bisa ditawar. Namun di sisi lain juga bagaimana perlawanan terhadap terorisme tidak menumbuhkan benih-benih simpati terhadap para teroris. Sudah bukan rahasia lagi, di antara narasi yang dibangun oleh para teroris adalah mereka menjadi korban ketidakadilan global.

Mungkin di antara yang penting diperhatikan adalah bagaimana memisahkan, atau minimal membedakan, antara kepentingan memerangi ideologi terorisme dan agenda politik ekonomi kawasan. Apa yang terjadi di Timur Tengah saat ini adalah usaha untuk meleburkan dua agenda dan kepentingan itu yang mulai terlihat kontraproduktif. Kita tidak boleh terjebak pada kegilaan terorisme dengan ikut-ikutan menjadi gila dan kalap.

Suhadi Cholil
Suhadi Cholil
Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Ketua LAKPESDAM NU Yogyakarta. Meraih PhD di Radboud University Nijmegen, Belanda, dalam bidang Inter-Religious Studies. Associate researcher di School of Social Sciences, University of Western Australia dan penulis.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.