Jumat, April 26, 2024

Terorisme dan Dunia tanpa Kejahatan Kemanusiaan

Aura Asmaradana
Aura Asmaradana
Mahasiswi tingkat akhir di STF Driyakarya, Jakarta. Karyanya, "Solo Eksibisi" - Kumpulan Cerita Pendek (2015)
Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan istri Wapres Mufidah Jusuf Kalla menjenguk korban bom Kampung Melayu, di Rumah Sakit Polri Sukanto, Kramat Jati, Jakarta, Kamis (25/5). ANTARA FOTO/Desca Lidya Natalia

Terorisme kerapkali diidentikkan dengan radikalisme dan absolutisme beragama. Namun, tampaknya kebertuhanan terlalu sederhana untuk melatari tindak kekerasan besar seperti peledakan bom bunuh diri dan pembunuhan massal.

Menanggapi kekerasan, banyak kecaman dilontarkan terhadap para pelaku teror yang memakan korban. Sayangnya, tak banyak yang turut fokus pada cara menanggulangi radikalisme dan absolutisme ini. Tentu latar belakang tindak membunuh kemanusiaan itu sangat kompleks, menyangkut dinamika sosial-budaya di muka bumi. Dan jalan terdekat menuju pembenahan pikir adalah melalui pendidikan tentang pluralitas.

Hal itu berkaca pada motif bahwa terdapat keterkejutan terhadap globalisasi—yang turut menggoda hasrat menggebu pendirian negara berbasis khilafah. Maka, tak ada alasan untuk tidak merumuskan upaya keluar menuju dunia tanpa kejahatan kemanusiaan.

Bom Membunuh Kemanusiaan
Bom bunuh diri baru saja meledak di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Dua orang pelakunya disoroti media karena dua sebab. Alasan pertama—yang cukup receh—adalah sebab kondisi tubuh setelah matinya yang mengerikan. Kedua, korban didaku ISIS sebagai “salah satu pejuang ISIS”.

Klaim itu dinyatakan oleh Amaq News Agency—media ISIS, SITE Intelligence Group—firma analis dan intelijen privat berbasis di Maryland, Amerika Serikat, dan diwartakan Turkish Radio and Television World (TRTWorld.com) pada Jumat, (26/5/2017).

Ketika bom meledak, siapa pun bisa menjadi korban. Tak pandang suku, agama, ras, atau golongan. Di Kampung Melayu, tiga orang polisi meregang nyawa. Banyak pula yang terluka. Namun kenyataannya, korban jauh lebih besar dari sekadar jumlah. Bom Kampung Melayu—seperti pula yang terjadi di Manchester dan Marawi—telah memakan korban berupa kemanusiaan.

Tak hanya korban nyawa, lewat aksi teror, lahir pula korban-korban ketakutan. Masyarakat takut bepergian, paranoid pada orang asing dengan stereotipe tertentu. Lalu karena takut, manusia menjadi saling curiga, bahkan saling membenci. Sungguh, terorisme berhasil ketika ketakutan dan kebencian merebak. Dan tepat ketika itulah kemanusiaan menjadi korban.

Kemanusiaan memang abstrak. Tapi dampak dari pengabaiannya luar biasa. Pengebom bagai tak punya rasa hormat terhadap kemanusiaan. Sekilas, mereka seperti kehilangan rasa takut terhadap sakit dan kematian. Dalam kasus Kampung Melayu dan ISIS secara global, mereka menganggap bahwa apa saja yang menyangkut agama dan atas nama Tuhan seolah pasti luhur dan diperbolehkan. Cara pikir yang fatalistik—meski sebetulnya terorisme tak sesederhana urusan Tuhan.

Takut Globalisasi
Padahal, sebetulnya, para pelaku teror sedang takut terhadap globalisasi. Ketika dunia internasional terintegrasi, maka terjadi pertukaran pandang tentang dunia, pemikiran, peradaban, dan budaya. Kita harus akui bahwa semua itu berlangsung cepat dan mengejutkan.

Teknologi datang, mematenkan globalisasi. Dunia bergerak cepat dan beranjak semakin plural. Anak-anak semakin terbiasa dengan perbedaan berkat media sosial, sehingga para orangtua menggawanginya dari perkara macam seks bebas yang “sungguh Barat”. Sementara itu, orang tua terkejut-kejut melihat ideologi-ideologi baru berlabuh. Itu mengapa banyak orang terperanjat melihat ada remaja seperti Afi Nihaya sehingga ia dianggap sekuler—bahkan dianggap sebagai misionaris Kristen.

Kalau bicara pluralitas, sebetulnya itu hal kuno. Indonesia ini adalah sebuah realitas plural. Dari zaman batu, banyak ragam perbedaan terdapat di wilayah ini. Bukan hanya Indonesia, sebetulnya. Kemajemukan adalah sifat dasar segala realitas.

Maka, wajarlah jika banyak gerakan ekstrem yang menginginkan—dalam bahasa B Herry Priyono— “kembali ke fundamen” atau kembali pada komunalisme. Orang-orang yang terkejut karena globalisasi ini pada akhirnya bermuara pada laku ekstrem melawan pluralitas, alias melawan realitas itu sendiri.

Menurut analisa Herry Priyono, mereka yang menolak pluralitas biasanya terjalin erat dengan proyek-proyek “peternakan politik”. Peternakan itu adalah perkawinan nafsu telanjang untuk berkuasa dengan pathos absolutisasi ajaran agama.
Tampaknya memang tepat. Klaim ISIS sebagai dalang bom Kampung Melayu semakin menegaskan bahwa dua orang “martir” yang tewas merupakan korban dari hasrat berkuasa disulut isu agama, khususnya pendirian negara syariah Islam.

Negara utopis itu kelak anti keragaman. Mereka mengharamkan demokrasi sebab demokrasi mensyaratkan kebebasan memilih dan kebinekaan. Dan seperti yang sudah disebut tadi, negara itu jadi tampak tidak peduli pada nilai kehidupan dan kemanusiaan yang keramat.

Situasi akan beranjak gawat ketika cita-cita untuk menjadi seragam itu mulai banal—bahkan dikenal oleh anak-anak. Baru-baru ini beredar sebuah video yang merekam anak-anak yang pawai obor sambil meneriakkan yel-yel “Bunuh! Bunuh!” Seolah hal itu adalah biasa dan tak punya makna bagi hidup dan perkembangan psikologi kepribadian mereka.

Lalu, jika globalisasi adalah sebuah keniscayaan, bagaimana langkah konkret supaya kita bisa lepas dari ketakutan yang mendera?

Pendidikan yang Mempertemukan
Ketakutan terhadap globalisasi dan modernitas, jika tak ditanggulangi, niscaya akan masif. Kelak, mata kita akan banal terhadap pemandangan warga negara yang beringas, hilang akal sehat. Maka, dimulai dari aktivitas yang melibatkan anak-anak, yaitu pendidikan, kita harus mulai bertindak.

Pendidikan yang homogen harus dihilangkan, baik dalam pendidikan formal maupun informal—termasuk dalam keluarga. Pendidikan terbaik di era ini adalah pendidikan yang mempertemukan dengan liyan. Anak didik harus dibuat sadar bahwa pluralitas akan semakin jadi bersamaan dengan hilangnya sekat-sekat dunia. Semakin menyadari bahwa ada subjek lain yang berbeda dari dirinya, semakin anak didik tergoda untuk bersikap kritis.

Sikap kritislah yang—menurut filsuf Karl Jaspers dikutip oleh sistem pendidikan Freire—kemudian melahirkan dialog. Tak hanya itu, sikap kritis juga dapat ditularkan. Maka, didik saja anak yang tiada cinta, angkuh, tak ada harapan, tak punya rasa percaya, serta tak punya kritik dalam situasi yang sama dengan anak didik yang sebaliknya. Mereka akan bersama berkubang dalam dialog.

Dialog adalah bentuk komunikasi sejati. Ia adalah satu-satunya cara—tidak hanya dalam masalah politik—tetapi dalam seluruh ungkapan tentang eksistensi manusia.

Tapi, hanya dengan kepercayaan, dialog memiliki kekuatan dan makna: kepercayaan kepada manusia dan kemampuannya, keyakinan bahwa “saya” hanya dapat menjadi diri “saya” yang sejati tatkala orang lain juga menjadi sejati. Sebab, sesungguhnya dialog adalah hubungan empati antara dua kutub yang sama-sama terlibat dalam pencarian bersama.

Sebagai realitas yang memang ada sedari dulu dan akan ada terus, pluralitas harus dihadapi melalui prinsip antropologis kebudayaan; melalui keyakinan bahwa ada dunia natural dan dunia kultural. Manusia berperan aktif dalam (dan bersama) realitasnya. Kalau seseorang memeluk teguh suatu ideologi, mesti ada ajakan berpikir tentang peranan dirinya—melalui ideologi itu—dalam dan bersama dengan dunia.

Begitu juga dengan absolutisme beragama. Anak-anak sedari dini harus tahu bahwa dengan mengada di dunia, ada banyak perbedaan yang harus dihadapi. Sekolah-sekolah mulai menggalakkan aksi dialog dengan berbagai pihak. Itu mengapa saya berpikir bahwa eksklusivitas agama di sekolah tidak baik bagi perkembangan pandang tentang liyan.

Percuma saja sekolah inklusif menjamur belakangan ini kalau masih melibatkan embel-embel agama tertentu. Sekolah ya sekolah saja, belajar agama urusan masing-masing individu. Sekolah harusnya hanya menyediakan ruang publik yang ideal tempat anak didik bisa membawa spiritualitasnya dengan bebas dan (mengajarkan) rendah hati.

Kalau tak kenal pluralisme, manusia akan mudah takut pada mereka yang memeluk agama lain. Ada perasaan curiga terhadap segala macam hal yang berbeda. Suku beda, paranoid. Cara berdoa beda, dijauhi. Warna kulit beda, dianggap tak sederajat. Pokoknya segala hal yang memicu perpecahan. Bukankah hidup seperti itu berat rasanya? Bak dikejar-kejar sosok tak dikenal.

Maka, sesungguhnya, berdosa dalam “beragama sosial” adalah ketika kita takut. Bukan pada Tuhan, namun pada keniscayaan pluralitas.

Aura Asmaradana
Aura Asmaradana
Mahasiswi tingkat akhir di STF Driyakarya, Jakarta. Karyanya, "Solo Eksibisi" - Kumpulan Cerita Pendek (2015)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.