Jumat, Oktober 11, 2024

Sukmawati dan Otokritik Dakwah Muhammadiyah

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah

Sukmawati, dalam puisinya yang berjudul “Ibu Indonesia”, menganggap konde lebih cantik dari cadar, dan kidung Ibu Indonesia lebih merdu dari alunan azan. Puisi ini dibacakan Sukmawati dalam acara “29 Tahun Anne Avantie Berkarya” di Indonesia Fashion Week 2018.

Karena itu, Sukmawati dianggap telah menghina Islam. Selasa, (3/4) ia dilaporkan ke Polda Metro Jaya, antara lain oleh seseorang bernama Denny Andrian Kusdayat dengan tuduhan “penistaan agama” Islam. Bahkan ada sekelompok orang yang berusaha “meng-Ahok-kan” Sukmawati.

Sebenarnya wajar saja kalau Sukmawati menulis puisi seperti itu, karena ia memang mengaku “tak tahu syariat Islam”.  Kalaupun ia tahu syariat Islam, mungkin maksudnya ingin mengkritik orang-orang yang—meminjam istilah Andar Nubowo—“thataruf dalam berpakaian dan ritual salat”, atau dalam bahasa Ketua Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera, kritik terhadap partai Islam atau pejuang Islam.

Terlepas dari kontroversi puisinya, siapa sebenarnya Sukmawati? Nama lengkapnya Diah Mutiara Sukmawati Sukarnoputri, anak pasangan Sukarno dan Fatmawati binti Hasan Din.

Kedua orang tua Sukmawati adalah tokoh Muhammadiyah. Ayahnya, Sukarno, semua orang tahu merupakan Presiden pertama Republik Indonesia. Tapi sebelum menjadi presiden, beliau adalah ketua bidang pendidikan Muhammadiyah di Bengkulu—tempat Sukarno mempersunting Fatmawati, putri Hasan Din, Ketua Konsul Muhammadiyah Bengkulu.

Dalam buku outobiografi Fatmawati, Catatan Kecil bersama Bung Karno dipaparkan dengan jelas Fatmawati aktif dalam Nasyiatul Aisyiyah, organisasi sayap putri Muhammadiyah. Bapaknya, Hasan Din, adalah aktivis Muhammadiyah yang teguh pendirian. Suaminya, Sukarno, sangat dekat dengan Kiai Mas Mansyur, Hoofd Bestuur (Ketua Pimpinan Pusat) Muhammadiyah.

Lantas, mengapa anak-anak pasangan Sukarno-Fatmawati terkesan “jauh” dari Muhammadiyah, termasuk Sukmawati?

Mungkin karena pasangan Sukarno-Fatmawati terlalu sibuk mengurus negara sehingga abai mengajarkan agama secara formal pada putra-putri mereka. Tidak seperti Fatmawati yang taat beragama dan pandai mengaji karena pendidikan dari orang tuanya.

Meskipun demikian, menurut Guntur Sukarnoputra, seluruh anak Sukarno dididik oleh Bung Karno dan Ibu Fatmawati Sukarno sesuai ajaran Islam. Oleh karena itu, ia merasa kecewa atas puisi yang dibacakan Sukmawati.

Marhaenis-Muhammadiyah

Abdul Munir Mulkhan membagi Muhammadiyah ke dalam empat varian, yaitu (1) kelompok Al-ikhlas (menyebut dirinya sebagai Islam murni); (2) kelompok Kiai Dahlan (Islam murni tetapi masih memiliki toleransi terhadap praktik TBC); (3) Neotradisionalis (kelompok gabungan antara Muhammadiyah dan NU/Munu); dan (4) Neosinkretis (Muhammadiyah-Nasionalis/Munas, dikenal juga sebagai Marmud, Marhaenis-Muhammadiyah).

Dalam varian Munir Mulkhan, Sukmawati termasuk Marmud karena ia jelas “anak Muhammadiyah”. Lahir dari rahim seorang ibu aktivis Nasyiatul Aisyiyah, dan cucu dari pimpinan Muhammadiyah, namun ia mengaku kurang mendapatkan pendidikan agama yang mendalam.

Ajaran nasionalisme lebih menghunjam dalam batinnya, dan puisi “Ibu Indonesia” merupakan ekspresi dari cintanya pada Indonesia yang melebihi cintanya pada agama.

Sebagaimana disampaikan pada Din Syamsuddin, Sukmawati sama sekali tidak punya niat untuk menghina Islam, agama yang dipeluknya sejak lahir. Untuk itu, ia pun meminta maaf pada segenap umat Islam yang merasa tersinggung karena puisinya.

Otokritik Muhammadiyah

Kasus puisi Sukmawati bisa menjadi otokritik bagi Muhammadiyah, bahwa masih ada—mungkin juga banyak—dari kalangan keluarga besar Muhammadiyah sendiri yang belum memahami sepenuhnya ajaran Islam.

Dakwah Muhammadiyah yang berorientasi ke dalam (dakwah ijabah) masih kurang dikembangkan karena lebih berorientasi ke luar (umat dakwah) dengan menekankan amar ma’ruf nahi munkar. Muhammadiyah lebih peduli dengan keberagamaan orang/kelompok lain, ketimbang pada dirinya sendiri. Metode dakwah “ibda’ binafsik” (memulai dari diri sendiri) perlu lebih dikembangkan dalam aktivitas dakwah Muhammadiyah.

Dulu, pada era KH Ahmad Dahlan, cara dakwah Muhammadiyah banyak dikafirkan orang, kini sudah mulai banyak di antara aktivis Muhammadiyah yang suka mengkafirkan orang lain. Pergeseran pola dakwah yang berkembang saat ini, dari cara-cara hikmah (simpatik) menjadi cara-cara yang menakut-nakuti, mengutuk, dan bahkan merusak (dengan alasan nahi munkar) seyogianya menjadi perhatian Muhammadiyah.

Pola-pola dakwah yang cenderung menakut-nakuti telah membuat objek dakwah (umat yang seyogianya menjadi sasaran dakwah) antipati terhadap segala hal yang berbau “Islam”. Gejala Islamofobia bisa jadi muncul akibat cara berdakwah yang tidak simpatik.

Muhammadiyah perlu mengembangkan kembali metode dakwah yang menggembirakan agar siapa pun yang merasa belum mengerti Islam tidak alergi dengan dakwah Islam.

Kolom terkait:

Heboh Khayalan Sukmawati

Puisi Sukmawati dan Islam Sontoloyo ala Soekarno

Sontoloyo: Dulu dan Kini

Dakwah itu Merangkul, Bukan Memukul

Muhammadiyah dan Tantangan Jihad Digital

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.