Sabtu, Oktober 12, 2024

Setnov dan Meme Berujung Pidana

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.
Tim kuasa hukum Ketua DPR Setya Novanto, Frederic Yunadi, menunjukkan sejumlah meme Setya Novanto yang beredar di internet di Direktorat Pidana Cyber Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (1/11). Tim kuasa hukum Setya Novanto melaporkan tindak pencemaran nama baik melalui meme yang beredar di media sosial. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

Setya Novanto barangkali adalah salah satu politisi yang sulit sekali dijamah oleh hukum. Ia ibarat belut—licin dan sulit dipegang. Saking sulitnya, Setnov berhasil membuat para netizen geleng-geleng kepala. Bukan sekali pula Setnov lolos dari jerat hukum. Kasus E-KTP yang menimpa namanya juga menguap begitu saja ke udara. Ia juga secara telak memenangkan sidang prapradilan melawan KPK kala itu.

Tak heran, para netizen membuat guyonan satir yang kemudian menghiasi jagat dunia maya, bahkan pernah menjadi pembicaraan netizen dan trending topic selama beberapa hari. Salah satu quote yang pernah saya baca dicuitan twitter, kira-kira demikian: “Setnov menabrak tembok, yang runtuh tembok sendirinya.”

Jika ditelusuri ada banyak sekali meme serta quote berupa guyonan serta kritik terhadap Setnov. Meme dan quote yang tersebar itu merupakan kegeraman para netizen melihat ulah Setnov yang selalu saja lolos dari jerat hukum. Namun, tak terima sosoknya dijadikan meme bernada satir itu, Setnov kemudian melayangkan pidana kepada para pelaku.

Ia mengirim pengacaranya ke Bareskrim Polri untuk melaporkan 15 akun Instagram, 9 akun Twitter, dan 8 akun Facebook atas dugaan pencemaran nama baik. Salah satu dari pelaku kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Dyan Kumala Arrizzgi (DKA) ditangkap di rumahnya pada 31 Oktober 2017, malam harinya. DKA dijerat pidana atas dugaan menyebarkan foto Setnov saat terbaring di rumah sakit pada waktu yang lalu. Dalam foto itu, wajah Setnov dibuat mirip dengan karakter Bane dalam film The Dark Knight Rises, yang mana keduanya sama-sama memakai masker. DKA lantas dijerat dengan UU ITE.

Pertanyaannya, apakah ini bukan sesuatu yang berlebihan, memidanakan seseorang karena sebuah meme yang disebar di media sosial? Padahal, kita tahu kalau meme bukanlah barang baru bagi Indonesia. Meme yang menyeret sosok Setnov bukanlah yang pertama terjadi. Netizen juga pernah mempopulerkan meme Abraham Lunggana yang pernah membuat pernyataan yang dianggap sombong dan tidak masuk akal. Lulung mengatakan bahwa ia meludah saja bisa jadi duit. Hal itulah yang kemudian menimbulkan reaksi netizen dan membuat meme kocak-satir.

Tidak sampai disitu, Lulung juga sempat menjadi trending topic di Twitter dengan hastag #SaveHajiLulung dikarenakan konflik antara Ahok yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Perseteruan ihwal RAPBD yang menggunakan sistem e-budgeting. Dalam banyak meme itu, Lulung digambarkan dalam varian pose yang mengundang tawa. Di antaranya wajah Lulung digambarkan dengan salah satu tokoh serial kartun Upin dan Ipin.

Masih banyak lagi kehebohan yang dilakukan Lulung dan dijadikan guyonan para netizen. Namun, Lulung tidak pernah mempermasalahkan akun-akun yang menyebarkan gambar-gambar lucunya di media sosial. Ia bahkan mengapresiasi kreativitas para netizen waktu itu.

Lantas, mengapa pemidanaan terhadap pembuat meme dilakukan? Kenapa baru diangkat sekarang dan dijadikan bukti pemidanaan? Bukankah meme sudah lama ada dijejak dunia gital kita? Ia telah lama ada diruang-ruang media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan media sosial lainnya. Jika harus memidanakan pembuat meme tersebut, ada ribuan konten meme yang tersebar atau bahkan tidak terhitung jumlahnya.

Menurut kamus Merriam-Webster, meme adalah an idea, behavior, style, or usage that spreads drom person to person within a culture. Richard Dawkins dalam bukunya, The Selfish Gene (1979), mengatakan istilah meme awalnya untuk menceritakan bagaimana prinsip Darwinisme menjelaskan penyebaran ide ataupun fenomena budaya. Dari tahun ke tahun ribuan meme telah tersebar di dunia maya. Meme kemudian menjadi populer karena dikalangan masyarakat.

Meme yang disebar dapat berupa gambar yang dibubuhi teks, animasi GIF atau bahkan sebuah video. Meme yang disebar berupa sindiran, sarkasme atau sekadar guyonan belaka. Menukil Eko Wijayanto dalam Memetics, Perspektif Evolusionis Membaca Kebudayaan (2013), meme sejatinya diciptakan untuk memaknai unit gagasan dalam transmisi kultural yang terus berevolusi dalam penyebarannya. Fenomena itu biasanya mencakup dunia mode, melodi musik, frasa dan berbagai bentuk budaya pop.

Peristiwa pemidanaan itu kemudian menjadi sorotan mata khalayak publik, termasuk jaringan relawan kebebasan ekspresi di Asia Tenggara yakni Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet menyampaikan sejumlah desakan kepada Kepolisian RI. Kurang lebih demikian bunyinya: menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dengan mendorong mediasi para pihak untuk mengklarifikasi sebagai upaya penyelesaian, mengingat kasus pemidanaa defamasi seharusnya adalah upaya hukum terakhir (ultimuum remedium).

Sudahkah kesempatan klarifikasi tersebut diberikan kepada mereka yang disangkakan melakukan pencemaran nama baik? Sudahkah diupayakan mediasi sebelum menempuh jalur pemidanaan?

Berikan proses hukum yang layak pada mereka yang diduga melakukan tindakan pidana pencemaran nama, yaitu proses pengiriman surat panggilan dan kesempatan untuk memberikan klarifikasi di depan penyidik, sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Juga dengan mencermati konteks penyebaran meme terkait Setya Novanto di bulan September 2017.

Penyebaran tersebut tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, yaitu kegeraman masyarakat luas atas proses pemeriksaan kasus megakorupsi e-KTP yang diduga menyeret diri Setnov. Tentu kita masing ingat, berapa kali Setnov tidak memenuhi panggilan KPK sebagai tersangka. Setnov secara tiba-tiba dinyatakan jatuh sakit dan akhirnya mangkir dari panggilan. Lalu, tidak lama kemudian muncul meme tersebut yang merupakan reaksi spontan masyarakat sehingga tidak bisa dikatakan sebagai bentuk penghinaan yang dilakukan dengan sengaja, apalagi digerakkan secara sepihak.

Memisahkan teks dengan konteks dalam kasus penyebaran meme ini membuat pokok persoalan hukum menjadi timpang dan tidak menyentuh akar masalah korupsi yang menyebabkan munculnya penyebaran meme tersebut. Karena itu, segera hentikan pemidanaan para penyebar meme Setnov ini dan sebaiknya kuasa hukum Setnov mencabut aduan karena dampak yang ditimbulkan dari pemidanaan ini akan merugikan banyak pihak. Meski berbagai desakan dilayangkan kepada Setnov agar mencabut gugatannya, dia malah tetap kekeuh menempuh jalur hukum.

Desakan SAFEnet di atas semakin menguatkan bahwa demokrasi kita telah mengalami kemunduran. Kebebasan berekspresi dibungkam. Jika begitu, jangan sampai ada penyesalan atas pemidanaan yang kemudian dijadikan alat untuk membungkam kebebasan berbicara dan mengkritik pemerintah. Kritik rakyat tidak sebanding dengan perilaku korup para politisi yang telah menyengsarakan rakyat.

Para politisi yang duduk manis di singgasana kekuasaan dipilih bukan untuk bersuka-ria dan menimbun kekayaan. Mereka dipilih atas nama rakyat, bukan atas nama kepentingan golongan dan kepentingan individu. Memang, panggang jauh dari api. Kritik yang disampaikan oleh rakyat seharusnya dijadikan refleksi, bukan malah sibuk membahas hal-hal yang tidak penting seperti sibuk mengurusi dan memidanakan seseorang hanya karena dikritik lewat meme.

Kritik tidak akan mati di alam demokrasi. Ia tetap hidup dan tetap ada dalam setiap konstelasi politik kita, meskipun penguasa berusaha membungkamnya sampai mati.

Saya setuju bahwa esensi dari meme yang tersebar luas di dunia maya itu adalah bentuk kritikan terhadap penegakan hukum yang ada di Indonesia. Netizen geram dengan perilaku para politisi yang sesukanya mempermainkan hukum. Netizen gerah dengan sikap penegak hukum yang selalu tebang pilih. Jangan sampai muncul adagium “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Para politisi yang sudah ditetapkan sebagai tersangka bisa lepas begitu saja dari jerat hukum.

Sejatinya, masyarakat menginginkan sebuah penegakan hukum yang berkeadilan. Akan tetapi, sudahkah rasa keadilan dirasakan oleh masyarakat Indonesia sekarang ini?

Kolom terkait:

Tiga Kolom “Maut” Setelah Setya Novanto Tersangka

Pesan Keras Putusan Praperadilan

E-KTP, Lintah di Senayan, dan Alarm Keindonesiaan

Papa Setnov, Jack Sparrow, dan Patah Hati KPK

Kebiadaban Korupsi KTP Elektronik

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.