Jumat, April 26, 2024

Rohingya, Ahmadiyah, dan Mereka yang Luput dari Kemanusiaan Kita

Ahmad Riyadi
Ahmad Riyadi
Peneliti Sosial di Laboratorium Sosiologi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sekelompok pengungsi Rohingya berjalan di jalan berlumpur setelah melewati perbatasan Bangladesh-Myanmar di Teknaf, Bangladesh, Jumat (1/9). ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ponir Hossain

Kita sudah menyimak informasi peristiwa kekerasan yang menimpa komunitas Muslim Rohingnya, Myanmar, di laman media cetak maupun online. Telah terjadi dehumanisasi; pemerkosaan, serta diskriminasi terhadap Rohingnya yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar—mereka tidak diakui sebagai warga negara. Padahal sebagaimana diketahui, komunitas Muslim Rohingnya tengah lama eksis di Myanmar.

Karena telah terjadi tindak dehumanisasi, tak heran jika kecaman muncul dari berbagai negara dan golongan, termasuk dari Indonesia. Berbicara kemanusiaan atau kerap kita katakan sebagai humanisasi, maka sifatnya adalah universal. Ia melampaui sekat-sekat negara, agama, ideologi, budaya dan seterusnya. Artinya, siapa pun harus diperlakukan layaknya manusia, menghargai hak-hak dasar manusia, bukan sebaliknya, merampas, menindas apalagi membunuhnya.

Khusus di Indonesia, rasanya setiap elemen memuncratkan komentarnya, baik berupa empati, doa, serta tindakan konkret. Pemerintah kiyta telah memutuskan untuk bertemu langsung dengan pihak pemerintah Myanmar dengan mengakomodiasi aspirasi perwakilan-perwakilan dari ormas keagamaan. Beberapa pimpinan dan kader partai politik menyempatkan diri untuk bersuara dan mendorong perdamaian di Myanmar, terutama bagi komunitas Muslim Rohingnya.

Rakyat tak kalah kerasnya berbicara. Di media sosial, mereka berlomba-lomba meng-upload kesedihan dan keberpihakannya, status, gambar hingga petisi. Mengutuk hingga meminta pencabutan nobel perdamaian yang sempat diterima Aung San Suu Kyi yang ditujukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam bentuk petisi, termasuk kepada pemerintah Presiden Joko Widodo.

Memperhatikan yang Jauh

Betapa bahagianya rasanya hidup di tengah negara-bangsa yang menyerukan hak-hak dasar manusia, mengutuk kekerasan, serta mengidamkan perdamaian. Dalam tragedi Muslim Rohingnya, sepertinya tak ada beda pendapat untuk segera memanusiakan kembali Muslim Rohingnya, tidak ada kata lain. Ditambah dengan informasi-informasi lengkap tentang faktor peristiwa tersebut yang tidak hanya dimonopoli oleh agama, tetapi juga ekonomi dan sumber daya alam.

Di tengah heroiknya gugatan dan kutukan terhadap tindak dehumanisasi yang menimpa Muslim Rohingnya, terselip pertanyaan besar yang nyaris fundamental, bagaimana nasib komunitas Ahmadiyah yang harus mengungsi di daerah Lombok yang sudah terjadi sejak tahun 1999 (bbc.com, 2013), dan nasib 332 pengungsi Syiah di Sampang yang, menurut Riri Hariroh, Komnas Perempuan, sebagaimana dilansir Tempo.co (2016), sudah lima tahun komunitas Syiah Sampang menjadi pengungsi di negerinya sendiri.

Pertanyaan ini muncul karena sepengetahun penulis, empati kemanusiaan meledak-ledak dari kelompok keagamaan tertentu, yang kesehariannya, dalam aspek apa pun, selalu membungkusnya dengan agama. Melegitimasi nilai-nilai agama untuk kemanusiaan memang tidak ada yang keliru, bahkan dianjurkan. Tetapi jika dilakukan secara parsial kita patut mempertanyakan secara kritis.

Dalam kasus yang lain, kita pernah memiliki sejarah kelam tentang tragedi kemanusiaan yang menghabiskan ribuan nyawa hilang. Tahun 1965-66 kita mengenal peristiwa G 30 S PKI, yang menelan korban, bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa, atau hanya sekadar mengenal atribut komunis ikut serta menjadi korban. Berbicara kemanusiaan seharusnya kita meninggalakan sikap primordial, sifat purba kita.

Begitu juga dengan nasib Munir dan Wiji Thukul yang hingga kini belum menemukan titik terang, nasib masyarakat Kendeng dan para korban penggusuran akibat cita-cita infrastruktur yang berlebihan, hingga berimplikasi pada proses serupa: dehumanisasi. Rasanya kita terjangkit penyakit akut yang luar biasa, sindrom “semut di ujung pulau kelihatan, gajah di depan mata tak terlihat”.

Meninggalkan Identitas

Tentu akan ada yang berpikir—bahkan menyatakan—dalam tulisan ini terkesan nyinyir terhadap mereka yang peduli dengan nasib Muslim Rohingnya. Tunggu dulu, sebagai seorang Muslim, saya tentu menyadari pentingnya memanusiakan manusia yang lain, karena begitulah ajaran dan nilai Islam.

Dalam tulisan ini pun, saya menyadari bahwa tidak akan mencapai sumbangsih satu persen pun terhadap saudara kita yang tertimpa musibah di Myanmar, atau bahkan bisa membuat nyaman hidup saudara kita, Ahmadiyah dan Syiah, atau bahkan membuat sumringah keluarga yang telah ditinggalkan akibat tidak jelasnya korban tragedi 1965-1966 kini berada.

Pekerjaan dan tanggung jawab kita sekarang adalah berupaya dengan kemampuan yang kita miliki untuk menjunjung martabat manusia apa pun agama, budaya dan dari golongan mana pun. Akan sangat sulit tercapai manakala kita justru terjebak pada identitas dan egosime pribadi maupun kelompok masing-masing.

Di ruang publik kita sama, sama-sama warga Indonesia, kita juga sama mengidamkan hak-hak dasar kita diakui, dan kita juga perlu mengakui yang lain.

Kolom terkait:

Persekusi dan Nestapa Muslim Rohingya di Myanmar

Rohingya: Etnis yang Dihapus

Sampai Kapan Syiah Sampang Mengungsi di Negara Sendiri?

Ahmad Riyadi
Ahmad Riyadi
Peneliti Sosial di Laboratorium Sosiologi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.