Kunjungan kenegaraan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud ke Indonesia menciptakan momentum bagi kedua negara untuk mempertegas komitmen dan kewajiban guna melindungi dan memenuhi hak-hak buruh migran Indonesia (BMI) yang bekerja di Arab Saudi.
Dalam kunjungan Raja Salman yang disertai 14 menteri, pembicaraan bilateral dengan Presiden Joko Widodo menghasilkan 11 Nota Kesepahaman (MoU). Namun, isi MoU tersebut lebih banyak berisi peluang investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi kedua negara. Persoalan nasib buruh migran kita yang bekerja di sana justru tidak dibicarakan.
Jika dicermati, Kerajaan Arab Saudi adalah negara di Timur Tengah yang paling banyak menerima buruh migran kita. Berdasarkan data Bank Indonesia per 2015, ada sekitar 1,3 juta buruh migran yang berada di Timur Tengah. Negara penerima terbesar adalah Arab Saudi (1,01 juta orang), Uni Emirat Arab (114.000), Yordania (48.000), Oman (33.000) dan Qatar (28.000). Sisanya adalah Kuwait, Bahrain dan belasan negara lainnya.
Pemerintah Indonesia di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dilanjutkan Presiden Jokowi telah mengeluarkan kebijakan moratorium buruh migran untuk pekerjaan pembantu rumah tangga (PRT) ke Timur Tengah sejak 2011.
Kebijakan moratorium buruh migran dikeluarkan oleh pemerintah untuk menyikapi banyaknya permasalahan yang dihadapi tenaga kerja kita, di antaranya kasus penyekapan, penyiksaan, pemerkosaan, gaji yang tidak dibayarkan, penipuan kontrak, sampai banyaknya TKI yang terancam dihukum mati karena melanggar hukum Arab Saudi.
Namun, moratorium yang sudah berlangsung selama hampir 6 tahun itu belum mampu menyelesaikan persoalan. Bahkan muncul persoalan lain, yaitu membuka peluang terjadinya perdagangan manusia (people smuggling).
Pengiriman buruh migran untuk PRT masih terus terjadi secara diam-diam dengan berbagai cara. Menurut data Migrant Care, pada 2015-2016 setidaknya ada 2.793 buruh migran yang dikirimkan ke Arab Saudi sebagai PRT. Mereka memanipulasi dokumen dengan memakai visa umroh dan wisata supaya bisa masuk dan bekerja sebagai PRT di Arab Saudi.
Dalam kesempatan mengunjungi kampung buruh migran di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, pada 2016, saya berdiskusi banyak hal dengan puluhan perempuan bekas buruh migran yang bekerja sebagai PRT. Mereka rata-rata berangkat ke Arab Saudi sekitar 2013-2015, artinya pada masa kebijakan moratorium berlaku.
Namun, mereka mengaku masih dengan mudah bekerja di Arab Saudi sebagai PRT melalui agen-agen lokal bekerjasama dengan agen di Jakarta. Sebagian dari mereka mendapatkan perlakuan yang baik dari majikannya, yaitu menerima gaji secara teratur dan diberikan tiket pesawat untuk pulang. Namun, sebagian lain mengalami hal yang memprihatinkan, dari penyiksaan, penyekapan, gaji yang tidak dibayarkan dan penipuan kontrak kerja.
Bahkan, di antara mereka diduga ada yang menjadi korban perdagangan orang oleh oknum yang diduga bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi. Ia yang berusaha untuk lari dari majikannya dan minta perlindungan dari orang yang diduga staf kedutaan malahan hendak “dijual” ke majikan lain yang bisa memberikan upah lebih besar.
Mereka yang bernasib baik ketika menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi adalah bukan karena adanya kebijakan negara (baik Indonesia dan Arab Saudi) yang melindungi mereka, tetapi karena memang “nasib” mereka yang baik, yaitu mendapatkan majikan yang memperhatikan hak-hak mereka.
Negara “tidak hadir” dalam melaksanakan kewajibannya melindungi dan memenuhi buruh migran. Padahal, remitansi atau devisa negara yang diperoleh dari BMI, termasuk yang bekerja di Arab Saudi, jumlahnya sangat besar, Rp 97 triliun pada 2016.
Kunjungan Raja Salman seharusnya dimanfaatkan oleh Presiden Jokowi untuk membicarakan kebijakan perlindungan dan pemenuhan hak buruh migran kita. Hal ini karena kebijakan moratorium tidak efektif dalam menghentikan arus buruh migran karena sempitnya lapangan pekerjaan di daerah asal. Di Lombok Barat, masih banyak buruh migran yang bekerja di Arab Saudi sebagai PRT karena lahan pertanian semakin sempit; telah dialihfungsikan untuk tujuan komersial dan pembangunan infrastruktur.
Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi telah menandatangani Perjanjian Bilateral untuk melindungi buruh migran kita di Arab Saudi yang ditandatangani pada 19 Februari 2014. Namun, faktanya perjanjian ini belum efektif untuk melindungi hak-hak BMI. Perjanjian itu sendiri berlaku selama tiga tahun sampai 19 Februari 2017 dan secara otomatis diperbaharui, kecuali ada satu pihak yang menghentikan.
Karena itu, diperlukan pembaharuan dan perbaikan konten Perjanjian Bilateral agar secara efektif mampu melindungi dan memenuhi hak-hak buruh migran kita, khususnya yang bekerja di sektor informal. Juga bagaimana membangun kerjasama dalam pengiriman buruh migram kita agar memberikan manfaat maksimal bagi kedua negara. Dengan perjanjian yang mengikat kedua negara, moratorium bisa dibuka lagi dengan mekanisme perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM) yang lebih baik.
Di samping itu, wajib juga dibicarakan tentang solusi atas ancaman hukuman mati yang dihadapi oleh sekitar 36 buruh migran kita di Arab Saudi yang di antaranya dituduh melakukan pembunuhan. Padahal, diduga tidak sedikit di antara buruh migran kita yang “terpaksa” membunuh majikannya karena membela diri dan tidak sedikit dari mereka yang menjadi korban perdagangan manusia (trafficking).
Jika kunjungan Raja Salman ini tidak membahas hal di atas, makna kunjungan menjadi kurang bermakna karena hal yang terkait dengan pemenuhan dan perlindungan hak dasar manusia, yaitu hak-hak buruh migran, telah diabaikan demi kepentingan ekonomi semata.