Jumat, April 19, 2024

Raja Salman, Bali, dan 50 Penari Pendet

Ni Nyoman Ayu Suciartini
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Penulis, cerpenis, novelis. Novelnya berjudul "Mimpi Itu Gratis" (Gramedia, 2016). Tinggal di Bali.
Baliho bergambar Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud di kantor Polda Bali, Sabtu (4/3). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf.

Akhirnya rombongan Raja Salman bersama pangeran-pangeran tampannya akan menambah 3 hari lagi untuk melihat Bali secara utuh. Kabar ini saya dengar dari percakapan ibu-ibu di Pasar Katrangan, Denpasar, yang tak luput dari gosip seputar Raja Salman ini. Kampus, sekolah, bahkan taman kanak-kanak juga tak luput dari riuh pembicaraan Raja Salman, kemewahan, serta decak kagum terhadap pangeran-pangeran yang turut menyertainya.

Ketika seorang guru meminta siswanya merangkai karangan, ihwal Raja Salman tak bisa dielakkan. Banyak yang menulis tentang kunjungan Raja Salman. Meski karangan ini hasil imajinasi, anak-anak juga punya pandangan tersendiri tentang kedatangan Raja Arab Saudi ini.

Pembicaraan Raja Salman bagi warga Bali memang sedang menjadi trending topic. Apa-apa dikaitkan dengan kedatangan pemimpin supermewah ini. Tapi, riuhnya sambutan hanya dalam batas pembicaraan. Tak ada warga Bali yang berasal dari luar kawasan Nusa Dua dan sekitarnya, misalnya, yang sengaja datang untuk bertemu Raja Salman. Bagi kebanyakan orang, cukup memantau lewat pasar media sosial saja. Toh… apa pun akan tersaji dengan cepat di media sosial tanpa harus datang ke lokasi langsung.

Memantau Raja Salman lewat sosial media adalah cara paling ampuh dan tentunya murah. Bayangkan, untuk bertemu Raja Salman di tempatnya menginap saja, seseorang harus diperiksa ketat, memiliki kepentingan yang sangat penting, dan untuk bisa menginap, orang lokal Bali mungkin butuh waktu seumur hidup untuk bisa menempati kamar mewah yang sang raja pesan. Sebab, bukan bagian orang penting, warga Bali cukup hanya menebak-nebak saja.

Dengan memantau dari kejauhan, siapa tahu ada satu agenda yang bisa diselipkan bertemu pangeran Arab tanpa sengaja di objek wisata yang sedang dituju.

Bagi umat Hindu Bali, pantai adalah tempat sakral, tempat pesucian. Laut bagi umat Hindu berfungsi sebagai pelebur atau pembersih segala kekotoran jasmani dan rohani. Di sinilah berdiam Dewa Baruna sebagai manifestasi Tuhan yang bertugas menganugerahkan air suci (tirta) untuk membersihkan segala kekotoran jasmani dan rohani. Ini yang kami yakini.

Prosesinya yang bisa dinikmati sebagai sebuah keindahan. Jika saja Raja Salman tak terburu-buru, ia bisa menepi di Bali hingga nyepi tiba. Di belahan pulau inilah toleransi yang sempat dibanggakan Presiden Joko Widodo kepada Raja Salman bisa disaksikan secara langsung.

Meski nyepi dilakukan warga Hindu Bali, warga beragama lain yang tinggal di Bali secara alamiah menghormati hari suci ini dengan ikut melakukan catur brata penyepian. Di antaranya tidak keluar rumah, tidak berapi-api, tidak melakukan pekerjaan, dan tidak berfoya-foya atau mengadakan hiburan.

Yang masih belum bisa move on dari Raja Salman adalah putri-putri cilik kebanggaan Bali yang tergabung dalam Sanggar Tari Sawitri. Sekitar 50 penari yang masih duduk di kelas 1 hingga kelas 6 Sekolah Dasar ini masih merasakan gemetar di dadanya ketika nama Raja Salman didengungkan. Ada kebanggaan yang tak bisa digambarkan. Kebanggaan itu seketika mengubah rasa gugup, rasa tidak percaya diri, rasa mual berlebih, rasa kantuk yang biasa dirasakan penari cilik ketika akan pentas, menjadi rasa yang seolah ikut menjadi sejarah bagi bangsa ini. Mereka berlatih dengan sungguh-sungguh seolah menari untuk dilihat dewata.

Mereka membawakan tari pendet dengan penuh kebanggaan. Menunjukkan bahwa tari ini memang milik Indonesia. Buktinya tarian itu begitu dijiwai oleh anak-anak yang menarikannya. Jika bukan anak-anak asli Bali yang menarikannya, mungkin rasanya akan lain. Bagaimanapun caranya meniru, caranya berlatih, caranya berhias, cara berlenggok, pandangan yang tampak sama sekali berbeda.

Tari Pendet.

Pendet rasa Bali dan pendet rasa yang lain akan dengan mudah kentara. Sebab, sang penari Bali ini memiliki Taksu. Ya… taksu. Inilah yang tak bisa habis dari Bali yang mulai dikikis. Taksu. Inilah yang tak pernah bisa dijual, meski Bali telah bebas diperjualbelikan. Taksu. Inilah yang melekat di setiap kening orang Bali. Tak ada yang bisa meniru taksu ini.

Tarian 50 anak Bali ini membuat Raja Salman tak berhenti memandang. Anak-anak yang menarikan tari pendet ini juga bisa menatap Raja Salman lebih lama, lebih dekat, juga lekat. Di hati anak-anak ini akan abadi tertanam bahwa mereka pernah menari untuk pemimpin dari negara yang berbeda, budaya yang berbeda, juga agama yang berbeda. Anak-anak ini akan lekat dengan pemahaman bahwa agama lain sangat menghormati budaya Bali dari tatapan hangat yang diberikan Raja Salman.

Mereka akan ingat bahwa mereka diterima apa adanya tanpa harus mengubah busana tari yang dikenakan. Tari pendet yang memang alami seperti ditarikan sejak zaman prasejarah hingga kini. Raja Salman menawarkan arti kebhinekaan yang lain yang mungkin selama ini hanya disajikan secara teoretis di bangku sekolahan. Terlebih ketika eskalator Raja yang dikabarkan sempat macet, Raja Salman tak terlalu risau sebab ia bisa melihat tarian ini lebih lama dari yang dijadwalkan.

Tatapan anak-anak tanpa memandang perbedaan agama, suku, ras, bahkan negara. Mereka hanya berusaha menari sebaik mungkin seolah dilihat dewata. Senyum merekah hadir dari sosok pelatih tari Ni Ketut Suwitri. Tidak mudah baginya untuk menenangkan 50 anak sebelum pentas dimulai. Namun, bukan Suwitri namanya jika ia tak memiliki jurus jitu. 50 tahun kiprahnya di dunia seni telah membuat anak-anak ini siap menarikan tari pendet dengan begitu indahnya.

Ia tak lupa mengingatkan anak-anak untuk tersenyum sebaik mungkin. Sebab, senyum orang Bali yang katanya khas bisa jadi magnet yang tentu menarik segala hal yang baik, segala hal yang positif.

Pada prinsipnya, tari pendet yang ditampilkan pun tidak ada perubahan; tetap tari pendet seperti biasanya, dari segi busana dan sebagainya. Tarian tersebut jika dilihat asal usul penciptaannya memang dibuat untuk penyambutan tamu agung. Tarian itu untuk menyambut kedatangan seorang raja, yang sekaligus menjadi momentum bagi Bali untuk mempromosikan adat dan budaya setempat, demi mendukung perkembangan kepariwisataan.

Budaya yang ditampilkan betul-betul budaya asli Bali, yang tidak diubah sesuai permintaan apa pun. Jika ada yang masih nyinyir tentang busana tari Bali yang katanya agak terbuka, tidak menutup aurat, dia bisa belajar banyak Raja Salman. Caranya menanggapi perbedaan tidak melulu soal memaki, menghina, membenci, merasa paling benar, atau nyinyir yang tak berkesudahan.

Raja Salman dalam hatinya seperti mendapat surga yang lengkap. Ia ikut menari. Dalam pandangannya yang teduh, Raja Salman mungkin terheran bagaimana ia bisa jatuh cinta begitu hebatnya karena anak-anak kecil ini? Akhirnya ia sadar, bukan sebab anak-anak kecil ini, melainkan hatinya yang memang luas untuk menerima perbedaan dan menjadikannya indah di setiap sudut pandang.

Ni Nyoman Ayu Suciartini
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Penulis, cerpenis, novelis. Novelnya berjudul "Mimpi Itu Gratis" (Gramedia, 2016). Tinggal di Bali.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.