Kamis, Maret 28, 2024

Raisa dan Hal-hal Lain yang Perlu Kita Bicarakan

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Penyanyi Raisa pamer kemesraan dengan sang kekasih.

RAISA adalah milik kita, sebagaimana Dian Sastro. Mereka telah menjadi milik publik sejak menjadi figur publik itu sendiri. Tidak berlebihan jika kemudian ada seloroh tentang “Hari Patah Hati” yang merebak seiring pemberitaan mengenai seorang laki-laki yang melamar Raisa. Nama laki-laki itu tak usah kita sebut-sebut lagi, lah. Buat apa? Hanya akan menambah lara hati yang patah.

Andai setiap waktu ada hiburan seperti ini niscaya kita bisa sejenak melupakan ketegangan sosial yang marak di berbagai unggahan akun-akun media sosial. Saya pribadi masih konsisten untuk tidak perlu sakit hati pada akun-akun media sosial. Mereka hanya akun, bukan manusia–meski penggeraknya manusia, jika bukan bot. Jadi, jika Anda “berperang” di media sosial, tak perlu benar-benar marah.

Kehidupan di dunia nyata saja fana, apalagi kehidupan di dunia maya. Ketika ngopi di kediaman Gus Islah pada waktu jeda Halaqah Internasional Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor di Tambak Beras, saya dan Gus Rizal Wijaya tenang-tenang saja membicarakan Raisa. Bagi kami, Raisa hidup di dunia maya. Dilamar atau tidak dilamar oleh laki-laki itu, ia tidak tersentuh oleh kami, juga oleh Banser.

“Lebih baik Sampeyan pastikan kepada Gus Yaqut, kapan jaket Banser akan Sampeyan terima. Saya sih dulu beli di koperasi, bahkan sampai dua kali, dan semuanya lepas dari tangan karena selalu diminta orang,” kata Gus Rizal. Tanpa menunda waktu, saya langsung tanya kepada Ketua GP Ansor Gus Yaqut Cholil Qoumas, via Whatsapp. Ia menjawab,”Santai. Banser tak pernah ingkar janji.”

Tentu saja saya percaya Gus Yaqut, walaupun kita tidak bisa pukul rata setiap perkataan dalam ruang-ruang teknologi komunikasi saat ini bisa dipercaya. Kita bahkan tidak benar-benar tahu siapa yang mengetik di Whatsapp itu, kan? Kita pernah mendapati seseorang berapologi “kepencet” atau “salah kirim” atau “Whatsapp saya dibajak teman” ketika keanehan tiba-tiba muncul di chat-room.

Teknologi memang mengalami kemajuan, namun peradaban ternyata mengalami kemunduran. Lihatlah, orang-orang bisa seenaknya mengunggah foto-foto korban kecelakaan yang berdarah-darah atau bahkan jenazah, gambar yang seram, meme yang memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, ujaran kebencian dan permusuhan, dan suntingan foto yang menjadi jauh berbeda dari aslinya.

Teknologi komunikasi berhasil membuat yang jauh menjadi dekat, tapi sekaligus membuat yang dekat menjadi jauh. Anak dan orangtua memang terbantu dalam berkomunikasi–terutama bagi orangtua yang bekerja, atau terpisah jarak–tapi teknologi komunikasi ini juga memancing kita ngobrol sambil terus menatap gawai ketika bertemu muka. Update status dan comment menjadi sebegitu penting.

Ketika siskamling telah digantikan oleh portal dan satpam komplek, saat dolanan bocah sudah tersisihkan oleh aneka games, tatkala kehadiran pun kini bisa diakali dengan video-call, bahkan takziah dianggap sah-sah saja diwakilkan pada meme karangan bunga, dan lain-lain, dan lain-lain, rasa-rasanya kita perlu untuk membicarakan kembali hal-hal mengenai manusia dan kemanusiaan kita sendiri.

Belum lagi kegaduhan-kegaduhan yang terus terjadi di media sosial, sampai saling hina dan saling hujat, bahkan di antara orang-orang yang tidak pernah saling bertemu, apalagi saling mengenal, stamina batin kita menjadi semakin letih. (O ya, maaf, maksud saya bukan orang-orang, tapi akun-akun). Apalagi jika ada “bukti” berupa unggahan yang telah kena capture, maka jadilah itu dosa abadi.

Sebagaimana dalam kehidupan dunia yang fana, tema-tema percakapan di dunia maya juga absurd. Mudah luntur, mudah berubah, sekaligus mudah solid. Namun, masyarakat di dunia maya bisa lebih tega dalam membubuhkan stempel. Seolah tidak memberi peluang pada akun siapa pun untuk mengubah jalan hidup. Riwayat unggahan menjadi rekam jejak yang kekal, bahkan meski sudah dihapus.

Namun, jangan coba-coba membawa masalah dalam kehidupan pribadi ke media sosial jika tak cukup siap untuk dijadikan sekadar bahan obrolan sesaat. Selebihnya, akun-akun akan kembali kepada fitrahnya yang maya: menyukai tema baru, menjadikannya trending topic, sekaligus menyimpan jejak unggahan untuk sewaktu-waktu dijadikan bahan gesek. Raisa pun takkan luput dari itu.

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.