Jumat, Maret 29, 2024

Pre Sweet 17 Tahun dan “Kegilaan” Remaja Lainnya

Ni Nyoman Ayu Suciartini
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Penulis, cerpenis, novelis. Novelnya berjudul "Mimpi Itu Gratis" (Gramedia, 2016). Tinggal di Bali.
[foto: flash-photographie.com]

Kesukaan remaja saat ini memang unik. Di antara yang unik itu, ada yang mengejutkan, membuat terbahak, ada pula yang menginspirasi. Setelah heboh profesi blogger, vlogger, selebgram, hilir mudik pengendorse, hobi-hobi milenial kian menggeliat. Dari menekuni hobi, bisa menghasilkan pundi-pundi. Jumlahnya pun tidak main-main.

Saat ini tidak sulit mencari tokoh remaja yang telah berpenghasilan jutaan rupiah per hari, puluhan juta per 15 hari, hingga miliaran rupiah per bulan. Selain pundi, dirinya dikenal juga jadi bayaran yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Remaja yang dimanja teknologi tidak membuatnya terlena. Mereka yang jeli melihat peluang, memanfaatkan hobi remaja kekinian. Hingga yang tersisa hanya remaja yang inovatif dan sisanya remaja yang hanya menikmati, ikut-ikutan, lalu tak bisa menghindar dari gempuran konsumerisme.

Instagram saya, tiba-tiba penuh dengan MUA (Make Up Artist) dadakan ketika saya mencari-cari tukang rias pengantin. Ribuan MUA dari kategori remaja, remaja alay, dewasa, bahkan MUA khusus kategori tua. Instagram ini berlomba menawarkan diri menjadi cantik hanya dengan polesan make up. Sebab, wanita banyak yang percaya jika make up adalah benda ajaib, bahkan paling ajaib selain Tuhan Yang Maha Esa.

Harga yang MUA-MUA ini tawarkan pun mencengangkan. Dari ratusan ribu hingga puluhan juta. Saya hanya bisa geleng-geleng. Seni melukis wajah ternyata bisa membuat seseorang kaya raya, melebihi pelukis yang biasa melukis alam atau fenomena kemanusiaan. Belum lagi bisnis pernikahan, dari dekorasi, fotografi, katering, souvenir, photoboth, dan segala tetek bengeknya.

Bicara soal fotografi, khususnya prewedding, seorang calon pengantin bisa mengahbiskan puluhan juta agar fotonya benar-benar sempurna. Inilah seni dunia milenial yang disambut baik. Fotografi menjadi kebutuhan sekaligus pengingat kala ingatan tiba-tiba renta. Gambar-gambar dalam bidikan kamera seolah ikut bicara seberapa banyak uang seseorang, seberapa niat seseorang untuk menikah, hingga bisa mengukur karakter seseorang.

Mereka yang jeli melihat peluang bisnis yang semakin hidup dan enggan redup ini harus pandai-pandai berkreasi. Mereka menghadirkan model-model terkini. Mulai dari baju pengantin, lokasi pemotretan yang unik, serta bidikan-bidikan yang tak monoton. Sudahlah…jika bicara soal prewedding hingga wedding, seseorang yang hendak menikah akan benar-benar berpikir ulang. Menikah untuk apa? Untuk mengesahkan, untuk pamer, atau untuk kesakralan, untuk perayaan, serta motif-motif lain yang sama sekali tak perlu terlalu dinyinyirin.

Kini, salah satu ciptaan generasi milenial atau biasa disebut kids jaman (zaman) now, sengaja saya isi jaman dan (zaman), sebab yang baku itu zaman. Ah…sudahlah, bukankah kalimat kids zaman now itu sendiri tidak baku, cenderung amburadul, namun begitu digemari. Entahlah… Kembali lagi soal ciptaan kekinian remaja saat ini ada yang dikenal dengan presweet.

Begini ceritanya. Sore tak bernama itu, saya meminta potret pernikahan saya pada sang fotografer. Di tempat yang sama, saya bertemu beberapa remaja tanggung yang sedang asyik memilih portet yang mereka sukai. Mereka terlihat sangat antusias dan tak berhenti tertawa kegirangan. Tidak mungkin rasanya remaja yang tengah memakai seragam putih abu itu akan melangsungkan prewedding atau pernikahan. Ah..mungkin saja. Bukankah remaja saat ini penuh kejutan? Saya menguping dan ternyata kata presweet itu terlontar dan sungguh mengganggu telinga saya. Lantas, sang fotografer menjelaskan perihal presweet itu.

Pre Sweet 17 merupakan gaya kekinian remaja yang menggunakan potret diri berbagai bentuk, rupa, dan warna yang digunakan untuk menyambut hari spesial, yaitu ulang tahun ke-17. Pre sweet ini menyerupai prewedding, bahkan lebih riuh, lebih mewah, lebih glamour. Bayangkan, seorang remaja yang akan memasuki usia 17 tahun ini dapat membayangkan bahwa inilah usia puncaknya, usianya bisa disebut dewasa, usia ketika mereka seolah bebas menentukan apa yang mereka mau dan usia di mana orang tua harus berhati-hati ikut campur urusan mereka. Sebenarnya usia 17 tahun bukanlah apa-apa jika dibandingkan usia 20, 25, 30, bahkan mungkin 40 tahun nanti.

Remaja yang sedang asyik membolak balik album sang fotografer, sambil cekikikan memilih tempat-tempat terbaik juga yang termahal. Katanya, ia juga sudah memilih gaun dari salon ternama lengkap dengan MUA-nya. Berapakah tarif untuk foto presweet ini? Anda pasti terkejut. Harganya serupa dengan sekali prewed. Wah…untuk saya prewed saja harus menabung bulan demi bulan. Ah… mungkin remaja itu punya tabungan yang lebih banyak.

Jika dibandingkan dengan 17 tahunan masa dahulu, dirayakan saja sudah hadiah paling ajaib. Jika tidak dirayakan, 17 tahun hanya soal penyebutan dan bersyukur pernah melewati masa itu. 17 tahun hanya masa untuk dapat memiliki SIM, KTP, juga Surat Izin Memiliki Pacar.

Sekarang sweet seventeen-an dipersiapkan sebulan penuh, menggunakan EO ternama, juga printilannya yang mengalahkan jagat raya. Belum lagi perayaan 17 tahunan dengan tema, kostum, hingga pesta yang sama sekali berbeda. Bukan hanya yang berulang tahun, teman-temannya juga panik saling menggungguli kostum. Mereka, para remaja itu, sangat takut salah kostum (saltum), apalagi tidak berpenampilan terbaik saat hadir di undangan sweet seventeen. 

Tidak ada yang salah dengan presweet ini. Sama sekali tidak salah. Ini adalah bagian dari tren. Namun, siapkah kita akan laju tren yang begitu pesat melebihi kedipan mata? Untunglah saya sudah 17 tahun duluan, sudah menikah sekarang, bagi Anda yang belum 17 tahunan, belum menikah, bersiaplah untuk tren yang akan mengejutkan Anda juga kantong Anda.

Tidak ada paksaan dan keharusaan untuk presweet 17th photoshoot atau prewedding sekalipun. Setiap remaja yang akan 17 tahun atau remaja tanggung yang akan melangsungkan pernikahan, memiliki pilihan dan berhak menentukan seperti apa.

Setidaknya tulisan ini dipersiapkan untuk para orangtua atau yang akan menjadi orangtua, bahwa ke depan, anak-anak yang akan tumbuh akan lebih “gila”, lebih unik, dan lebih bergairah. Hingga waktunya tiba, kita sebagai orangtua akan mempersiapkan anak-anak menjadi generasi penuh motivasi, bukan generasi konsumerisme semata.

Ni Nyoman Ayu Suciartini
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Penulis, cerpenis, novelis. Novelnya berjudul "Mimpi Itu Gratis" (Gramedia, 2016). Tinggal di Bali.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.