Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian berencana membentuk satuan tugas (satgas) anti-SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) untuk mengantisipasi kemungkinan ketegangan sosial jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) (Kompas, 13/01/2018). Semangat yang mendasari usulan ini bisa dipahami, akan tetapi satuan tugas yang bersifat sementara mengabaikan fakta bahwa persoalan SARA tidak mengenal ruang dan waktu. Ia ada sepanjang waktu, sepanjang usia manusia.
Dilihat dari semangatnya, satgas anti-SARA bisa dipahami paling tidak karena tiga hal. Pertama, SARA seringkali jadi materi kampanye untuk menjatuhkan lawan dalam pertarungan politik. Pilkada Jakarta adalah contoh terbaik dan paling mutakhir. Sepanjang masa kampanye, tidak sulit menemukan contoh khutbah dalam ritual keagamaan yang isinya sumpah serapah terhadap salah satu kandidat. Spanduk menyebar di penjuru Jakarta yang berisi “tidak akan menyalatkan jenazah muslim yang memilih Basuki Tjahaja Purnama”.
Mungkin sebagian kita tidak membayangkan seorang kandidat akan mengatakan pernyataan SARA yang begitu telanjang. Tetapi pernyataan itu yang keluar dari satu kandidat di Pilkada Sampang pada 2012. “Kalau ada aliran sesat di sini, usir! [diiringi tepukan audiens]. Usir! Saya yang bertanggung jawab!… Ini kan ibarat orang berjualan, kalau tidak laku di sini, tutup aja jualan yang laku…” Masih banyak contoh lain di mana kandidat menjadikan SARA sebagai materi kampanye.
Kedua, kampanye SARA biasanya melibatkan fitnah, tuduhan, stigma, dan mengumbar permusuhan. Sebab, politik elektoral memilih satu dari sekian kandidat, dua strategi akan dipakai: meyakinkan bahwa kandidat yang didukung terbaik dan kandidat lain terburuk. Selagi menggunakan SARA, omong kosong belaka kampanye sehat. Sedari awal, dia melabeli musuhnya dengan kosakata terburuk melalui fitnah dan label.
Label SARA juga bisa juga dipakai bukan untuk menarik simpati, melainkan meneror pemilih. Contoh paling kentara di Pilkada Jakarta tahun lalu. Label ini beredar luas selama kampanye: “pemilih kafir, berarti kafir”. Lebih jauh, teror diarahkan kepada mereka melalui ritual agama. Misalnya: “tidak akan di-solat-kan (salah satu ritual terhadap jenazah dalam Islam) bagi siapa saja yang memilih kandidat kafir”.
Ketiga, label, stigma, dan fitnah kampanye SARA pada gilirannya memecah belah masyarakat. Masyarakat terbelah menjadi “pro” dan “kontra”. Pada prinsipnya, pendukung dan bukan pendukung itu biasa dalam proses politik elektoral. Masalahnya, kampanye SARA mengakibatkan emosi yang berakibat dendam satu kepada kelompok lainnya karena label dan fitnah.
Sikap saling serang dan sindir bukan saja kepada kandidat, tetapi kepada tokoh lain. Mereka yang sebal dengan Riziq Shihab, misalnya, membuat meme dengan gambar dan kata-kata terburuk. Para pendukung mengejar dan melakukan persekusi sepihak tanpa melalui proses pengadilan. Contoh lain adalah pelaku yang menyebar fitnah mengenai Gus Mus yang segera minta maaf setelah didatangi massa pendukungnya. Keduanya terjadi setelah Pilkada Jakarta usai.
Berangkat dari keinginan mengantisipasi kampanye SARA itu, usulan perlunya satgas anti-SARA bisa dimengerti. Bukan tidak mungkin materi SARA yang disertai stigma yang memecah belah bertebaran di 171 Pilkada Serentak tahun ini. Kekhawatiran serupa menghantui bangsa Indonesia pada pesta puncak demokrasi, Pilpres 2019.
Apakah dengan demikian kita membutuhkan satgas anti-SARA? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perhatikan bahwa satgas secara tidak langsung mengasumsikan beberapa persoalan. Satgas bersifat ad hoc, atau sementara. Sementara itu, satgas dibentuk dalam momen tertentu dan dibubarkan manakala momen itu sudah lewat. Dalam konteks ini, satgas dibentuk untuk mengatasi situasi pada momen Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019. Satgas tentu saja akan bubar manakala pilpres usai.
Asumsi berikutnya adalah satgas anti-SARA perlu untuk mengatasi situasi genting dan spesial. Genting dan spesial berarti terjadi di beberapa waktu khusus dan tidak di waktu-waktu lain. Dalam konteks ini pilkada serentak dan pilpres adalah momen khusus. Momen usai, satgas selesai.
Asumsi lainnya adalah bahwa para pelaku hanya menyebar SARA pada momen-momen spesial itu. Tim sukses hanya bekerja mengeksploitasi SARA sebelum dan mungkin beberapa saat menjelang pemilihan umum. Di luar itu, mereka dinilai akan berhenti kampanye atas nama SARA.
Asumsi ini bermasalah. Kampanye SARA di masyarakat beredar baik pada saat maupun bukan saat pilkada atau pilpres. Para pelaku menyebarkan hoaks, fitnah, dan label sesat kepada pihak yang berbeda tanpa mengenal waktu. Mereka yang kampanye bahwa Syiah sesat, misalnya, tidak berhenti menyebarkannya siang sampai siang lagi, meski jarak dengan pilkada atau pilpres jauh. Sebab, kebencian seseorang kepada orang lain tidak mengenal waktu.
Harus diakui bahwa intensitas dan eskalasi ujaran kebencian meningkat pada masa kampanye politik elektoral. Kita maklum karena sumber daya manusia, sumber dana, dan perangkat teknologi dikerahkan demi kepentingan politik sesaat. Usai pilkada atau pilpres, sumber dana berkurang, orangnya mengerjakan hal lain, dan sarana juga sudah dikerahkan untuk hal lain. Meski begitu, kampanye SARA menyisakan bekas: kebencian, kengerian dan kebusukan pihak lain, yang terkadang tidak lebih dari label. Bekas ini terbawa tanpa mengenal batas waktu.
Riset Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina tentang Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia (2013) menunjukkan bahwa ada jarak waktu antara ujaran kebencian yang beredar dan eskalasi yang akhirnya berujung kekerasan. Ujaran kebencian bisa saja diproduksi pada masa kampanye politik elektoral, tetapi eskalasi kekerasan terjadi jauh dari masa kampanye, seperti dalam kasus kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik atau Anti-Syiah di Pasuruan.
Tantangan yang dihadapi kepolisian, karenanya, bukan pada saat dan momen tertentu, melainkan sepanjang waktu. Satuan yang sifatnya ad hoc atau sementara untuk menangani persoalan sejatinya bukan jawaban jangka panjang. Tugas pokok polisi, sebagaimana amanat UU, adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Tugas pokok ini bersifat selamanya selagi redaksi dalam UU tidak berubah.
Di sisi lain, polisi sesungguhnya punya cukup perangkat untuk melayani dan melindungi masyarakat dari kampanye SARA. Polisi punya surat edaran internal mengenai bagaimana mengatasi ujaran kebencian. Untuk melengkapi surat tersebut, Komnas HAM mengeluarkan buku saku sebagai panduan penanganan ujaran kebencian agar tidak melanggar HAM. Komnas HAM menggarisbawahi “ancaman” sebagai alat ukur. Semakin besar nilai ancaman suatu pernyataan, semakin polisi harus bersikap tegas. Ancaman dan hasutan merupakan langkah pertama menuju eskalasi kekerasan yang lebih luas.
Oleh karenanya, kebutuhan yang bersifat jangka panjang di tubuh kepolisian adalah ketegasan dan keterampilan anggotanya di level paling bawah, kepolisian sektor (polsek), dalam mengolah data dan mengambil tindakan dini. Polisi di level ini sangat penting karena mereka menjadi wajah negara yang oleh Michael Lipsky (1970) disebut sebagai street-level bureaucrat. Mereka yang menghadapi kampanye SARA sehari-hari di masyarakat.
Kegagalan mereka mengantisipasi potensi kampanye SARA berpotensi menimbulkan eskalasi kekerasan yang lebih luas. Satgas mungkin bermanfaat untuk jangka pendek, akan tetapi membangun kapasitas dan keterampilan mengelola konflik di level paling bawah lebih berguna bagi Indonesia tanpa kampanye SARA jangka panjang.
Kolom terkait:
Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama
Saracen yang Sinting dan Mengerikan
Ideologi Fulus di Balik SARA Center