SEHAT. Siapa yang tak menginginkannya? Sakit, siapa yang mau? Sebenarnya, tidak perlu ini ditanyakan pada siapa pun. Tapi, jika itu ditanyakan pada pemain drama, mungkin saja ia berani menempuh sakit di rumah sakit demi bisa menghirup udara segar di luar penjara. Hanya saja, tetap tidak baik kita menuduh seseorang pura-pura sakit. Lebih baik jika kita doakan ia baik-baik saja. Jika benar sakit, semoga ia lekas sembuh. Sesudah sembuh, lantas berangsur-angsur sehat. Lalu, pulih lagi dan bisa hidup normal seperti sediakala.
Eit, nanti dulu. Jika yang dimaksud hidup normal seperti sediakala adalah korupsi lagi–karena itu kehidupannya sehari-hari–itu berarti ia belum sehat. Masih sakit. Memang, tanpa selang-selang di badan dan alat bantuan pernafasan, tapi ia sakit secara ruhani. Apalagi, jika saat menempuh sakit di rumah sakit itu tetap bisa mengendalikan panggung politik, ia tak hanya sakit. Ia bahkan bisa membuat pihak lain sakit. Mulai dari para politisi, praktisi medis, hingga penegak hukum. Ia jangan-jangan virus. Penyebar penyakit.
Jika sebarannya meluas, epidemik, maka jangan-jangan virus sudah mewabah ke mana-mana. Canggihnya, virus ini tidak membuat siapa pun yang tertular lantas kelihatan sakit. Penderita tampak baik-baik saja, tanpa keluhan, masih senyum-senyum, lalu-lalang tanpa merasa dosa, dan bahkan bisa bicara arif dan bijak. Ia, pemain drama yang kita bicarakan ini, tak bisa lagi disebut pemain drama. Ia punya agenda serius untuk mempengaruhi para pemain lainnya, bahkan sutradara, dan lebih dari itu: mempengaruhi penonton.
Pada mulanya, kita mungkin dibikin ngakak pada aksi panggungnya yang tidak tahu malu. Tapi, diakui atau tidak, kita lalu dibuatnya berdecak kagum: di saat orang-orang tertawa, orang-orang menyepelekannya, ia tetap bekerja. Ya, bekerja diam-diam. Tak ada yang melihat muslihat dimainkan di bawah selimut. Tahu-tahu, hukum bekerja seperti biasa: melepasnya dari jeratan sehingga ia bisa mencukupkan akting sakit. Boleh jadi, dalam waktu dekat, ia akan mengirim kabar pada kita dengan muka berbinar.
Apa lagi jika bukan kabar tentang hasil pengobatan yang supermujarab: sembuh, sehat lagi, pulih kemudian, dan akhirnya bisa hidup normal kembali. Mau gimana lagi, pemain drama memang tak hanya wajib menghapal naskah, tapi juga harus menguasai improvisasi kelas wahid. Jika terjadi kesalahan dalam permainan, ia harus mempunyai refleks. Harus tetap tenang dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Tak perlu ada yang disalahkan, apalagi justru bertengkar di panggung. Pemain utama harus bergerak cepat.
Demi menyelamatkan lakon, ia harus mengambil alih kendali dari sutradara yang sembunyi di balik tirai. Daripada lakon berantakan semua dan tidak lagi diajak sutradara–dan produser–untuk main lagi, pemain drama harus berani mengambil keputusan cepat, memang. Untuk yang satu itu, kita selayaknya memberi tepuk tangan panjang pada permainannya yang cakep. Risiko tentu selalu ada, tapi, permainan apa yang tak ada risikonya, coba? Menjadi penonton pun ada risikonya: harus mau dibodohi.
Eit, nanti dulu. Harus mau dibodohi? Mau dibodohi? Tentu saja tidak! Karena ikut membayar kelangsungan panggung, kita bisa tidak lagi memilihnya untuk menjadi pemain. Turunkan dari gelanggang! Tapi, persoalan memang tidak lantas selesai begitu saja. Masih ada sutradara, masih ada produser, masih ada orang-orang di balik layar. Sesungguhnya, merekalah para pemain yang licik dan licin itu. Satu proyek dimainkan tidak hanya oleh satu kepala, tapi bahkan jadi rebutan orang-orang itu. Sudah kacau benar, memang.
Untuk mencegah penularan lebih meluas, dan lebih baik lagi: menanggulanginya, kita harus menyadari setidaknya empat hal utama. Yaitu nama penyakit, sumber penularan, cara penularan, dan metode pemberantasan epidemik. Nama penyakit ini adalah korupsi. Sumber penularannya adalah pemain drama. Cara penularannya melalui kontak langsung dan kontak tidak langsung. Metode pemberantasannya ya harus dipenjarakan dan dimiskinkan. Tapi, mana ada pemain drama yang korup? Ia main drama apa, memang? Di mana?
Saya tidak perlu memperjelas, kita tentu sudah tahu. Hari-hari ini ia ramai menjadi bahan perbincangan di mana-mana, dari media massa hingga media sosial. Sudah berulangkali ia membuktikan kelicinannya sebagai pemain. Meski sudah dipecat, ia bisa dengan mudah kembali menduduki kursi utama di panggungnya. Romannya polos seperti anak kecil, gaya bicaranya tanpa beban, ia tidak lari ketika pemain-pemain lain berusaha kabur, dan yang terpenting: ia bahkan sampai kini belum berhasil dijerat, meski jejak telah terendus.
Namun, satu hal yang siapa pun takkan bisa menghindar adalah sejauh-jauh tupai melompat toh akhirnya jatuh juga. Entah dalam waktu dekat atau masih agak lama lagi. Jika sudah ‘kena batunya’, maka ya kena batunya. Tinggal siapa yang akan melemparkan batu kepadanya dan tepat sasaran. Hidup memang soal waktu. Jika tidak sekarang, mungkin nanti. Namun, daripada membahas karma orang lain, kita lebih baik membicarakan darma. Dari yang terjelek sekalipun, seseorang bisa jadi pernah berbuat baik. Meski sekali.
Lebih dari itu, sebenarnya pemain drama ini sakit ruhani. Bisa jadi, ia sangka bisa memutihkan keburukan dengan kebaikan. Membersihkan korupsi dengan sedekah. Sakit ruhani memang tak tampak, bahkan bisa jadi tidak disadari penderita. Saya, yang menulis ini, barangkali mengindap sakit ruhani juga. Buktinya, saya mulai ngrasani, menggunjing. Anda, yang sedang membaca ini, mungkin pula tidak luput dari sakit ruhani. Siapa tahu, kita sekumpulan orang sakit ruhani yang beranggapan negeri ini baik-baik saja.
Di negeri ini, siapa pun yang terjerat kasus korupsi langsung bisa jatuh sakit. Gara-gara itu, ia tidak bisa diboyong ke ruang pemeriksaan. Atau, jika pun tidak bisa berlama-lama sakit, tersangka korupsi bisa mengkondisikan bangsal khusus di balik jeruji besi. Jika pun tetap tidak bisa menghindar dibawa ke kursi pesakitan, ia masih bisa menampilkan sisi lain hidupnya yang tidak pernah diketahui orang lain, yaitu keimanannya. Tampil sebagai orang baik, bibir terus melafal doa dan zikir, dan sabar atas musibah.
Kolom terkait:
Masyarakat Haus Rohani dan Air dalam Kemasan
Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?
Guru Spiritual dan Candu Popularitas