Jumat, April 19, 2024

Pedofilia Anak lewat Facebook dan Relasi Kuasa

Fransisca Ayu
Fransisca Ayu
Magister Kenotariatan dari Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

ilustrasi [Sumber: kbr.id]
Polda Metro Jaya membongkar tindak kekerasan seksual terhadap anak oleh komunitas pedofil yang tergabung dalam grup Facebook “Official Candy’s Groups”. Empat orang administrator grup itu berhasil diamankan polisi. Grup yang didirikan pada 2016 itu ternyata merupakan komunitas pedofil yang saling berbagi konten pelecehan dan pencabulan terhadap anak-anak.

 

Member harus mengirimkan gambar-gambar yang dia buat ketika melakukan kejahatan seksual dengan anak kecil kepada member yang lainnya. Kemudian posting video atau gambar porno yang anaknya belum pernah di-upload, jadi ada korban baru,” kata Iriawan di Mapolda Metro Jaya, Selasa (14/3/2017).

Anggota yang mengirimkan foto tindak kejahatannya kepada admin diberi upah Rp 15.000 tiap kali ada yang mengklik foto itu. Konten yang termuat dalam grup tersebut antara lain foto bagian tubuh anak dan foto anak sedang dicabuli. Sejauh ini grup tersebut telah menampung 7.479 member.

Salah satu adminnya bernama Wawan (27) yang diketahui pernah mencabuli dua anak perempuan, yakni NNF (12) dan YAM (8). Dalam melancarkan aksinya, ia mengiming-imingi dua anak kecil tersebut dengan uang jajan. Dalam mengelola akun grup itu, Wawan dibantu seorang perempuan berinsial SHDW (16).

Selain mengamankan Wawan dan SHDW, polisi juga membekuk DS (24) dan DF (17) yang juga merupakan admin. DF yang berdomisili di Depok mengaku pernah mencabuli enam orang anak pada 2011. Dua di antaranya merupakan keponakannya, sisanya adalah tetangganya yang berusia 3 hingga 8 tahun. DF bahkan membagikan foto pencabulan anak-anak ini kepada sesama pedofil di negara lain.

Selain NNF dan YAM, ada enam anak lainnya yang pernah dicabuli seorang tersangka berinisial DF (17). Dua di antaranya adalah keponakan DF sendiri, sementara sisanya adalah tetangga. Mereka adalah AQL (3), WD (8), ML (4), FSK (6), AF (5), dan RK (5). Kini, para pelaku dikenakan pasal berlapis Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan hukuman minimal 10 tahun penjara.

Data di atas hanyalah “gunung es” aksi vandalisme yang dialami anak. Ada sekian banyak tragedi menista batin dan fisik anak yang tidak terekspose media karena satu dan lain hal. Karena anak secara fisik merupakan sosok lemah, ringkih, tak berdaya dan belum memiliki naluri dan kemampuan untuk mempertahankan diri dari serangan luar sebagaimana layaknya orang dewasa, ia serta merta menjadi bulan-bulanan eksploitasi hasrat, nafsu, dan tenaga.

Muruah anak sebagai aset masa depan bangsa yang juga tecermin dalam amanat konstitusi UUD 1945 seakan terbenam dalam lumpur kehinaan yang dionggoki oleh para pelaku teror dan kekerasan anak secara brutal. Padahal, kasus kejahatan terhadap anak dengan intensi pemameran (ostentasial) hasrat seksual yang vulgar selalu melahirkan siklus serupa yang terus meracuni moral sosial anak maupun lingkungan sekitar.

Wawan, misalnya, diketahui pernah menjadi korban kekerasan seksual semasa kecilnya. Ia pernah melakukan hal yang sama pada umur 7 tahun, yaitu melakukan hubungan sesama jenis bersama kawannya. Wawan memiliki kecenderungan seksual terhadap anak kecil lantaran ia tidak percaya diri. Hereditasi perilaku anomalik itulah yang mempredasi anak-anak tak mengerti sebagai obyek bancakan hawa nafsu dan meneror masa depan mereka.

Kasus pedofilia tersebut memperpanjang gurat kemuraman nasib anak Indonesia yang terpapar oleh kebijakan pemerintah yang bias kepentingan anak. Menurut Kementerian Sosial, ada 4,1 juta anak telantar karena program sosial yang tidak inklusif dan menyentuh akar persoalan mengatasi kemiskinan. Anak-anak ini tak memiliki sanggahan ekonomi dan jaminan perlindungan psikis yang memadai untuk perkembangan masa depannya, bahkan mereka dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi orang dewasa.

Simak saja pengemis di Sampit di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, yang kedapatan memiliki mobil mewah sedan, ATM dan kartu kredit dari sandaran “bisnis” mengerahkan anak-anak untuk mengemis, yang sudah berlangsung lama.

Ini serupa dengan nasib naas tiga anak panti asuhan di Demak, Jawa Tengah, yang menderita kekurangan gizi, dan dua di antaranya harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi semakin memburuk. Pengasuh panti ternyata orang kaya, punya mobil mewah. Rupanya anak hanya menjadi instrumen kamuflase menangguk rupiah dengan kedok kedermawanan sosial. Padahal sudah ada Standar Nasional Pengasuhan Anak sesuai Permensos No. 30 Tahun 2011 yang perlu dirujuk oleh panti pengasuh anak.

Relasi Kuasa
Tak kalah tragisnya, di Pekanbaru, Riau, Februari lalu, seorang bayi 18 bulan dibawa ke rumah sakit dan akhirnya meninggal dengan luka bekas kekerasan di tubuh. Entah siapa yang tega melakukannya, namun yang jelas hal tersebut sesungguhnya kejahatan yang tak terampuni.

Pertama, karena ia telah membunuh detak jantung generasi bangsa. Bangsa ini kemudian menjadi deposit anak-anak berkualitas yang menjadi energi bagi kemajuan bangsa karena hak-hak kesejahteraannya disedot oleh peringai kapitalisme orang-orang dewasa yang tak bernurani.

Kedua, eksploitasi terhadap anak diorientasikan pada kebutuhan biologis maupun materialistik. Ini menandakan anak tak lebih sebagai material obyektifikasi kuasa yang dibangun secara sadar maupun tidak sadar baik oleh aktor maupun kebijakan yang selalu menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai tulang punggung kemajuan pembangunan.

Kebijakan seperti itu telah memunculkan kesenjangan ekonomi yang sangat terjal. Orang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin melarat. Hanya yang punya kuasa yang mampu mengkapitalisasi sumber-sumber ekonomi secara sempurna, termasuk anak-anak, untuk dijadikan sumber fulus.

Sedangkan mereka yang miskin terus diamplifikasi identitas kemiskinannya, hingga semakin tak berdaya untuk bertahan dalam roda kehidupan yang normal. Abnormalitas kehidupan itu terekspresi dalam praktik membiarkan anak-anak hidup dalam sangkar besi kehidupan yang sulit. Mereka dipaksa bertaruh nyawa untuk memenuhi kebutuhan orangtua, keluarga bahkan oknum-oknum anonim yang mengincar mereka.

Kasus di atas sekaligus menunjukkan metamorfosa kejahatan seksual terhadap anak mendapat panggung yang sedemikian masif. Media sosial yang awalnya dijadikan sebagai media pertemanan justru bergeser menjadi alat untuk mengekspresikan hawa nafsu. Parahnya lagi tidak sedikit orangtua yang mempermisifkan penggunaan media sosial oleh anaknya secara serampangan tanpa kontrol ketat.

Padahal, kekuatan media sosial salah satunya adalah mensirkulasi sekaligus mempersuasi pesan-pesan amoral secara cepat. Fenomena anak dilecehkan, diperkosa bahkan dibunuh karena jalinan komunikasi yang dimulai dari pertemanan di media sosial, bukan hal yang asing lagi. Kini, media sosial tak lagi menjadi teknologi komunikasi yang bersahabat, melainkan telah menjadi MedSOS (media yang menjeritkan pesan kematian: Save Our Soul).

Sampai di sini, kita tak jemu-jemunya menagih negara untuk lebih serius memproteksi anak-anak Indonesia dari bencana tak beradab yang mengintainya. Jika tidak, negara ini akan kehilangan “busur masa depan”-nya.

Fransisca Ayu
Fransisca Ayu
Magister Kenotariatan dari Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.