Pada 1-4 Juli ini Kongres Diaspora Indonesia (Congress Indonesian Diaspora/CID) ke-4 digelar di Kasablanka Hall, Jakarta. Ini Kongres Diaspora Indonesia terbesar sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2002 di Los Angeles, Amerika Serikat (AS).
Selain Presiden AS ke-44 Barack Obama, dalam kongres bertema “Bersinergi Bangun Negeri” ini akan hadir sekitar 40 pembicara dari berbagai keahlian dan profesi, antara lain Co-Founder Marvell Technology Group Sehat Sutardja; Direktur Dialog Antaragama Vatikan, Romo Markus Solo Kewuta, SVD; Presiden Nusantara Foundation yang juga Imam Masjid New York, Shamsi Ali; aktris Hollywood Tania Gunadi; dan penyanyi pop Anggun Cipta Sasmi.
Menurut Ketua Board of Trustees Indonesian Diaspora Network Global (IDNG), Dino Patti Djalal, CID akan menjadi ajang festival of ideas yang dinamis. Tapi, pertanyaan yang harus dijawab adalah, untuk apa? Kalau sekadar untuk gagah-gagahan terlebih dengan kehadiran Obama, tidak akan banyak gunanya.
Sesuai tema yang diusung, CID kali ini seyogianya berperan maksimal mensinergikan seluruh kekuatan diaspora Indonesia yang tersebar di berbagai belahan dunia, semata-mata untuk membangun negara (Indonesia).
Saat ini, jumlah diaspora Indonesia termasuk 10 besar di dunia dengan rincian 6-8 juta berstatus WNI dan sekitar 10-15 juta sebagai warga keturunan Indonesia. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, rasionya masih tergolong kecil. Tapi, untuk bisa berperan maksimal, jumlah seharusnya tidak menjadi masalah. Yang terpenting adalah seberapa besar kualitas peranan mereka dalam ikut serta memajukan bangsanya.
Yang menjadi masalah, selain jumlahnya yang kecil, peranannya juga masih kecil. Dari puluhan juta diaspora tersebut, hanya sekitar dua juta orang saja yang memberikan kontribusi nyata bagi Indonesia. Itu pun sebatas remitansi sekitar 8 miliar dolar AS pada tahun 2016. Bandingkan, misalnya, dengan diaspora Tiongkok yang mampu menghasilkan devisa bagi negaranya 780 miliar dolar per tahun, atau India yang mencapai 180 miliar dolar per tahun.
Mengapa peran diaspora belum maksimal? Ada kesan kuat, diaspora Indonesia hanya diwakili para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di sektor domestik, terutama para pembantu rumah tangga, atau bahasa kerennya Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) yang kompetensi dan martabatnya kurang diperhitungkan.
Padahal, jika mau dilacak dan didata secara serius, tidak sedikit di antara diaspora Indonesia yang bekerja di sektor-sektor penting seperti para ilmuwan yang terlibat dalam berbagai proyek penelitian bidang sosial, agama, dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di berbagai perguruan tinggi, atau tenaga profesional di perusahaan-perusahaan multinasional bidang farmasi, energi, teknologi informasi, finansial, dan lain-lain.
Peranan mereka belum maksimal, selain karena faktor sinergi yang belum kuat, juga masih ada yang tidak merasa bagian dari Indonesia. Karena itu, selain sinergi, penguatan semangat nasionalisme menjadi penting. Kondisi Indonesia yang masih terpuruk di mata dunia internasional, membuat sebagian diaspora merasa tidak percaya diri atau bahkan merasa malu untuk menjadi bagian dari Indonesia (dalam bahasa Dino Patti Djalal, diaspora Indonesia terlalu low profile)
Maka, peningkatan martabat Indonesia menjadi penting. Menuntut diaspora meningkatkan martabat Indonesia harus dibarengi dengan upaya pemerintah Indonesia sendiri dalam meningkatkan martabat bangsa dan negaranya. Semangat nasionalisme akan muncul dengan sendirinya pada saat mereka merasa bangga menjadi bagian dari Indonesia.
Selain soal devisa, yang perlu dimaksimalkan dari fungsi diaspora adalah diplomasi dan representasi kebangsaan untuk mengangkat citra dan martabat Indonesia di mata dunia. Diaspora harus ikut bertanggungjawab dalam “memasarkan” Indonesia di dunia internasional, melalui julur pendidikan, seni budaya, kewirausahaan, pariwisata, dan lain-lain.
Dalam hal ini peranan pemerintah menjadi sangat penting. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, dalam jangka pendek, pemerintah harus proaktif mengkonsolidasikan kekuatan diaspora untuk kepentingan nasional, misalnya dengan menerbitkan Kartu Diaspora Indonesia. Dengan memiliki kartu ini, setidaknya mereka senantiasa merasa bagian dari Indonesia, meskipun, misalnya, status kewarganegaraannya bukan WNI.
Kedua, dengan melakukan investasi sumber daya manusia. Pemerintah jangan hanya mau memetik devisa berupa remitansi dari para diaspora, khususnya TKI. Pemerintah harus melakukan investasi dengan cara menyiapkan calon TKI yang terampil dan profesional secara sistematis, terukur, dan gratis, untuk ditempatkan di negara-negara yang membutuhkannya.
Ketiga, mengingat fungsi dan peranannya yang sangat strategis, kiranya perlu dibentuk Kementerian Diaspora. Secara kelembagaan, desk diaspora yang ada di Kementerian Luar Negeri sudah tidak memadai. Sudah banyak contoh negara yang memiliki kementerian diaspora yang dampaknya sangat positif untuk meningkatkan fungsi dan peranan diaspora bagi negaranya.
Keempat, dengan memberlakukan dwi kewarganegaraan. Setidaknya, ada 44 negara di dunia yang memberlakukan dwi kewarganegaraan. Kebijakan ini terbukti mampu meningkatkan remitansi hingga 78%.
Sayangnya, untuk kasus Indonesia, dwi kewarganegaraan menjadi kebijakan yang terus ditunda karena dianggap akan mengikis rasa kebangsaan. Padahal, bagi diaspora, kebijakan ini justru akan menguatkan rasa bagian dari Indonesia karena bisa memberikan kesempatan untuk bekerja lebih luas, biaya kuliah lebih murah, dan kesempatan-kesempatan lain dalam pengembangan profesi melalui transfer ilmu pengetahuan dan teknologi.
Baca juga: