Sabtu, April 27, 2024

Ngilu Kristiani di Kota Wali

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.

[Ilustrasi] Makam Maulana Malik Ibrahim di desa Gapurosukolilo, Gresik, Jawa Timur.
Kota Wali adalah klaim Kabupaten Gresik sebagaimana tertulis di situs resmi pemerintah kabupaten tempat istri saya menghabiskan masa kanak hingga dewasa. Jika mitos penyebaran Islam di Jawa Timur sangat tidak mungkin dicerabut dari kiprah Wali Songo, maka sulit memisahkan sosok mereka dengan Gresik. Kota ini “dijaga” selamanya oleh dua makam wali: Maulana Makhdum Ibrahim dan Sunan Giri.

 

Hanya Gresik dan Kudus yang dihuni oleh dua makam wali. Daerah lain seperti Surabaya, Lamongan, Tuban, Cirebon, dan Demak masing-masing satu. Karenanya, sangat menarik melihat bagaimana secuil kehidupan warga Kristen–baik Protestan maupun Katolik–di kota tempat kelahiran istri saya itu.

“Kami sedang terus memperbaiki playgroup dan TK yang kami miliki. Sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah Kristen di Gresik yang mengantongi izin,” kata Joko Pratomo setengah bangga. Pria yang merupakan salah satu aktivis lintas iman ini sehari-harinya juga menjadi majelis–semacam takmir kalau dalam Islam–di Gereja Kristen Indonesia (GKI).

Dengan agak kaget mendengarnya saya bertanya jumlah keseluruhan TK dan playgroup Kristen yang tidak berizin di Gresik. “Ya nggak ada, Gus, kami satu-satunya,” ia menjawab dengan gelayut tipis duka di wajahnya. Suami Mbak Evi ini kemudian menceritakan tidak adanya sekolah Kristen di Gresik, di seluruh jenjang, kecuali TK dan playgroup milik GKI.

Saya makin penasaran kenapa bisa seperti itu. Kenyataan ini benar-benar tidak saya sangka. Sebagai perbandingan, Jombang–tempat saya tinggal–yang terkenal dengan sebutan Kota Santri masih bisa dianggap cukup terbuka dengan institusi pendidikan Kristen. Di kota saya ini, terdapat puluhan sekolah dalam jenjang playgroup hingga SMP yang berembel-embel Kristen.

Joko Pratomo yang didampingi Pak Amos–rekannya di GKI–mengaku pasrah dengan kondisi ini. “Mungkin kami minoritas yang dianggap tidak membutuhkan sekolah Kristen,” ujarnya nyengir kuda.

Saya kemudian melacak data kependudukan 2015 yang dikeluarkan BPS Gresik. Dari total 1.303.773 penduduk, 1.286.493 (98,67%) adalah Muslim. Sedangkan warga Kristen sebanyak 14.238–terdiri atas 11.051 Protestan dan 3.187 Katolik. Warga Kristen banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan dan industri seperti Driyorejo, Menganti, Kebomas, Gresik Kota, dan Manyar.

Bagi saya, 14 ribuan orang Kristen di Kota Wali ini bukan jumlah yang sedikit sehingga haknya memperoleh pendidikan dari institusi Kristen bisa diabaikan. Mereka lebih dari sekadar pantas untuk memiliki setidaknya sebuah playgroup, TK, SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi. Dalam hal ini, saya bisa katakan Pemkab Gresik sangat layak dituding keterlaluan.

Saya coba menyisir jumlah sekolah di Gresik. Data BPS tahun yang sama menunjukkan ada 445 sekolah dasar–389 negeri, 56 swasta. Tidak ada SD Kristen. Untuk setingkat SMP, jumlahnya 103 sekolah–33 negeri, 70 swasta. SMP Kristen? Nol. Bagaimana dengan setingkat SMA? Terdapat 50 sekolah–11 negeri, 39 swasta. SMA Kristen pastilah tidak ada. Data itu belum temasuk jumlah perguruan tinggi, dan pesantren yang jumlahnya sekitar 65.

Potret penindasan senyap seperti ini tentu tidak terjadi pada komunitas Muslim. Sebagai penguasa Kota Wali, mereka bisa menikmati limpahan institusi pendidikan berbasis agama–baik negeri maupun swasta. Menurut data Kementerian Agama Gresik, sebagaimana dikutip portal bangsaonline (2/10/2016), terdapat 139 Madrasah Ibtidaiyah, 32 Madrasah Tsanawiyah (MTs/SMP), dan 12 Madrasah Aliyah (MA/MA). Jumlah taman kanak-kanak dan playgroup bisa mencapai puluhan.

Jika demikian halnya, maka pilihan menempuh pendidikan bagi anak-anak Kristen Gresik adalah di sekolah-sekolah negeri. Namun problem diskriminasi, bullying, dan pemaksaan tetap menguntit mereka. “Diejek dan cemooh sesama siswa kerap dialami mereka. Saya minta tetap kuat dan bersabar,” kata Mathilda (bukan nama sebenarnya).

Entah bagaimana ceritanya, guru ilmu alam ini juga mengampu pelajaran agama Kristen (PAK). Tidak tanggung-tanggung, ia mengajar PAK di lebih 7 SMP Negeri dan 1 SMP swasta. Ironisnya, statusnya sebagai pengajar PAK tidak tercatat dalam database guru– baik diknas maupun Kementerian Agama. “Saat mengurus itu, saya dipimpong ke sana-sini. Hingga akhirnya saya menyerah,” ujarnya.

Hal lain, di hampir semua sekolah negeri mayoritas Muslim, bisa dipastikan siswa/siswi Kristen tidak akan pernah berkesempatan membacakan teks Pembukaan UUD 1945 saat upacara rutin. Pemicunya sepele: mereka dianggap tidak mampu melafalkan diksi “Allah” secara sempurna menurut ukuran lidah Islam.

Kata “Allah” memang muncul sekali dalam Pembukaan tersebut, tepatnya di awal paragraf ketiga, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya….” Ini contoh kecil saja bagaimana diskriminasi dan stereotipe disemai sejak hal paling ringan.

Contoh lainnya, sebagaimana Mathilda ceritakan, ia dan siswa/siswi Kristen kerap menggunakan perpustakaan sebagai tempat belajar PAK karena tidak ada ruang kelasnya. “Di perpustakaan kami kadang merasa terganggu jika ada kegiatan lain di lokasi yang sama. Tidak jarang kami mengalah,” ujarnya. Meski demikian, bagi Mathilda, ia tetap harus bersyukur, sebab ada sekolah lain yang malah menolak jika diadakan acara kerohanian bagi siswa-siswi Kristen di sana.

Di sebuah sekolah negeri, ia meneruskan ceritanya, pernah ada kebijakan pewajiban jilbab kepada siswi Kristen. Sekolah bahkan rela menyediakan jilbab gratis untuk mereka. Alasannya agar tampak seragam, “Agama kan di hati, bukan penampilan,” kata pihak sekolah mempersuasi para siswi. Kebijakan ini sempat dituruti hingga akhirnya siswi-siswi Kristen merasa tidak nyaman.

“Saya turun tangan mencoba melakukan pendekatan ke sekolah agar menghormati pilihan mereka, sembari mengingatkan soal aturan di sekolah negeri. Puji Tuhan berhasil,” kenang Mathilda.

Potret masam di sektor pendidikan ini bisa jadi akan tidak diakui–baik oleh pemerintah kabupaten maupun warga Kristen Gresik. Kelompok minoritas kerap merasa tidak nyaman dan bahkan cenderung minder menyuarakan ketidakadilan yang dialami. Padahal, mereka sebenarnya dijamin kesetaraannya oleh konstitusi.

Ketidakmauan mempublikasi masalah seperti ini, di bawah rezim tidak sensitif seperti Pemkab Gresik, hanya akan mendorong keharmonisan semu: rukun di permukaan, namun remuk redam di dalam. Inilah ngilu Kristiani di Kota Wali yang sangat mungkin juga terjadi di kota lain.

Baca juga:

Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir

Pesan Natal dari Seorang Kristiani Anak Seorang Mukmin

Secercah Harapan di Balik Caci Maki Muslim dan Kristen

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.