Pada 24-26 Februari 2017, Muhammadiyah menggelar Sidang Tanwir di Ambon, Maluku. Sebagai forum permusyawaratan tertinggi setelah Muktamar, Tanwir biasanya lebih difokuskan pada pembahasan tema-tema strategis berkaitan dengan masalah-masalah kebangsaan dan keindonesiaan.
Di antara masalah kebangsaan yang patut diperhatikan Muhammadiyah adalah gejala menguatnya ekstremitas keislaman baik disebabkan karena pengaruh politik global maupun nasional. Pengaruh politik global, misalnya, dengan menguatnya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang terus berupaya merekrut anak-anak muda Islam di seluruh dunia untuk dijadikan tentara jihadis, termasuk dari Indonesia.
Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia dianggap potensial dijadikan lumbung generasi baru ISIS. Dan potensi ini belakangan semakin tampak dengan banyaknya dukungan diam-diam dari kalangan anak-anak muda. Sejumlah survei di kalangan siswa-siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) menunjukkan gejala itu.
Di kalangan mahasiswa, bahkan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang selama ini menjadi salah satu sumber utama ulama dan cendekiawan Muslim berhaluan moderat, pernah “kecolongan” dengan adanya “deklarasi” dukungan terhadap ISIS.
Jika gejala-gejala ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi lahan persemaian utama Islam radikal melihat dukungan secara objektif sudah mulai bisa dirasakan dengan menggeliatnya organisasi-organisasi Islam berhaluan kanan seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), dan lain-lain yang sangat agresif merespons setiap peristiwa politik yang dianggap bersentuhan langsung dengan kepentingan umat Islam.
Munculnya kasus Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang dituduh menistakan Al-Qur’an saat menjelang Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) Jakarta menjadi semacam “blessing in disguise”. Umat Islam yang biasanya terpecah menjadi “bersatu” dalam satu gerakan “Bela Islam” yang berjilid-jilid.
Yang menarik, dua organisasi Islam berbasis massa besar dan berpengaruh, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, secara organisatoris tidak ikut serta dalam gerakan ini, meski secara individual tidak sedikit anggotanya yang terlibat.
Ketidakterlibatan NU dan Muhammadiyah menunjukkan pesan bahwa gerakan “Bela Islam” bukan merupakan tradisi Islam moderat yang selama ini dilekatkan dengan tradisi yang dikembangkan NU maupun Muhammadiyah.
Tantangan Muhammadiyah
Maraknya gerakan Islam “kanan” menjadi tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah. Mengapa demikian, karena organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912 ini dalam gerakannya sedikit berbeda dengan NU. Jika NU mendiseminasikan Islam Nusantara yang berupaya mengintegrasikan Islam dengan budaya lokal, Muhammadiyah lebih memilih Islam Berkemajuan yang dalam praktiknya cenderung meninggalkan aspek budaya lokal, terutama yang dianggap menjadi hambatan kemajuan.
Sebaliknya Muhammadiyah lebih membuka diri terhadap unsur budaya asing yang dianggap modern dan berkemajuan. Praktik semacam ini sudah dikembangkan KH Ahmad Dahlan, bahkan sebelum mendirikan Muhammadiyah, dengan memperkenalkan tatacara belajar-mengajar dengan sistem yang biasa ditempuh orang Barat yang kala itu merepresentasikan kaum penjajah. Maka, tidak begitu mengherankan jika KH Ahmad Dahlan kerap dituduh kafir oleh masyarakat Muslim yang hidup pada masa itu.
Tapi, KH Ahmad Dahlan tidak surut, walau dianggap kafir. Ia tetap pada pendiriannya, bahwa Islam harus terbuka dan membuka diri terhadap kemajuan, termasuk budaya yang dibawa orang asing. Tradisi membuka diri inilah yang saat ini menghadirkan tantangan baru bagi Muhammadiyah, yakni kemungkinan merasuknya tradisi Islam radikal yang berkembang di Timur Tengah sehingga Muhammadiyah, meski tersamar, sering dituduh sebagai organisasi tempat berseminya paham Wahabi. Apalagi, sejauh ini, Muhammadiyah merupakan satu-satunya organisasi Islam moderat yang tidak melibatkan diri secara aktif dalam gerakan deradikalisasi Islam yang menjadi program utama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Merespons “tuduhan” Wahabi dan keengganan melibatkan diri dalam “proyek” deradikalisasi Islam, Muhammadiyah tidak terjebak dalam perdebatan wacana, apalagi dengan mengerahkan “buzzer” seperti yang dilakukan para tokoh politik dan pengikut-pengikutnya setiap menanggapi tuduhan negatif.
Muhammadiyah merespons dengan gerakan-gerakan riil seperti mengembangkan pendidikan inklusif dan melakukan pertolongan pada semua pihak yang membutuhkan tanpa melihat suku, agama, atau mazhab dan golongannya..
Di wilayah/daerah yang mayoritas penduduknya non-Muslim, Muhammadiyah tidak lantas bersikap defensif seperti umumnya watak minoritas. Muhammadiyah tetap membuka diri sehingga jangan heran jika sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah di wilayah itu diisi oleh mayoritas siswa/mahasiswa non-Muslim. Begitu juga dengan guru/dosen dan para pengelolanya.
Jadi, pada saat orang lain masih berteriak lantang memperjuangkan pentingnya kemajemukan, Muhammadiyah sudah melakukannya. Lembaga-lembaga pendidikan, rumah sakit, dan panti-panti sosial yang dikelola Muhammadiyah membuka diri terhadap semua etnis, agama, dan golongan.
Karenanya, meskipun ada di antara anggota Muhammadiyah yang tertarik dengan gerakan-gerakan Islam yang “berisik” di ruang publik, cenderung radikal dalam menyuarakan syariat Islam, dan menolak keras kepemimpinan non-Muslim, secara kelembagaan Muhammadiyah tetap menampilkan wajah yang elegan, tidak larut dalam irama gendang yang meraka suarakan.
Konsistensi Muhammadiyah dalam mengembangkan pemikiran dan gerakan Islam moderat seperti ini sudah teruji, sejak era KH Ahmad Dahlan hingga saat ini.