Kamis, April 25, 2024

Milenial Kota versus Milenial Desa

Dito Ariotedjo
Dito Ariotedjo
Ketua Umum Angkatan Muda Pembaruan Indonesia/AMPI

Sampai hari ini, berbicara tentang generasi milenial serasa tak pernah ada ujungnya. Ada banyak hal menarik yang menyertai booming-nya generasi yang satu ini. Mulai dari kebiasaan, gaya hidup, preferensi politik, ideologi, sampai pada menjamurnya start up-start up kreatif sebagai pertanda bahwa generasi milenial bukan hanya generasi penikmat kemudahan dan kecanggihan, tapi juga sebagai kreator yang bisa diandalkan oleh zamannya.

Tapi agak gegabah juga jika kita, ataupun pemerintah dan partai politik, memukul rata bahwa generasi yang lahir dari tahun 1980-2000 adalah generasi seragam yang bisa dianggap sama rata dalam hal-hal di atas. Secara pukul rata, generasi yang lahir di tahun tersebut seringkali disederhanakan semuanya ke dalam kaeakter dan ciri-ciri tertentu.  Penyederhanaan semacam itu kerap kali terlepas dari konteks geografis dan segala kekurangan infrastruktur yang ada di daerah-daerah tertentu.

Contoh kecil, beberapa kali saya bertatap muka langsung dengan kawan-kawan segenerasi yang berasal dari daerah. Nyatanya tak pula rupanya ada kesamaan, terutama dalam hal-hal yang dinyatakan oleh banyak pakar sebagai ciri khas generasi milenial. Tak ada antusiasme untuk berbicara soal start up misalnya.

Bagi mereka, Mark Zuckemberg, Ahmad Zaki, Nadiem Makarim, Ferry Traveloka, atau tokoh-tokoh sekaliber itu tak terlalu penting. Bersosial mediapun bukan aktifitas eksistensial bagi mereka, hanya pengisi waktu luang, layaknya generasi X memperlakukan situs dan aplikasi pertemanan. Sehingga di lain sisi generasi milenial pedesaan tak terlalu aktif dalam mem-folow tokoh-tokoh terntentu.

Itu pun akhirnya dapat dipahami karena rerata kawan-kawan milenial di daerah tidak terlalu asyik berkutat dengan ponselnya. Hanya ketika ada pesan masuk atau telpon berdering saja ponsel mereka keluar dari saku. Merek-merek gadget pun tak terlalu menjadi prioritas, selama bisa tetap berkirim pesan atau saling menelpon. Boleh jadi karena faktor ekonomi yang kemudian membuat urusan merek menjadi tidak terlalu penting.

Fakta lainya, mereka pun rata-rata tak terlalu antusias untuk berbelanja online, sekalipun mungkin koceknya berisi dana yang cukup untuk membeli baju atau sepatu di gerai online kenamaan yang sering wara-wiri di akun sosial medianya. Atau boleh jadi memang layanan perbankan untuk mendukung aktifitas berbelanja online tak terlalu marak di pedesaan.  Tak banyak bank di daerah, selain BPD, hanya ada bank-bank BUMN yang lebih fokus menjual produk perbankan konvensional. Jangan ditanya soal layanan ebanking atau mobile banking, hampir pasti jarang di-request oleh generasi muda desa.

Kemudian antusiasme terhadap isu-isu yang lagi hype di sosial media pun tak terlalu bergelora, alias biasa saja. Tak banyak dinamika perdebatan soal isu-isu terkini. Kalaupun ada, lebih cendrung mengikuti arus utama saja dan memakai referensi konvensional seperti keyakinan dan informasi-informasi dari para tetua yang juga mengikuti perkembangan berbagai isu.

Apalagi harus mencari alternatif lain untuk meng-counter dengan sumber-sumber informasi tandingan layaknya anak-anak milenial perkotaan yang cenderung tak mau kalah dalam beradu sumber informasi alternatif, generasi milenial pedesaan lebih terlihat pasif dan tidak mengganggapnya sebagai nilai jual personal agar dipandang di dalam pergaulan.

Disparitas semacam itu akan semakin kentara jika saya bergeser ke daerah yang lebih pinggiran, sebut saja ke daerah pedesaan atau pedalaman. Anak-anak seumuran saya lebih sering terlihat sibuk untuk memikirkan penghasilan agar bisa membantu keluarga, ikut menopang ekonomi orang tua, dan sejenisnya.

Sekalipun terjadi pergeseran preferensi pekerjaan, karena faktor pendidikan, di mana pertanian semakin kurang menarik, tapi di daerah-daerah tertentu yang jumlahnya tak sedikit, anak-anak seumuran saya lebih cendrung menyibukan diri dengan aktifitas ekonomi konvensional yang berbau pertanian juga, seperti mengurus kebun sawit, atau bekerja di kebun sawit, kebun karet, atau ke ladang jagung, layaknya generasi sebelumnya.

Hal itu terjadi pada generasi milenial pedesaan, yang tidak berniat untuk merantau atau bermigrasi. Karena jika dilihat generasi milenial desa yang kemudian pergi ke kota untuk pendidikan atau mencari pekerjaan, maka perbedaannya sangat mencolok. Generasi milenial yang meninggalkan kampung cenderung menjadi kekota-kotaan, tampil berbeda sendiri di banding kawan-kawan segenerasinya di desa.

Cuma anehnya, generasi milenial desa yang merantau pun tak dianggap sebagai trend setter. Apa yang mereka perlihatkan atau pamerkan, pada ujungnya hanya dibicarakan saja, paling jauh hanya dikagumi, tapi jarang diikuti. Karena milenial desa yang tetap bertahan di desanya punya pola hidup sendiri, yang nyaris tak sama dengan generasi millenial perkotaan.

Sebut saja misalnya jika ditanya soal harapan masa depan, jawabannya pun berbeda dengan generasi milenial perkotaan. Mereka tak cenderung tak selektif terhadap pekerjaan, selama bisa menghasilkan dan bisa dikerjakan, tak ada masalah.

Harapan lainnya setelah itu adalah bisa menikah segera dengan pasangan yang dicintai, menafkahi keluarga setelah menikah, kemudian bertumbuh secara ekonomi, memiliki rumah dan aset berupa tanah atau kendaraan, bisa membantu ekonomi orang tua. Tujuan sekundernya adalah agar dianggap di dalam keluarga dan di lingkungan desa. Bahkan setelah menikah, mereka lebih cenderung mengurangi aktifitas milenialnya seperti berselancar di media sosial atau berlarut-larut dengan ponsel.

Sampai akhirnya, pola berbelanjanya pun masih seperti generasi sebelumnya, sangat konvensional, transaksi tatap muka, baik melalui perantara pedagang keliling dan warung,  atau ke pasar-pasar, pun sesekali pergi ke ritel yang agak modern di ibu kota kabupaten.

Kecendrungan generasi milenial di daerah pedesaan seperti di atas patut dipertimbangkan bahwa pertama sebenarnya perspektif yang kita gunakan selama ini sangatlah bias kota.  Kedua, infrastruktur teknologi dan pendidikan, terutama internet, ternyata belum semerata yang kita bayangkan. Dan ketiga, memang ada disparitas pembangunan di antara desa dan kota, yang harus terus-menerus diupayakan oleh pemerintah penyelesaiannya.

Data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) serta dari We Are Social menyebutkan bahwa pengguna internet Indonesia sudah berada di kisaran 52%, dan sebagian besar diantaranya mengakses internet secara mobile selama 4 jam per hari. Lebih jauh lagi, saat ini terdapat 370 juta kartu SIM aktif di Indonesia, jauh lebih besar dari populasi Indonesia yang sudah hampir mencapai 270 juta penduduk.

Namun data tersebut adalah gambaran kasar. Pengguna internet berpusat di wilayah perkotaan dan wilayah-wilayah yang sudah mengalami kelengkapan infrastruktur untuk berkembangnya ekonomi digital dan bergulir lancarnya gaya hidup generasi milenial.

Faktanya, jika ditilik secara mendalam, masih terdapat ketidakmerataan atau kesenjangan digital di Indonesia, yang berpeluang besar untuk terjadinya disparitas gaya hidup, perilaku, visi misi, dan cita-cita yang ingin dicapai oleh generasi milenial di daerah perkotaan dengan yang ada di pedesaan.

Untuk itu, akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk terus-menerus mengurai dan menguranginya. Dengan kata lain,  otoritas, ataupun elit-elit serta partai yang ingin meraup suara dari generasi ini harus hati-hati dalam melakukan pendekatan.  Jangan terjebak ke dalam kebijakan dan pendekatan penyeragaman yang justru akan memberikan feedback negatif di kemudian hari.

Memang, secara infrastruktural, pertama-tama pemerintah harus memastikan seluruh masyarakat Indonesia di mana pun mereka berada bisa mendapatkan akses layanan telekomunikasi yang sama, mengingat infrastruktur adalah syarat utama kesuksesan ekonomi digital.

Masalahnya, meskipun prilaku digital masyarakat Indonesia menunjukkan tren yang terus meningkat, faktanya infrastruktur telekomunikasi di Indonesia belum terbangun secara merata. Pembangunan infrastruktur yang masif hanya terlihat di kawasan Jawa dan Sumatera, sedangkan di kawasan timur Indonesia infrastruktur telekomunikasi yang ada masih jauh dari memadai.

Akibatnya, kesenjangan digital terasa sangat kentara. APJII mencatat bahwa 70 juta pengguna internet Indonesia berpusat di pulau Jawa, Sumatera, dan Bali. Sedangkan total semua pengguna internet di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya sebesar 5.9 juta. Fakta semacam itu juga terlihat dari posisi Indonesia di sejumlah index yang dikeluarkan berbagai lembaga, seperti Networked Readiness Index (NRI) dan GSMA Mobile Connectivity Index.

Posisi Indonesia masih kalah jauh bahkan bila dibandingkan oleh negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Thailand. Inilah tantangan utama bagi pemerintah agar terus-menerus mengupayakan terjadinya pemerataan digital.

Dito Ariotedjo
Dito Ariotedjo
Ketua Umum Angkatan Muda Pembaruan Indonesia/AMPI
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.