Selamat datang di Indonesia, yang menghadirkan drama lebih panjang dari sesi sidang Jessica Wongso, Cinta Fitri, dan drama per-mantan-an seleb twit Arman Dhani. Negeri tidak pernah kehilangan perbincangan yang menarik dan menggelitik, sehingga saya tidak pernah harus memulai perbincangan dengan pertanyaan mengenai cuaca hanya untuk berbasa-basi.
Kali ini, drama dibuka dengan perdebatan mengenai menikah dan prestasi. Mari saya perkenalkan kedua belah kubu. Di kubu pertama adalah mereka yang jomblo menahun atau mengharapkan kekasih hatinya segera melamar. Mereka biasanya disponsori oleh orangtua yang setiap hari memberi kode ingin cepat menimang cucu.
Jumlah ini lebih banyak dibandingkan barisan pemuda radikal yang seringkali memenuhi jalan raya yang berteriak-teriak membawa embel agama. Kubu ini sesungguhnya adalah kubu yang harap-harap cemas karena sinyal-sinyal harapannya menikah tak juga dapat terlaksana.
Di sisi satunya lagi adalah individu yang merasa dirinya terbarukan, syukur-syukur benar-benar terbarukan. Sebenarnya saya tidak memiliki kritik dengan kubu yang satu ini, hanya saja semangat yang membara dan meledak-ledak kadang menyeret mereka pada argumen ad hominem yang menyerang orang lain dengan sama kekanakannya. Saya yakin, sehabis ini saya akan menerima kritik pedas manis.
Untuk sekadar pamer, saya berada di tengah kelompok-kelompok yang berbeda. Saya mempunyai teman-teman yang memutuskan untuk menikah ketika mereka baru lulus dari sekolah menengah; beberapa memutuskan untuk tidak menikah seumur hidupnya; banyak yang menikah selepas kuliah dan memutuskan untuk tidak menunda kehamilan; lainnya tidak menjalani hubungan serius dan berganti pasangan; menikah dan memilih untuk tidak mempunyai anak; sisanya adalah mereka yang tidak mendapat kesempatan untuk menikah hanya karena berbeda agama atau tidak berbeda jenis kelamin.
Pertama-tama, sebelum saya mengkritisi argumen kubu pertama, pernikahan yang saya bicarakan adalah yang bersifat konsensual, dan dilakukan dalam kesadaran penuh. Pernikahan selayaknya terjadi bukan karena adanya paksaan atau tekanan karena sudah hampir melewati batas umur, atau di bawah ancaman keluarga.
Pernikahan adalah upaya sadar untuk menginstitusionalisasikan hubungan antar-manusia dalam lembar-lembar kertas yang diasumsikan berkekuatan hukum. Pernikahan bisa saja dihayati sebagai sesuatu yang penting dan sakral dari sebuah ingatan mengenai peristiwa yang bersifat pribadi. Namun, pernikahan sebaiknya bukan digunakan semata untuk mencegah nafsu yang meletup-letup untuk berhubungan seksual akibat adanya fluktuasi hormon dan kebutuhan badaniah.
Sesungguhnya pada manusia-manusia yang satu ini, saya amat ingin mengajari mereka caranya masturbasi! Pernikahan juga bukan pula sebuah kemenangan. Ia bukan tropi bergilir yang disimpan dan dielu-elukan hingga menemukan “pemenang” selanjutnya.
Kubu kedua pun sepertinya mudah terbakar ketika dikipasi, setelah beredar meme yang bertuliskan “Kalian yang Umur 25++, Ngapain Aja?”. Kubu ini menjawab dengan menunjukkan segambreng prestasi yang dilakukan ketimbang menikah (muda). Mulai dari melawan penjajah, mencerdaskan kehidupan bangsa, memenangkan olimpiade, dan adu bakat lainnya.
Pada hakikatnya, pernikahan juga bukan untuk diperbandingkan dengan prestasi demi ditentukan “nilainya”. Seseorang mahasiswa yang memenangkan olimpiade matematika tidak lebih baik daripada seorang aktivis lingkungan hidup. Bahkan jika ditarik lebih ekstrim lagi, seorang pahwalan super tidak lebih baik daripada penjahat. Penghayatan dan pemaknaan atas sesuatulah yang menjadikan manusia begitu unik sehingga setiap kejadian adalah milik personal.
Untuk Arman Dhani, balikan dengan mantan tentu lebih bernilai dibandingkan menang lomba catur tingkat dunia. Tidak ada yang salah ketika Anda ingin menghabiskan waktu menonton siaran TV dan bercinta sepanjang hari. Tidak pula ketika Anda memutuskan untuk menjadi duta perdamaian dunia.
Menghadapi kedua kubu ini, saya harap-harap cemas akan dikritisi karena belum menikah dan tidak berprestasi. Membandingkan menikah dengan prestasi, dan vice versa, seperti membandingkan apel dengan jeruk, mangga, atau meja kerja! Jika ditanya di kubu mana, saya ingin berada di kubu Karin Novilda dan Alvin Faiz, meski saya tidak seterkenal keduanya.
Keduanya terus menerus hidup di bayang-bayang bahwa mereka masih remaja labil yang pengambilan keputusannya masih harus dipertanyakan, sehingga seluruh keputusannya (termasuk menikah, berkuliah, berpacaran, dan lainnya) adalah keputusan orang lain, atau keputusan komunal. Seolah-olah orang lain mempunyai hak untuk menentukan bahwa seseorang harus menikah, harus tidak menikah, dan banyak keharusan lainnya, alih-alih membebaskan orang lain itu pada pilihan-pilihan pribadinya.
Apakah kita sudah bertanya mengenai apa yang mereka inginkan? Kita seharusnya menawarkan mereka tanggung jawab, menjelaskan apa-apa saja yang menjadi konseksuensi dari tindakannya, tanpa menakut-nakuti, atau membandingkan dia dengan orang lain. Apakah Anda masih berpikir bahwa remaja adalah makhluk kurang rasional dibandingkan Anda, individu dewasa, sehingga mereka tidak dapat mengambil keputusan dan lebih rentan daripada Anda?
Moshman (2013) bisa membantah pemikiran Anda. Ia mengemukakan tiga poin penting dalam menjelaskan rasionalitas remaja, di mana (1) individu dewasa tidak serasional yang diasumsikan, (2) remaja (dan dewasa) berbeda kategori dari anak-anak sehubungan dengan pencapaian tingkat rasionalitas dan fungsi psikologis, dan (3) remaja dan dewasa tidak berbeda kategori dari satu sama lain sehubungan dengan kompetensi rasional, kecenderungan irasional, struktur otak, atau fungsi neurologis.
Karenanya, remaja seharusnya sudah memiliki kebebasan intelektual, kebebasan reproduksi, dan tanggung jawab, dan Anda (dan saya) tidak serasional yang Anda bayangkan!
Jadi, seperti layaknya lagu Pernah Muda-nya Bunga Citra Lestari, Anda bisa berhenti urusi semua urusan mereka, dan membiarkan mereka menentukan hidupnya yang bebas, terutama dari nilai-nilai Anda sendiri.