Kamis, April 25, 2024

Menguji Salib LGBTI di Gereja Kristen

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
[ilustrasi]

GKI kepanjangan dari Gereja Kristen Indonesia, salah satu denominasi Kristen Protestan yang telah mengindonesia. Saya katakan demikian karena gereja ini awalnya tumbuh dari gereja Kristen berbasis etnis Tionghoa. Tuntutan zaman membuat segalanya berubah menemukan bentuk idealnya.

Jumat lalu (17 Juli) saya diundang memfasilitasi lokakarya keragaman gender dan seksualitas di salah satu GKI di Surabaya. Istilah “gender dan seksualitas” sebenarnya merupakan bagian dari strategi kultural untuk tidak menampilkan kata keramat LGBTI (lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks) di permukaan. Kata ini, jujur saja, merupakan diksi “haram” untuk diumbar berlebihan ke publik. Posisinya seperti kata “Voldemort” dalam serial Harry Potter yang karena ketabuannya cukup disebut “you-know-who”.

Sejujurnya, tidak ada isu seberat LGBTI dalam kancah perjuangan gerakan prodemokrasi Indonesia. Mungkin hanya isu Partai Komunis Indonesia yang bisa menandingi keangkerannya.

Saya yakini, angker-tidaknya LGBTI dalam sebuah peradaban sangat ditentukan oleh sejauhmana agama mencengkerami peradaban tersebut. Bisa saya katakan, semakin rasional sebuah peradaban (untuk tidak menyebutnya agnostik), LGBTI akan relatif mudah diterima. Apakah dengan demikian LGBTI selalu berseberangan dengan agama? Saya bisa jawab tidak selalu, tergantung apakah kita termasuk orang beragama yang malas berfikir atau tidak.

Lebih dari 30-an orang hadir dalam forum terbatas itu, tiga perempatnya adalah romo, pendeta, calon pendeta, majelis gereja, dan mahasiswa teologi. Terdapat empat orang gay, satu transman (female to male), dan sisanya adalah para aktivis Muslim. Saya tidak melihat ada kemalasan berfikir menjangkiti forum tersebut. Hampir semuanya angkat bicara menyampaikan pandangannya.

Jika boleh digambarkan sedikit, forum yang diinisiasi Persekutuan Gereja-gereja  di Indonesia (PGI) Jawa Timur tersebut, setelah mendengar usulan Jaringan Islam Antidiskriminasi, tempat saya bernaung, mengambil tempat yang sangat sakral, yakni di dalam gereja, persis di depan mimbar dengan salib besar di atasnya.

“Ibu bapak, sebelum menyampaikan refleksinya, mari kita tengok sebentar saja simbol besar di belakang saya. Sembari kita renungi satu diksi kunci, yakni penderitaan,” ujar saya sambil menunjuk salib ukuran raksasa.

Penderitaan adalah kata kunci yang disampaikan Enno, gay Kristen taat, saat menumpahkan gugatan halus ke forum tersebut. “Kami juga merasa terpanggil untuk ikut melayani di gereja, sama seperti yang lain. Namun saya merasa tidak diterima. Saya kadang berfikir, apakah benar tuhan Yesus sudah sedemikian jahatnya menyingkirkan kami?” Suaranya pelan dan terkontrol, meski saya bisa rasakan batinnya bergemuruh.

Saya kenal Enno belum lama, kira-kira setahunan. Ia aktif di gerakan pluralisme yang saya koordinasi. Mungkin ia merasa nyaman karena lingkar gerakan saya tak alergi terhadap kelompok non-heteroseksual.

Enno mengingatkan forum bahwa ia bukanlah satu-satunya yang tertindas. Masih ada ratusan orang sepertinya yang lebih memilih mengingkari jatidiri di hadapan gereja karena kuatir makin dipinggirkan.

Penderitaan yang terucap tulus di hadapan salib saat itu, saya merasa, mendorong hampir semua peserta berefleksi. Pdt. M dari denominasi terbesar Kristen di Indonesia secara jujur mengakui kelompok LGBTI di lingkungan gerejanya akan terkena dua kali hukuman: dari gereja maupun suku. “Memang berat, namun kami yang muda ini terus belajar membuka diri, walau sangat pelan,” ujarnya.

Pendeta lain yang juga hadir di forum itu bahkan mengaku tahu ada koleganya, sesama pendeta, yang punya orientasi seksual berbeda, dan majelis gereja tahu hal itu. “Ya, ndak papa. Bisa diterima dengan baik,” ujarnya.

Beberapa pendeta dari Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) juga hadir dalam forum itu. Sebagaimana diakui oleh salah satu dari mereka, denominasi Kristen terbesar di Jawa Timur ini terus berbenah agar lebih inklusif dalam menerima perbedaan identitas gender dan seksualitas.

Bagi saya, kiprah GKJW bisa dibilang cukup progresif dalam isu LGBTI. Beberapa tahun lalu mereka mengundang saya berbicara tentang isu ini di hadapan ratusan jemaat, bahkan mempanelkan saya dengan jemaatnya yang transgender di GKJW Gunungtumo, Malang Selatan.

Jika komunitas Islam di Indonesia sangat nampak bersikap represif dalam isu aib ini, maka kesadaran mendengar gugatan kelompok LGBTI–sebagaimana dipraktikkan GKJW, juga dinapaktilasi oleh GKI, salah satunya melalui forum yang saya fasilitasi.

Respons GKI dan GKJW ini sejalan dengan posisi Majelis Pengurus Harian PGI. Secara mengejutkan, aliansi sinodal terbesar di Indonesia ini mengeluarkan sikap berani terkait posisinya yang terbilang adaptif terhadap isu LGBTI pada 28 Mei 2016.

Meskipun tidak sedikit denominasi Kristen bersikap konfrontatif dengan isu LGBTI, sikap positif MPH PGI patut diapresiasi. Gerakan ini menjadi pertanda keseriusan kekristenan Indonesia mereposisi cara pandangnya.

Sungguhpun demikian, tidak mungkin hal ini datang begitu saja tanpa bantuan Roh Kudus, yang datang menjelma melalui kesungguhan upaya mereka tanpa henti membentur-benturkan teks dan realitas. Sola scriptura yang kaku dibaca ulang dengan menautkan kembali sola fide, sola gracia, dan sola caritate. Bisa dikatakan, jika keadilan dan kemanusiaan terhalang oleh teks, yang perlu diluruskan adalah cara pandang atas teks. Bukan malah sebaliknya: membiarkan teks terpenjara kaku atas nama stabilitas kekristenan.

Saya melihat, yang tampak nyata setelah usai acara adalah pemandangan akrab kelompok LGBTI bersama para peserta diskusi. Mereka bercengkrama dan meneruskan diskusi tanpa perasaan canggung.

Perjumpaan fisik dan “elektrik” seperti ini merupakan langkah mujarab menghindari terjadinya kesalahpahaman jilid kedua menyangkut posisi LGBTI di mata para agamawan. Kesalahpahaman jilid pertama pernah terjadi tepat setelah mereka gagal mempersepsi kisah Sodom dan Gomora di Alkitab yang menempatkan salib terasa menakutkan bagi kelompok LGBTI. Wallahu a’lamu.

Baca juga:

Ketika LGBT Dibenci Lebih dari Yahudi [Catatan Gender 2016]

Ada Apa dengan LGBT?

LGBT Tidak Pernah Memilih

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.