Rabu, Oktober 9, 2024

Mengenang Kemerdekaan, Mengenang Franky

Mengenang kemerdekaan adalah mengenang musisi pejuang. Dia adalah Franklin Hubert Sahilatua yang populer disapa Franky Sahilatua. Ulang tahunnya berhimpitan dengan hari kemerdekaan, tentu itu bukan pilihannya. Seperti juga manusia-manusia yang lain, ia dilahirkan atas kehendak Tuhan, kapan, di mana, dan dari rahim siapa, semua atas kehendak yang maha kuasa.

Tapi, bisa jadi, tanggal kelahiran itu sedikit banyak ikut mempengaruhi Franky menjadi musisi pejuang. Karena pada setiap merayakan hari ulang tahun, terdapat suasana heroik di lingkungannya yang tengah memperingati hari kemerdekaan, maka secara kosmologis ada unsur yang saling mempengaruhi antara ruang dan waktu di mana manusia berada dengan kondisi alam semesta.

Sayang, langkah penyuara kebenaran itu terhenti lantaran divonis menderita kanker sumsum tulang belakang pada Juni 2010 dan harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Bintaro. Karena stadiumnya sudah lanjut, mulai Agustus 2010 ia harus dirawat intensif di Singapura selama tujuh bulan.

Setelah penyakitnya mulai mereda, Februari 2011 ia pulang ke tanah air. Meskipun masih dalam kondisi lumpuh, penyanyi kelahiran Surabaya, 16 Agustus 1953, ini sudah mulai berkarya lagi dengan menciptakan lagu ”Roti dan Sirkus” dan ”Anak Tiri Republik”.

Bersama sejumlah aktivis Franky sempat berencana mau keliling Indonesia untuk bercerita dan menyanyi di depan rakyat tentang Indonesia yang merana, tentang kemiskinan dan kesenjangan sosial. Rencana mulia itu urung dilaksanakan lantaran sakitnya kambuh dan memaksanya harus dirawat di Rumah Sakit Medika Permata pada 16 April 2011.

Setelah berjuang keras tanpa keluh akhirnya pada Rabu, 20 April 2011, pukul 15.15 WIB, ia harus menyerah kalah dan menghembuskan nafas yang terakhir di hadapan keluarga dan para sahabat yang selalu setia mendampinginya.

Kita mengenal Franky bukan musisi biasa. Irama lagu-lagunya mencerminkan curahan hati seorang aktivis yang peduli dengan kepedihan alam dan lingkungan. Dentingan gitarnya merefleksikan kegundahan, dan syair-syairnya sarat dengan kritik sosial. Coba simak apa yang ia suarakan–bersama Emha Ainun Najib–dalam ”Perahu Ratak” (1995):

Tanah Pertiwi Anugerah Ilahi/Jangan Ambil Sendiri/Tanah Pertiwi Anugerah Ilahi/Jangan Makan Sendiri/Aku Heran/Aku Heran/Satu Kenyang/Seribu Kelaparan/Aku Heran/Aku Heran/Keserakahan Diagungkan.”

Pada tahun 1997, bersama Iwan Fals, Franky mengeluarkan album”Orang Pinggiran” yang mencerminkan betapa nestapanya nasib rakyat jelata di negeri yang katanya kaya raya ini. Masih bersama Iwan Fals, pada tahun 1999, ia mengeluarkan album ”Menangis” yang isinya tak jauh beda dengan ”Orang Pinggiran” ataupun ”Perahu Retak”.

Selain daya juangnya, yang menonjol dari Franky adalah kesederhanaannya. Sebagai penyanyi ia pernah berada di papan atas. Lebih dari 100 lagu telah ia ciptakan yang banyak di antaranya sangat populer dan meledak di pasaran. Dengan begitu, mestinya ia menjadi musisi yang kaya raya. Tapi nyatanya ia tetap hidup bersahaja. Ketika sudah sukses di Jakarta, untuk beberapa lama ia hanya tinggal di kontrakan yang sederhana. Ia baru pindah dan menempati rumah miliknya sendiri setelah ada tuntutan dari keluarga.

Meskipun sebagai penyanyi berada di papan atas, Franky tak pernah memasang harga, terutama saat tampil untuk menghibur di tengah-tengah rakyat. Jika di hadapan para buruh, ia biasa menghibur secara sukarela. Begitu pun pada saat tampil di kampus-kampus, di hadapan para mahasiswa. ”Biasanya saya hanya dikasih piagam, atau diajak makan dan minum kopi di warung pinggir jalan,” kata Franky suatu ketika. Padahal, pada saat yang sama, banyak di antara teman-teman seprofesinya yang memasang tarif tinggi-tinggi.

Karena kebersahajaannya itulah, Franky bisa bergaul dengan siapa saja. Ia tak pernah gengsi atau sungkan berada di tengah-tengah orang kebanyakan, tapi ia juga tetap hormat pada orang-orang yang dituakan. Ia ikut berjuang bersama para buruh agar upah minimum dinaikkan, agar nasib mereka diperhatikan oleh pemerintah. Ia juga ikut berjuang menolak Undang Undang  Anti Pornografi dan Pornoaksi yang dinilainya bisa merobek kebhinnekaan dan mengancam kreativitas para seniman.

Pada saat reformasi disuarakan, Franky ikut bergerak bersama mahasiswa dan para aktivis. Pada saat pemilu berlangsung, ia pun ikut mengusung calon pemimpin yang dinilainya jujur, punya kapasitas, dan rela berkorban untuk kepentingan rakyat. Untuk itu Franky pun merilis lagu “Saatnya Kejujuran Memimpin”.

Jauh sebelum hiruk pikut kekhawatiran banyak kalangan tentang Pancasila yang terancam oleh pemikiran dan aksi intoleran dan anti kebhinekaan, Franky menulis dan menyanyikan “Pancasila Rumah Kita”.

Pancasila rumah kita/Rumah untuk kita semua/Nilai dasar indonesia/Rumah kita selamanya

Inilah sekelumit kenangan tentang musisi pejuang, Franky Sahilatua, jika tak terhenti karena takdir, pada 16 Agustus ini, usianya genap 64 tahun. Sayang, dia terhenti di angka 57 tahun.

Baca juga:

Keluarga Kita dan Rumah yang Retak

Saya Islam, Saya Indonesia, Saya Pancasila!

Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.