Sabtu, April 27, 2024

Mari Bercinta di Hari Valentine

Rahmat Fauzi
Rahmat Fauzi
Kandidat Master Program Studi Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Aksi menolak perayaan Valentine oleh salah satu organisasi remaja Islam di Jakarta. [Sumber: www.rula.co.id]
Aksi menolak perayaan Valentine oleh salah satu organisasi remaja Islam di Jakarta. [Sumber: www.rula.co.id]
Benarkah merayakan Hari Valentine itu salah?

Peristiwa yang “mitosnya” bersumber dari kisah seorang santo itu selalu mendapat respons negatif dari sebagian masyarakat Indonesia, terutama yang beragama Islam. Memuliakan santo yang mati dengan cara hina, ikut-ikutan budaya kafir, dan konspirasi non-Muslim dalam menyesatkan umat Islam merupakan sejumlah alasan yang kerap dipropagandakan dalam penolakannya.

Alasan tersebut, menurut saya, tidak semestinya diimani begitu saja. Selain tidak memiliki dasar yang jelas, alasan yang dikemukakan terkesan mengada-ada. Sekalipun Valentine memiliki sumber dan akar sejarah yang demikian adanya (that I really doubt), dalam praktiknya dewasa ini, ia telah tercerabut dari akarnya itu. Karena pemaknaan yang dipersepsikan oleh masyarakat dalam perayaan Valentine hari ini berbeda dengan masyarakat di masa sebelumnya.

Meminjam istilah Roland Barthes, Valentine dapat kita pandang sebagai tanda (sign). Peringatan Valentine melalui kacamata kelahiran awalnya itu merupakan makna sesungguhnya (denotatif). Namun seiring berjalannya waktu, makna denotatif ini berkembang. Ia memperoleh makna baru (konotatif) akibat adanya konstruksi budaya. Meskipun demikian, tanda (Valentine) tetap melekat padanya.

Sederhananya, jika masyarakat dahulu merayakan Valentine untuk memperingati kematian santo, bukan berarti perayaan Valentine saat ini diusung dengan niat serupa. Dari survei kecil-kecilan yang saya lakukan, tidak seorang pun dari mereka yang merayakan Valentine mengaitkannya dengan polemik si santo itu. Ini berarti pemaknaan mereka terhadap Valentine telah berubah seiring konstruksi budaya yang berubah dari zaman ke zaman.

Makna konotatif Valentine yang populer di tengah masyarakat saat ini bisa bermacam-macam. Namun, yang pasti, ia tidak jauh dari cinta dan kasih sayang, yang disimbolisasi melalui pemberian bunga atau pernyataan cinta, dan sebagainya. Secara gamblang, orang-orang, terutama yang masih muda dan bergelora, ingin dipandang sebagai para pecinta yang mencinta dan dicinta saat merayakan Valentine.

Melihat konteks masa kini, dapat dikatakan bahwa kisah santo itu sudah sama sekali tidak relevan, begitu juga menyoal budaya kafir atau konspirasi non-Muslim itu. Nah, karena aspek cinta telah dikonstruksi dan telanjur populer dalam wacana Valentine saat ini, alangkah baiknya jika hal itu dioptimalkan sekalian.

Terlebih, perilaku mencintai itu baik, mulia, dan positif bagi kehidupan. Mengapa orang yang ingin menumbuhkembangkan rasa cinta harus dilarang? Bukankah justru orang yang melaranglah yang seharusnya dipertanyakan, adakah cinta di hatinya? Ataukah hanya kebencian yang bersarang di sana?

Selain itu, merayakan Valentine juga bisa dianggap penting bagi masyarakat, terlebih jika melihat fenomena yang berkembang belakangan ini. Kita telah menyaksikan bagaimana cinta dibiarkan terbenam dalam kolam keegoisan, keharmonisan digadaikan demi memuaskan birahi sesaat, pertemanan yang tadinya dipenuhi kasih sayang dilucuti dengan umpat serapah hanya karena beda pilihan politik, dan banyak lagi.

Maka, Valentine dapat menjadi momen yang tepat untuk membenahi semua hal itu. Apalagi, pilkada juga sudah masuk masa tenang (setidaknya untuk putaran pertama). Mungkin hari ini, NU dan FPI bisa berpelukan seperti teletubbies. Ahokers, Agusers, dan OK OCE fans club bisa saling bergandeng tangan. Cina dan non-Cina bisa kembali bersua dalam hangat persatuan, kalau belum bisa di meja sidang, meja lapo pun jadi!

Di samping itu, perayaan Valentine juga dapat menjadi momen untuk introspeksi diri. Rekonsiliasi hubungan tidak hanya berlaku interpersonal, namun juga intrapersonal, terutama yang terkait dengan percintaan.

Persoalan cinta seringkali dipandang sepele, padahal pembicaraan tentangnya telah menghabiskan tidak sedikit energi para pemikir bahkan sejak masa Socrates. Cinta merupakan prasyarat bagi lahirnya perdamaian, keharmonisan, bahkan peradaban itu sendiri. Eric Fromm dalam The Art of Loving menyebutkan bahwa cinta adalah seni. Ia memerlukan pengetahuan, latihan, dan praktik.

Saat ini, banyak orang yang menyebut dirinya sebagai pencinta padahal sebenarnya ia belum pantas menyandang gelar tersebut. Ia hanya mencintai berdasarkan apa yang menurutnya benar, secara pandangan subjektifnya sendiri, dalam artian tanpa pengetahuan. Akibatnya, kecintaan yang mereka anggap baik itu terlihat seperti aksi kedunguan, keegoisan, bahkan kebencian.

Banyak sudah ungkapan cinta yang kita suarakan dengan lantang, terlebih berkenaan dengan memanasnya situasi politik tanah air sejak tender DKI 1 dibuka pada akhir tahun 2016 yang lalu. Dari mulai cinta NKRI, cinta umat, cinta persaudaraan, cinta agama, hingga cinta Firza, semua digelontorkan ke ruang-ruang sosial. Namun, praktiknya jauh panggang dari api. Kita masih melihat di sana sini aksi pengerusakan, saling sikut antar kelompok, caci maki tanpa batas, bahkan dilemparkan oleh sekaligus ditujukan kepada para tokoh bangsa dan agama.

Peristiwa semacam itu sama sekali tidak mencerminkan cinta. Karena semestinya cinta mengandung unsur-unsur (merujuk Fromm) perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika mengikuti ini, yang terwujud pastilah masyarakat yang peduli akan kehidupan sosial, serta terciptanya relasi yang harmonis antar sesama tanpa memandang suku, agama, atau etnis seseorang.

Hal tersebut akan terlaksana dengan baik jika karakter cinta yang diamini masyarakat berciri aktif bukan pasif. Karena persoalan cinta sebenarnya bukan persoalan dicintai (pasif) tetapi mencintai (pasif) atau kemampuan mencintai. Pertanyaan yang seharusnya diajukan kemudian, bersediakah kita mencintai dengan ikhlas tanpa terlebih dahulu dicintai? Cinta, dengan demikian, juga bukan persoalan negosiasi atau mengikuti logika pasar.

I am loved because I love, bukan malah sebaliknya, I love because I’m loved. Jika yang pertama yang terjadi, maka birahi untuk memiliki, mendominasi, dan menguasai akan berganti menjadi semangat memberi, mencipta, dan terlibat aktif dalam kedamaian dan kesejahteraan subjek yang dicintai.

Selain itu, terkadang kita juga sering terjebak dalam objek (untuk dicintai) bukan kemampuan mencintai. Bagaimana saya mencintai orang yang berbeda iman, etnis, atau organisasi, ideologi, dan sebagainya dengan saya? Pertanyaan seperti ini sebenarnya akan memerangkap kita dalam eksklusivitas.

Mengapa tidak mencoba menanyakan sebaliknya: Mengapa saya tidak dapat mencintai, bukankah cinta itu alami dan fitrah bagi semua manusia?

Masih sangat banyak persoalan cinta yang melanda masyarakat, tetapi tidak sedikit juga teori-teori yang tersedia untuk dijadikan jawaban. Hal yang terpenting ialah memunculkan kemauan untuk mempelajari cinta sebagai sebuah seni, kemudian melatihnya dengan baik. Ungkapan menarik dari Nelson Mandela cukup apik menggambarkan cinta.

“People must learn to hate, and if they can learn to hate they can be thought to love, for love comes more naturally to the human heart than its opposite” (“Orang perlu belajar membenci, dan kalau mereka bisa belajar membenci maka mereka akan dapat belajar mencintai, karena cinta tumbuh secara alami dalam hati manusia, bukan sebaliknya”).

Karena itu, perayaan Valentine sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki cinta di tengah masyarakat yang saat ini sedang mengalami dekadensi. Cinta adalah aspek yang sangat fundamental dalam menentukan kemajuan suatu tatanan. Wacana larangan merayakan Valentine sangat tidak berdasar dan hanya menimbulkan dampak negatif; keegoisan dan kebencian.

Rayakanlah hari Valentine dengan semangat memulihkan cinta yang sudah lama ada dan akan selalu ada di dalam hati kita. Happy Valentine’s Day!

Rahmat Fauzi
Rahmat Fauzi
Kandidat Master Program Studi Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.