Musim gugur baru datang separuh, namun hawa dingin di Harbin sudah memaksa orang-orang memakai jaket tebal. Padahal, winter baru akan memuncak di bulan Februari, empat bulan lagi. Seorang teman bercerita keberadaan museum perang di Pin Fang, di pinggiran Kota Harbin, China.
“Di Harbin ada puing bangunan, dulu menjadi markas tentara Jepang dan pusat tawanan perang bagi tentara dan warga sipil China yang tertangkap,” kata teman saya tadi.
Saya kemudian menanyakan lokasi dan rute menuju lokasi museum kepada seorang petugas di apartemen. Penduduk Harbin itu menyebut tempat yang saya maksud sebagai reruntuhan perang, bukan museum. Sementara salah seorang dosen di Universitas Heilongjiang menyebut tempat itu sebagai laboratorium ilegal.
Pukul 13.00 saya tiba di tempat itu. Dari seberang jalan, di halaman gedung utama, nampak lalu lalang para pengunjung. Maklum, pada minggu pertama di bulan Oktober merupakan hari libur nasional. Bersama-sama dengan pengunjung yang datang, dengan mudah saya menemukan pintu masuk museum. Seorang petugas menunjukkan alur jalan untuk menelusuri setiap lorong di bangunan itu.
Setelah menaiki tangga, saya sampai di lorong pertama. Setiap kedatangan pengunjung disambut oleh papan nama besar di dinding, bertuliskan “Inhuman Atrocities: The Exhibits of Evidence of Crimes Committed by Unit 731 of The Japanese Imperial Army”. Ditulis dalam enam aksara (bahasa), China, Inggris, Jepang, Korea, Mongolia dan Rusia.
Seakan ingin bercerita kepada setiap yang datang, tulisan di dinding itu berkata lantang. “Inilah kekejaman yang menerjang batas-batas kemanusiaan. Dan di sinilah tersimpan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan oleh Unit 731, tentara kekaisaran Jepang waktu itu.
Iya, ternyata nama museum itu adalah Unit 731. Nama yang mengingatkan masyarakat China di Harbin dan sekitarnya pada kekejaman tentara Jepang di masa Perang Dunia ke-2.
Unit 731 menjadi pusat penelitian (laboratorium rahasia; ilegal) biologi dan kimia pada masa perang. Berdiri pada tahun 1935, unit ini berfungsi sebagai pusat senjata biologis Jepang di China dan Asia Tenggara. Di sini, uji coba keganasan satu virus penyakit atau gas beracun dilakukan kepada manusia, tidak cukup pada hewan atau benda. Gila, bukan?
Di tempat itu, para ilmuwan membedah tubuh seorang tawanan perang, mengambil organ dalamnya untuk mempelajari efek penyakit yang menyerang tubuh manusia. Pria, wanita, anak-anak, bayi, dan bahkan wanita hamil juga ikut dalam daftar uji coba penelitian gila ini.
Janin diambil dari rahim ibunya untuk diteliti. Tawanan kehilangan kaki atau sebagian isi perutnya. Biadabnya, tindakan itu dilakukan pada orang yang hidup dan dalam keadaan tersadar, tanpa penahan rasa sakit.
Ketika masih beroperasi, konon Unit 731 meliputi 6 kilometer persegi, terdiri lebih dari 150 bangunan yang kuat dan tahan bom. Karena perkembangan situasi perang, pada Agustus 1945 para kru terpaksa menghentikan aktivitas mereka dan kembali ke Jepang. Pimpinan proyek, Jenderal Ishii Shiro, memerintahkan agar temuan riset dirahasiakan. Namun juga beredar kabar, temuan ilmiah mereka sudah ditukar dengan jaminan perlindungan dari tentara sekutu.
Hari ini, Unit 731 hanya menyisakan beberapa bangunan utama. Meskipun demikian, puing bangunan, bekas peralatan penelitian dan seluruh benda di dalamnya menjadi saksi bagi aksi biadap penyebab hilangnya ratusan ribu nyawa manusia.
Memasuki ruang demi ruang di Unit 731, kita seperti ditarik ke masa lalu, antara 1935-1945. Kita bisa melihat jejak senjata biologis dan kimia yang mematikan, rongsokan masker penyaring udara, benda mirip rudal dan lainnya.
Narasi masa lalu dihadirkan dalam bentuk foto, lukisan, patung hingga video dan keterangan gambar. Semua melengkapi kisah yang ingin disampaikan pihak pengelola museum kepada pengunjung. Di antara pemandangan memilukan itu, ada seorang ibu bersama anak perempuan terkurung di ruang kaca. Kepada dua perempuan itu telah diberikan semacam virus atau gas beracun. Sementara di luar kaca, empat orang peneliti mengamati detik demi detik proses kerja virus yang mematikan.
Selain Unit 731 di Pin Fang, militer Jepang juga memiliki beberapa cabang: di Beijing (Unit 1855), Nanjing (Unit 1644), Guangzhou (Unit 8604), dan Singapura (Unit 9420) dengan total pekerja sekitar 20.000 staf. Masing-masing cabang melakukan eksperimen biologi dan kimia hasil pengembangan Unit 731. Sudah tentu pusat-pusat kegiatan itu sekaligus menjadi praktik kejahatan perang.
Di Nanjing, Jiangsu, China, misalnya, selama 6 minggu sekitar 40.000 pasukan dan warga sipil China disiksa, para wanitanya diperkosa dan kemudian dibunuh. Aksi ini dikenal dengan “Nanjing Massacre” atau “Rape of Nanjing” (1937).
Lalu, ada apa dengan Unit 731 Jepang di Harbin?
Saya melihat, pembangunan museum ini dimaksudkan sebagai pendidikan kepada masyarakat, agar mereka tidak melupakan pengorbanan para pendahulu. Masyarakat sekarang jangan sampai lupa, dulu ada orang-orang yang berjuang untuk semua kemudahan dan kemerdekaan saat ini.
Seperti halnya China, masyarakat Indonesia juga mengalami kebiadaban penjajah, tidak terkecuali oleh tentara Jepang. Dalam kenangan masyarakat Indonesia, Jepang adalah bangsa penjajah yang kejam.
Kita juga memilik kisah kelam dengan penjajahan yang menggerogoti bangsa Indonesia. Monopoli dagang dan penyerangan Portugis (1509-1595), penguasaan Spanyol (1521-1692), pendudukan Belanda (1602-1942), Prancis (1806-1811), Inggris (1811-1816), dan kedatangan tentara Jepang (1942-1945).
Selain luka yang digoreskan penjajah, kisah pedih bangsa kita juga timbul akibat pertentangan dari dalam. Aksi pemberontakan anak-anak negeri, hingga politik fitnah yang dilancarkan pihak tertentu untuk mempertahankan kekuasaan. Semua itu memakan korban nyawa yang tidak sedikit.
Sejarah mencatat, dalam perjalanan bangsa Indonesia pernah terjadi peristiwa berdarah, misalnya pemberontakan di Madiun 1948, September 1965, Tanjung Priok (1984), dan penculik Ninja (1998).
Ketika mengunjungi museum di Pin Fang, saya semakin mengerti, bangsa Indonesia tidak sendirian. Ada bangsa-bangsa lain yang juga memiliki kisah tragis. Mereka juga berusaha berdamai dengan masa lalu, menghapus dendam dan kemarahan agar hidup dengan lebih baik lagi.
Saya ingin menggarisbawahi, sebagai bangsa kita tidak usah takut melihat lembaran sejarah masa lalu, meskipun itu mendatangkan rasa pedih. Generasi hari ini harus punya nyali untuk “menelan” kepedihan peristiwa di masa lalu, supaya pahitnya membekas dan mengingatkan untuk tidak mengulanginya.
Namun, ada yang lebih penting lagi dari sekadar berani membaca sejarah kelam, yaitu memaafkan kejadian itu. Memaafkan berarti menata kesiapan untuk menjalani hari depan dengan lebih baik lagi. Memaafkan berarti memiliki keinginan menjadi orang yang lebih berkelas, ketimbang para pelaku kejahatan itu.
Mengetahui saya orang asing, beberapa pengunjung domestik bertanya, bagaimana perasaan saya ketika melihat fakta di museum Unit 731. Rupanya mereka sangat terpukul ketika mengingat peristiwa di masa lalu. Meski demikian, hari ini mereka bisa hidup dengan normal. Di Harbin, saya berteman dan menjumpai mahasiswa dari Jepang. Anak-anak muda Jepang bisa belajar dengan leluasa di China.
Saatnya membuktikan kita adalah bangsa mulia yang tidak pantas dizalimi oleh pihak mana pun. Tetapi ingat, memaafkan bukan berarti melupakan peristiwa-peristiwa itu.
Pukul 16.00 saya keluar dari gedung museum Pin Fang. Hawa dingin segera menyambut ketika tubuhku berada di depan pintu. Angin sore mengembalikan alam pikiranku yang telah berjalan jauh ke masa lalu, terseret alur cerita yang menggantung di setiap lorong Unit 731.