Tidak bisa dipungkiri, Sabda Raja dimanfaatkan oknum-oknum untuk berkonflik. Bedanya, konflik orang-orang Jogja tidak vandalis. Konflik Jogja terlihat santun dan karenanya tidak menarik untuk dikonsumsi.
Mulanya, Sabda Raja hanya konflik keluarga. Persoalan pro-kontra atas Paugeran. Namun, keluarga keraton bukan tipe orang-orang pencari popularitas. Media massa tidak perlu berlarut-larut memberitakannya.
Oknum-oknum yang berkepentingan di sekitar keraton mulai mendekat. Mencari patron masing-masing. Merapatkan barisan dengan segenap perjuangan. Namun, konflik tetap berjalan secara sopan dan santun.
Lambat laun, konflik merembes ke ranah publik yang lebih luas. Termasuk di antaranya golongan akademisi, intelektual, budayawan, dan pemerhati budaya. Sabda Raja dibedah dengan pisau-pisau analisis ilmiah, metodologis, dan rasional. Seminar di kampus-kampus diselenggarakan untuk mencari titik terang.
Media massa mulai melihat aspek-aspek permukaan. Masyarakat dari segenap lapisan mulai mereka-reka apa duduk persoalan sebenarnya. Sebagian beargumen bahwa Sabda Raja menyalahi Paugeran, sebagian lain menilainya tidak menyalahi nilai dan adat apa pun. Keraton tetap berjalan di atas rel yang semestinya.
Sejatinya, konflik pro-kontra atas Sabda Raja hampir tuntas di tangan filolog. Kitab-kitab dan serat-serat yang menjadi “sumber” Sabda Raja dicacah habis secara akademis. Perdebatan mulai mengerucut ke sekitar linguistik, filosofis, dan tidak menyentuh aspek politis keluarga ndalem.
Sayang sekali. Seiring berjalannya waktu, tradisi akademis-filologis ini “dihentikan.” Cahaya terang dari pelita intelektualisme sengaja diredupkan. Meskipun proyek studi filologis ini bisa menuntaskan perdebatan, jika dibiarkan terus berjalan, drama Sabda Raja tidak akan menarik.
Dampaknya, beberapa hoax mulai beredar. Baik kubu yang pro maupun yang kontra atas Sabda Raja tidak tahu apa yang sejatinya terjadi. Argumentasi teologis, bentrok antar ras, debat kebudayaan, menyusup untuk mengeruhkan suasana.
Buku-buku yang menggambarkan cara-cara kerja intelijen dicetak dan disebarluaskan. Tentu saja jangan berharap akan menemukannya di toko-toko buku seperti Gramedia, karena penyebarannya terbatas. Buku itu hanya memperkuat persepsi semu kelompok sendiri.
Buku berjudul Islam Jowo Bertutur, Sabdaraja: Pertarungan Kebudayaan, Khasebul, dan Kerja Misi adalah contoh kecil, ditulis oleh mereka yang mengatasnamakan diri Tim Penulis Islam Jowo, diterbitkan oleh Komunitas Islam Jowo dan Pejuang Mataram Islam.
Naifnya, Anda tidak akan menemukan nomor kontak dalam buku itu, tidak ada alamat penerbit. Bahkan ISBN: 9786021810651 juga tidak valid. Ini sama saja menyebarkan hoax atas nama negara, sebab ISBN adalah otoritas negara untuk mengeluarkannya.
Media massa tidak akan meliput bagaimana keresahan pihak Katolik dan Kasebul yang dikritik sebagai akar penyebab lahirnya Sabda Raja dalam buku itu. Orang-orang Jogja, seperti simbol blangkon mereka, terbiasa memendam kebencian dan ketidaksukaan dalam hati saja.
Tetapi, ini adalah realita. Lingkaran-lingkaran kecil dan diskusi-diskusi terbatas digelar menyambut meluncurnya buku tersebut. Banyak data dalam buku itu yang kemudian dianggap penyelewengan interpretatif. Harapan bisa memanggil penulis dan menghubungi penerbit sangat besar supaya duduk perkara bisa diatasi. Tapi, hal itu sulit dilakukan.
Pepatah mengatakan, sebaik-baik menyembunyikan bangkai, baunya akan tercium suatu saat. Konflik di manapun itu, termasuk di Jogja, adalah bangkai. Seberapa kuat pun orang Jogja menyimpan konflik mereka, sesantun apa pun mereka bertikai, pada akhirnya terungkap juga.
Tempo hari, tanggal 21 Februari, adalah akhir persidangan di Jakarta, yang membahas pro-kontra atas Sabda Raja. Seberapa kuat pun keinginan orang Jogja agar konfliknya tidak menuai publisitas dan sorotan publik, pada akhirnya, terbongkar juga. Sepandai-pandai tupai melompat, ia akan jatuh juga.
Dengan jatuhnya persoalan keluarga Keraton, kasus Sabda Raja, ke tangan pengadilan di Jakarta, maka nilai-nilai kekeluargaan telah mati. Tangan keras hukum positif tidak lagi mengenal musyawarah dan prinsip kekeluargaan. Hukum positif hanya tahu hitam dan putih, benar dan salah.
Apabila pengadilan kelak mengeluarkan keputusannya, siapa pun pemenangnya, baik yang pro maupun yang kontra atas Sabda Raja, maka yang kalah hanya ada satu: yaitu keluhuran Jogja. Keraton Jogja sudah tidak mampu lagi mengatasi persoalan internalnya sendiri.
Santun Harga Mati
Walaupun sudah sedemikian parahnya konflik itu, apakah Jogja akan mirip seperti Jakarta? Tidak! Padahal, kasus penistaan agama di Jakarta tidak ada apa-apanya dibandingkan kasus Sabda Raja di Jogja.
Jika Jakarta heboh hanya dengan kasus penistaan agama oleh Ahok yang Tionghoa, kasus Jogja jauh lebih berat. “Garis Besar Haluan Negara (baca: Keraton)” Ngayogyakarto Hadiningrat yang Islam akan diruntuhkan. Sebentar lagi, Kerajaan Islam tidak akan ada lagi di Indonesia.
Siapa dalang di balik Sabda Raja? Bagi sebagian orang, mereka adalah orang-orang Cina, yang kebetulan Katolik. Lagi-lagi orang Cina dan Katolik; cermin dari konflik ras dan agama. Tapi, apakah Jogja kelak akan seheboh Jakarta? Tentu tidak akan pernah.
Drs. Manu Jayaatmaja Widyaseputra, sesepuh filolog Universitas Gadjah Mada, mengatakan, kita itu orang Nusantara. Penting bagi kita untuk menjaga persatuan, yang benar katakan benar, yang salah katakan salah. Jangan terjebak pada peradaban primitif, budaya lisan, yang mudah terprovokasi hoax, tanpa perenungan mendalam.
Mudah marah dalam berkonflik adalah gambaran intelektualitas yang tidak sehat. Berkonflik boleh-boleh saja. Tetapi, tindakan vandalis, penuh hoax, bukan cermin pribadi orang Nusantara. Berkonflik harus santun. Berkepala dingin. Itulah konflik yang mencerdaskan.