Bisa dipastikan tidak ada satu pun umat manusia yang berkeinginan atau berencana menjadi bagian dari kelompok liyan (the others) seperti LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Tetapi, ketika perubahan orientasi seksual itu terjadi seketika atau lambat-laun, maka kemungkinan untuk menolak “takdir” ini tampaknya bukan hal yang mudah (LGBT Tidak Pernah Memilih)
Meski reaksi menolak kehadiran LGBT sudah merebak di berbagai tempat, kita tidak dapat menutup mata bahwa keberadaan LGBT tetap tak tercegah, dan bahkan ada indikasi makin marak.
Secara kuantitatif, jumlah warga masyarakat yang makin berani membuka diri sebagai bagian dari kelompok LGBT makin banyak–entah karena pengaruh berita-berita media massa atau dukungan komunitas atau kelompoknya. Untuk mencegah agar paham LGBT tidak menular dan sekaligus memastikan agar lingkungan kampus tidak terkontaminasi kehadiran LGBT yang dianggap menyimpang, maka sebuah keputusan belum lama ini dikeluarkan Rektor Universitas Andalas Tafdil Husni.
Walaupun muncul desakan dari LBH agar pihak universitas mencabut ketentuan yang dikeluarkan, Rektor Universitas Andalas menegaskan tidak akan mencabut persyaratan yang mengharuskan calon mahasiswa yang lulus seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) 2017 bebas dari kelompok LGBT. Calon mahasiswa baru Universitas Andalas tetap harus membuat pernyataan bebas atau bukan LGBT.
Tidak ada yang keliru jika seorang Rektor sebagai pejabat universitas ingin menjaga agar kampus yang dipimpinnya bebas dari LGBT dan narkoba. Sikap Rektor Univeritas Andalas ini juga didukung Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno yang menyatakan bahwa persyaratan yang diberlakukan Rektor Unand adalah hak pihak universitas, dan dalam pandangan Gubernur Irwan, LGBT juga bertentangan dengan norma budaya masyarakat Minangkabau.
Reaksi pro dan kontra terhadap kehadiran LGBT ini sebetulnya bukan hal baru. Sejak kehadiran kelompok LGBT makin eksplisit di sejumlah daerah, maka sejak itu pula muncul reaksi yang berbeda di berbagai kelompok masyarakat. Bagi kalangan yang mengacu pada keyakinan dan pemikiran dogmatis-keagamaan, umumnya memang menolak kehadiran LGBT yang dianggap warisan dosa masa lalu seperti cerita zaman Sodom dan Gomorah.
Sementara itu, bagi sebagian pihak yang melihat dari kacamata hak asasi manusia dan hukum, umumnya memahami pesoalan LGBT tidak bisa direduksi sebagai hal yang berada di ranah oposisi biner: benar atau salah, mulia atau berdosa. LGBT, dalam pandangan kelompok ini, bisanya dipahami dan dianggap sebagai realitas yang tidak mungkin ditolak keberadaan dan kehadirannya.
Saya sendiri tidak dalam posisi memilih pada kubu mana menyikapi kehadiran LGBT. Menurut saya, ada dua pertanyaan substansial yang perlu dikaji terlebih dahulu sebelum kita memutuskan bakal menyikapi di kubu manakah terhadap keberadaan LGBT. (Mengapa LGBT Begitu Dibenci?)
Pertama, apakah kita menempatkan LGBT sebagai pihak yang dijadikan terdakwa dan karenanya perlu diberi sanksi atau pembatasan, ataukah mereka kita tempatkan sebagai korban dari kondisi dan situasi lingkungan di sekitarnya?
Ketika kita menempatkan LGBT sebagai terdakwa yang patut disalah-salahkan, jelas apa pun reaksi yang kita kembangkan, ujung-ujungnya pasti akan mengancamkan sanksi dan regulasi yang membatasi ruang gerak mereka. Dalam banyak kasus, ketika LGBT dinilai sebagai perilaku yang menyimpang, dan hal itu terjadi karena ulah atau kesalahan si terdakwa, yang terjadi biasanya adalah sikap mengucilkan, bahkan memusuhi orang-orang yang dinilai telah keluar dari jalur agama dan moral itu.
Di tingkat yang ekstrem, tidak sedikit pihak yang memperlakukan LGBT sebagai barang najis, dan karena itu harus dienyahkan dari muka bumi. Sementara itu, jika LGBT dipandang sebagai korban yang harus dibelas kasihani, maka seluruh upaya yang dikembangkan niscaya akan bertujuan menolong dan membantu mereka agar dapat keluar dari berbagai permasalahan yang dihadapi.
Kedua, apakah kita sekadar menyikapi kehadiran LGBT dengan cara pandang yang bersimpati ataukah empati, sehingga akan timbul kesepahaman dan pengertian yang benar-benar mendalam kepada mereka? Jika kita hanya sekadar bersimpati, maka sikap kita tentu hanya sebatas berbelas kasihan, tetapi kemudian bersyukur karena kita bukan bagian dari kelompok yang dinilai menyimpang itu.
Sedangkan kalau kita benar-benar berempati, niscaya yang berkembang adalah perasaan senasib-sepenanggungan, sebuah perasaan yang membayangkan bahwa orang-orang yang disebut bagian dari LGBT itu tak berbeda dengan anak kita sendiri, sehingga pasti akan muncul semangat untuk memahami dan menolong korban.
Di era masyarakat postmodern, ketika hal-hal yang partikularistik diterima sebagai bagian dari realitas dan keberagaman merupakan sebuah kenicayaan, menyikapi kehadiran LGBT dengan sikap yang arif dan bijaksana jelas sangat dibutuhkan. Artinya, LGBT bukanlah realitas sosial yang dengan mudah kita singkirkan dan kita nafikan begitu saja seperti semudah orang membalik telapak tangan.
Memperlakukan LGBT layaknya virus atau penyakit yang berbahaya dan menular, jelas tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan sebaliknya hanya akan melahirkan resistensi dan pergerakan teselubung yang sulit dideteksi. Hingga saat ini harus diakui masih belum ada kesepakatan tentang formula apa yang paling tepat dalam menyikapi kehadiran LGBT.
Tindakan meregulasi atau membatasi hak-hak LGBT untuk melanjutkan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi, jelas merupakan tindakan sekadar untuk menghindari masalah, atau sebuah upaya untuk mengalihkan persoalan ke ranah lain di luar ranah mereka.
Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika seluruh kampus di tanah air ini menempuh kebijakan seperti yang dilakukan Rektor Universitas Andalas. Sebuah kampus yang di dalamnya dipenuhi insan cendekia yang bijaksana, tentu akan lebih baik jika merasa tertantang untuk ikut menangani permasalahan LGBT, daripada bersikap kaku yang tidak pada tempatnya.
Baca juga: