Sabtu, April 20, 2024

Kita pun Mulai “Menyembah” Media Sosial

Freddy Nababan
Freddy Nababan
Pegiat literasi di Toba Writers Forum (TWF), dan mahasiswa Pascasarjana Nommensen, Medan.

[ilustrasi: republika]
Pernahkah Anda berpikir bahwa dunia, manusia, dan segala aspek yang terkandung di dalamnya akan “dikendalikan” secara digital oleh mesin? Bahkan termasuk sisi spiritualitas Anda?

Melihat begitu banyak fakta yang terhampar di hadapan kita, saya membaca peluang itu ada dan cukup terbuka lebar untuk terwujud manakala kita tidak mawas diri.

Dunia memang telah berada dalam pusaran digitalisasi. Ada yang menyebut dunia sekarang telah berada dalam fase Industri 4.0, era di mana semuanya serba terkoneksi secara otomatis dan digital, minim campur tangan manusia.

Selain itu, aplikasi Internet of thing (Iot) pada era ini juga sangat tinggi. Konsekuensinya, keadaan ini pun turut mengubah cara hidup, pola pikir, dan kebiasaan masyarakat dunia. Digitalisasi pun telah membuat hidup menjadi lebih mudah dalam segala hal.

Namun, ada banyak pemandangan yang aneh dalam konstruksi sosial masyarakat kita sebagai dampak dari kemudahan-kemudahan digital tersebut. Contoh sederhananya adalah terkait etika berpapasan.

Dulu, hal yang jamak bagi kita untuk saling bertegur sapa manakala kita berpapasan dengan orang lain. Jika pun tidak bertegur sapa, minimal kita saling lempar senyum menandakan kemanusiawian kita.

Namun, hal tersebut telah berubah. Kini sudah sangat jarang manusia saling bertegur sapa dengan sesamanya. Sebaliknya, sembari menunduk dan memenceti layar telepon pintarnya, manusia lebih suka bertegur sapa dengan mesin, terkhusus gawai dan fitur-fiturnya. Kehangatan komunikasi tatap muka pun sirna.

Betapa tidak. Papasan yang sejatinya melibatkan pertemuan tatap muka dua orang atau lebih sudah tereduksi maknanya. Satu melihat, yang lain menunduk. Bahkan, yang lebih ekstrem, dua-duanya saling tak melihat dan sama-sama menunduk pula sembari berjalan!

Inilah yang dinamakan disrupsi sosial dan spiritual zaman digital: generasi menunduk! Virus menunduk ini bahkan sudah menjalar ke segala lapisan masyarakat: tua-muda, lelaki-wanita, pelajar-pekerja, dan anak-anak-dewasa.

Dalam ritualnya sesekali mereka tersenyum dan tertawa. Di lain waktu mereka akan terlihat sedih, berkerut keningnya, dan berteriak marah ataupun memaki. Semua ini bersumber dari berita yang terpapar di media sosial dan aplikasi-aplikasi dalam telepon di genggaman mereka. Dan, kegandrungan serta keberhambaan manusia abad milenium ini terhadap gawai, beserta peranti-peranti lunak semacam media sosial  dan aplikasi lainnya yang built in dan instalan tersebut ditengarai bahkan sudah menjadi semacam sumber dan referensi spiritual kehidupan mereka sehari-hari.

Menjadi sumber dan referensi spiritual mengakibatkan kaum menunduk digital ini lebih mempercayai media sosial dan isi yang berseliweran di dalamnya ketimbang mencari data atau informasi pembanding lainnya, terutama dari buku, manakala mereka diperhadapkan dengan konten-konten ganjil ataupun yang berkaitan dengan SARA. Ada semacam pengkultusan terhadap media sosial.

Karena itu, media sosial sudah menjadi “kitab suci” sekaligus agama digital bagi manusia. Manusia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mesin-mesin digital tersebut ketimbang membaca buku-buku yang positif dan bermanfaat, apalagi konon membaca kitab sucinya.

Faktor kemudahan mendapatkan telepon pintar dan makin baiknya infrastruktur teknologi informasi di Indonesia berkontribusi langsung pada menaiknya pengguna internet sebagaimana dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), yang menyebutkan bahwa terdapat sekitar 132,7 juta orang Indonesia yang terkoneksi ke internet pada tahun 2016 (Kompas.com).

Dan terkait dengan penggunaan internet tersebut, dalam riset sederhana yang saya lakukan terhadap para tetangga, teman, dan rekan kerja untuk mencari tahu lebih lama mana antara membaca media sosial atau buku, saya mendapati fakta yang, meminjam istilah Syahrini, cukup “cetar membahana”. Faktanya adalah rata-rata durasi berinternet mereka adalah 2-3 jam/hari. Sedangkan membaca, apalagi kitab suci, nyaris tidak pernah.

Dan yang lebih memprihatinkan adalah masifnya pengguna internet tersebut belum diimbangi dengan literasi data dan informasi yang mumpuni dari para netizen kita. Inilah jalan mengapa ujaran kebencian, fitnah, dan berita palsu (hoax) tumbuh subur bak jamur di musim hujan memasuki relung-relung kehidupan pribadi manusia.

Hal ini mirip dengan apa yang telah dinubuatkan oleh Ray Kurzweil dalam bukunya yang bertajuk The Age of Spiritual Machines (1999). Ia memprediksi bahwa pada seputaran tahun 2020 mesin akan mengambil alih manusia. Diriwayatkan, pada masa ini perbedaan antara mesin dan manusia akan kabur dan perbedaan antara kemanusiaan dan teknologi akan memudar.

Lihatlah apa yang dihasilkan oleh Saracen dan kelompok sejenis lainnya. Cermatilah ujaran kebencian dan berita-berita hoax yang bersebaran di lini masa warga seantero Indonesia. Tak ada lagi kemanusiaan, tak jelas lagi mana yang “benar” dan “palsu”. Semuanya menjadi para pihak yang paling benar hanya karena mesin.

Pada titik inilah spiritualisasi mesin, baik disengaja maupun tidak, telah mengambil tempat dalam seluruh kehidupan para pemesan, pembuat, pengguna, dan pengonsumsi berita palsu yang sedikit banyak ikut mengacaukan keberadaban kehidupan manusia dan kemanusiaannya.
Internet, gawai, dan media sosial adalah tiga serangkai pengubah keyakinan dan kepercayaan tradisional umat manusia.

Jika dianalogikan, internet itu ibarat “Sang Pencipta”, gawai adalah para nabi dan rasul, media sosial adalah agam sekaligusa kitab sucinya. Jemaahnya adalah para penikmat media sosial, baik yang nirnalar dan lemah tingkat berpikir kritisnya maupun sebaliknya.

Jika manusia tidak menaikkan kemampuan berpikir kritisnya dan menurunkan tingkat berpikir bodohnya dengan cara membaca dan membaca serta mencari data pembanding, maka sebenarnya manusia sudah berada di ambang kepunahan literasi tradisionalnya berganti menjadi kegamangan literasi internet.

Dan kegamangan ini adalah salah satu pemicu muncul dan berkembangnya spiritualisasi mesin. Semuanya hanya berdasar dan bersumber dari mesin.

Benarkah abad ini adalah abad spiritualisasi mesin? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Kolom terkait:

Resep Beragama di Era Hoax 

Ideologi Fulus di Balik SARA Center

Memutus Siklus Hoax

Freddy Nababan
Freddy Nababan
Pegiat literasi di Toba Writers Forum (TWF), dan mahasiswa Pascasarjana Nommensen, Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.