Jika Marquis de Sade harus ditahan berpuluh-puluh tahun di penjara dan rumah sakit jiwa sebagai pesakitan karena karya-karyanya yang dianggap tidak bermoral, seperti yang terjadi juga pada Voltaire, Oscar Wilde, Henry Miller, penulis, dan seniman lainnya, maka kejadian-kejadian seperti itu ternyata terulang kembali. Dengan media baru yang jauh sukar untuk kita pahami.
Beberapa waktu lalu, netizen sempat dihebohkan dengan sebuah komik yang dibuat oleh seorang komikus asal Yogyakarta, Kharisma Jati, yang dinilai sebagian besar netizen sebagai komik asusila. Ini bukan pertama kali komik-komik Kharisma Jati menjadi bahan pembicaraan di linimasa, seperti komik strip GYMBJ (God You Must Be Joking).
Tidak semua dapat menikmati komik Kharisma Jati. Beberapa mungkin akan menganggap Kharisma Jati sebagai seorang komedian yang mampu mengemas komedi dengan cerdas. Lainnya mungkin akan mengatakan, itu merupakan sick comedy, yang tidak akan pernah menjadi lucu, tepatnya itu tak hanya menyakitkan, tetapi menyedihkan.
Banyak komikus, komedian, seniman telah membawa humor kontroversial ke permukaan, sebagian mengatakan mereka cerdas, sebagian mencekal. Sialnya, sepanjang umur GYMBJ, Kharisma Jati telah membuat karirnya di ambang kehancuran dengan sebuah komik yang dianggap menyerang personal seorang komikus lainnya, seorang komikus wanita dengan tema nilai-nilai kehangatan keluarga dan melibatkan karakter anaknya sendiri di dalam komiknya.
Dalam komik Kharisma Jati, seorang wanita beserta anaknya (yang dianggap merujuk kepada langsung kepada si komikus) yang melakukan masturbasi dan coprophilia (aktivitas seksual yang mendapatkan kesenangan dari kotoran) dengan anaknya yang diakhiri sebuah celetukan “wanita amoral”.
Tidak berlangsung lama, Kharisma Jati mendapatkan berbagai kecaman dari netizen yang awam hingga komikus-komikus senior Indonesia.
Tidak perlu Anda kebingungan untuk mencari siapa saja dan apa saja bentuk kecamannya, Anda dapat melihat beberapa sumber media yang telah menayangkannya. Kabar terbarunya, beberapa komikus yang sempat mengeluarkan pernyataan terhadap komik Kharisma Jati menarik ulang kembali dengan alasan kedua pihak yang bersangkutan telah memutuskan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut antar-personal, tanpa ada pihak ketiga.
Tetapi, sebelum kita semua, sebagai netizen mengutuk-ngutuk Kharisma Jati hingga menyuruhnya untuk berhenti berkarya, ada baiknya kita melihat dari konteks lainnya.
Komedi Sakit Kharisma Jati bersama Sakitnya Netizen Hari Ini
Jika Anda menyempatkan untuk melihat internet hari ini, Anda akan mendapatkan berbagai macam akun-akun anonim gabungan di berbagai media sosial yang menyerang personal seseorang. Selama ini, tidak ada yang begitu menjadi permasalahan atau begitu dipersoalkan hingga jalur hukum atas permintaan publik, selain persoalan politik, oleh akun Twitter @TrioMacan2000 beberapa waktu lalu.
Di dalam internet, semua orang dapat menjadi apa saja dan dapat melakukan apa saja, ya, akan berbeda ceritanya jika Anda mecoba menganggu “orang penting”. Skenario terburuk yang terjadi adalah: Anda akan mendapatkan kecaman di internet oleh netizen (tapi untuk akun anonim, tentu saja tidak akan menjadi masalah besar bagi Anda, karena citra yang di internet bukanlah Anda, Anda hadir dengan topeng); akun media sosial Anda di-hack; identitas nyata Anda di dunia nyata terbongkar; dan paling sial, Anda digiring menuju penjara sebagai pesakitan.
Tidak peduli betapa marahnya Anda terhadap netizen, betapa sakitnya hati Anda, Anda tidak pernah akan meraih mereka.
Bagi mereka, Anda hanyalah sebuah lelucon. Anda dijadikan bahan komedi, tetapi untuk sebagain besar netizen, memang ada seorang yang layak untuk dijatuhkan harga dirinya. Secara keroyokan.
Seorang kawan saya, Themmy, pernah menuliskan sesuatu, “Menghakimi kesalahan seseorang bukanlah hal yang sulit, apalagi jika dilakukan keroyokan. Saya, kamu, kita, hanya perlu satu kesalahan untuk menghancurkan karakter seseorang. Setelah itu, tinggal seret pelaku ke sebuah kursi lalu cerca dengan berbagai tuduhan yang akan sulit dibantah. Serasional apa pun pembelaan tertuduh, dia akan selalu salah. Selalu dibantah. Ingat, kita jamak, tertuduh tunggal, dan suara terbanyak adalah yang paling benar.”
Di internet, Anda tidak akan seperti berada di ring tinju, di mana di ring hanya ada Anda dan lawan Anda. Pendukung Anda dan pendukung lawan Anda, atau mungkin bandar, yang bertaruh, atau hanya menyaksikan sekilas akan bersama-sama dengan Anda dan lawan Anda di dalam ring. Jika pertarungan itu disiarkan, maka terpampang besar di layar Anda dengan tagar Kebebasan Berekspresi.
Apakah Kamu Tertawa?
Kita menikmati, entah mengakuinya atau tidak, sesuatu hal yang berhubungan mengenai seks. Seks tidak selalu video porno, bisa jadi kita menikmatinya, entah dari bentuk literatur erotis sekelas Marquis de Sade atau Henry Miller, media visual film-film garapan Jodorowsky, Shohei Imamura, Takashi Miike, Park Chan-wook, ataupun Tarantino, hingga video-video porno singkat dari situs-situs porno hingga media sosial (yang cukup membuat saya terkejut, sialnya saya kurang begitu update perkembangan media sosial hari ini).
Kita diam-diam melihatnya, menontonnya, menikmatinya, dan yang paling aneh adalah ketika kita juga sama-sama mengutuk siapa yang menyebarkan tentang itu. Gaya komik Kharisma Jati menunjukan black comedy/dark comedy, komedi gelap yang mengangkat isu-isu yang serius sekaligus tabu dari moralitas masyarakat. Ini bisa berarti membuat suatu tragedi, sadisme menjadi bahan tertawaan, termasuk mengenai humor seksualitas di dalamnya.
Penulis Prancis sekaligus Bapak Surealisme, Andre Breton, menyebut-nyebut komedi gelap sebagai komedi sindiran, sinisme dan sikap skeptis yang menimbullan tawa, umumnya mengandalkan topik seperti kematian. Komedi gelap bertujuan untuk mengeksplorasi ke permukaan dari isu-isu yang dianggap tabu dan tak boleh diperbincangkan tersebut. Misal saja, humor rasis yang dibuat untuk mengangkat isu rasis itu sendiri.
Dalam film Monty Python’s Life of Brian, di mana Brian dan pesakitan lainnya yang hendak dieksekusi menyanyikan “Always Look on the Bright Side of Life”, menunjukkan tragedi yang kemudian dapat ditertawakan. Selanjutnya kita disuguhkan film-film komedi gelap—yang kemudian banyak dari kita menganggapnya cerdas—oleh para filmmaker legendaris yang saya sebutkan di atas.
Di media sosial, seperti halaman Facebook, kita dihadirkan komedi gelap nihilis dari Nihilist Meme dan beberapa akun anonim Twitter. Lainnya Anda akan menemukan versi paling banalnya dari akun-akun anonim Twitter atau komikus di Instagram.
Jika kita mengalami pembaharuan media sosial, Anda akan menemukan begitu banyak komikus-komikus Indonesia di Instagram yang membawakan humor seks. Tak jarang kita menemukan komik paling banalnya yang hanya menyindir anak-anak remaja, beberapa di antaranya membuat karakter komik dari seseorang di dunia nyata.
Tidak ada yang ingin mengajukan keberatan apa pun untuk itu, karena umumnya dari kita merasa bahwa remaja-remaja itu pantas untuk disindir, ditertawakan, dan dipermalukan. Tak peduli apakah remaja itu seorang perempuan, masih memiliki keluarga, yang jelas, asal tidak melibatkan wanita dewasa beserta anaknya dalam penggunaan bahan komedi.
Sebelum Anda menduga saya berada di pihak Kharisma Jati, saya ingin menanyakan mengenai penyampaian komedi itu sendiri, apakah ia sungguh-sungguh membawakan komedi gelap dengan tujuan menghancurkan nilai-nilai (dalam konteks komiknya yang bermasalah adalah nilai-nilai moralitas dalam lembaga keluarga) yang ada atau hanya dendam personal? Tidak pernah ada pernyataan dan sikap Kharisma Jati mengenai alasannya hingga kemudian ia menyampaikan permohonan maaf secara terbuka melalui akun pribadi media sosialnya.
Sigmund Freud dalam esainya berjudul Humour mengatakan mengenai tradisi gallows humor (humor tiang gantungan) yang sekarang menjadi akar komedi gelap: “Ego menolak untuk tertekan oleh provokasi realitas yang ada untuk membiarkannya menderita. Ego bersikeras bahwa itu tidak dapat dipengaruhi oleh dunia eksternal; menunjukkan bahwa hal-hal traumatis tidak lebih dari kesempatan untuk memperoleh kesenangan.”
Beberapa ahli sosial seperti sosiolog Paul Lewis mengatakan, penyampaian bahwa aspek gallows jokes tergantung dari konteks lelucon itu sendiri: apakah lelucon itu disampaikan oleh orang yang merasa terancam [korban itu sendiri] atau orang lain. Misal saja, komedi rasial mengenai stereotipe orang kulit hitam akan berbeda jika itu disampaikan oleh seorang kulit putih daripada seorang kulit hitam itu sendiri.
Dipenjara, Menjadi Pesakitan Tak Cukup, Kawan
Marquis de Sade ditahan di beberapa penjara dan rumah sakit jiwa selama 29 tahun hidupnya, ia menentang kode etik, agama, dan segala moralitas masyarakat saat itu. Ia tidak melakukan kejahatan. Oscar Wilde ditahan karena homoseksualitasnya—yang mana pada saat itu adalah sebuah pelanggaran hukum kepada seorang homoseksual—dan tidak berhenti untuk menulis. Henry Miller buku-bukunya dilarang.
Di luar konteks pembuatan karya yang dianggap vulgar dan tak bermoral itu, ada banyak penulis (seperti Pramoedya) dan seniman besar yang dilarang dan bahkan dibui karena karya-karyanya, tak menghentikan mereka berkarya. Mantan pemimpin redaksi majalah Playboy Indonesia Erwin Arnada harus dijatuhkan hukuman dua tahun penjara karena dianggap melanggar Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi.
Sekali lagi, saya tak akan mengatakan sesederhana benar atau salah dalam kasus Kharisma Jati berserta komik “sakit”-nya, bukan pula pasal apa saja yang dapat menjeratnya. Jika beberapa kolumnis mengatakan masalah sistem demokrasi di negara ini, bung, ini bukan persoalan apa-yang-gagal-dalam-demokrasi. Di luar konteks komik Kharisma Jati, demokrasi pun sudah alpa berkali-kali dan gagal.
Di tulisan ini tidak pula menawarkan pesan moral atau keberpihakan, tetapi menanyakan kembali konteks atau tujuan lelucon yang disampaikan. Apakah Anda benar-benar yakin menghancurkan nilai-nilai tersebut? Jika tidak, maka hadapi reaksi publik tanpa perlu mempermanis dan melakukan justifikasi yang penuh kesia-siaan atas tindakan tersebut.