Rabu, April 24, 2024

Joshua dan Satire Mayoritarianisme yang Disalahpahami

Mohammad Pandu
Mohammad Pandu
Esais; sedang aktif di Komunitas Santri Gus Dur, Yogyakarta

Nampaknya, rezim infrastruktur ala Presiden Joko Widodo telah meluputkan satu hal penting, yaitu pembangunan rumah tahanan (rutan) secara masif. Kenapa perlu? Karena, selain jumlah koruptor yang tak kunjung turun secara signifikan, kini ditambah lagi sedang musim orang dipenjara hanya karena dianggap “menista” agama.

Ya, pasal karet penodaan agama adalah penyebabnya. Terakhir, Joshua Suherman yang terkena jepretannya. Mantan artis cilik era 2000-an itu kini sedang menjalani proses atas kasus dugaan penghinaan agama berdasarkan laporan Rahmat Himran, Ketua Forum Umat Islam Bersatu (FUIB). Menghadapi itu, Joshua bersama pengacaranya sudah siap untuk mempertahankan kebenaran yang ia yakini, bahwa dirinya sama sekali tidak menghina agama.

Sebenarnya kita bisa memberi penilaian sendiri atas kasus tersebut. Coba lihat video berjudul “ROASTING Cherly ex Cherrybelle by Joshua Suherman (1-3)” di Youtube. Bermula dari video stand up comedy yang dibawakan Joshua untuk “membercandai” Cherly (mantan Cherrybelle) itulah polemik ini muncul. Lebih tepatnya, saat Joshua berkata,

“Terbukti, jaman dulu semua mata laki-laki tertujunya pada Annisa.. Annisa.. Annisa. Ya kan? Semuanya Annisa. Padahal skill nyanyi, yah tipis-tipis ya kan? Skill nge-dance tipis-tipis. Cantik relatif, ya kan? Gue mikir, kenapa Annisa lebih unggul dari Cherly? Ah sekarang gue ketemu jawabannya. Makanya Ce, Islam!” Ungkapan Joshua ini langsung disambut tawa riuh penonton yang datang.

Setelah tawa penonton surut, Joshua melanjutkan, “Karena, di Indonesia ini ada satu hal yang tidak dapat dikalahkan dengan bakat sebesar apapun: Mayoritas!”

Untuk memberi sebuah penilaian, tentunya kita harus melihat konteks, keutuhan kalimat, dan terlebih lagi objektivitas. Artinya, kita harus melihat secara utuh dalam konteks apa guyonan satire itu dibawakan, memahami kalimat Joshua yang disampaikannya dari awal sampai akhir, dan menepis segala tendensi politis maupun keagamaan yang melekat pada diri kita.

Terjepretnya Joshua oleh pasal karet penghinaan, penodaan, penistaan, pensabotasean agama atau apalah itu, saya kira masih dalam koridor tidak terpenuhinya salah satu faktor (atau bahkan semua) dalam sebuah penilaian. Si pelapor menilai guyonan Joshua dengan sentimen keagamaan yang dibawanya. Ingat, yang perlu digarisbawahi adalah sentimennya, bukan keagamaannya. Sebab, agama selalu baik bagi siapa pun, baik pemeluk maupun orang-orang di sekitarnya, dan sentimen membalik itu semua.

Sentimen beragama harus bisa dibedakan dengan beragama secara fundamental. Benar bahwasanya jika semua orang harus fundamental dalam beragama, karena ini menyangkut persoalan keimanan. Tapi, fundamental tidak bisa diartikan secara serampangan sebagai pemberangusan daya kritis dan berpikir objektif. Dua hal ini harus selalu seiring-sejalan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tanpa itu, kita hanyalah akan dipandang sebagai pribadi yang mudah tersinggung dan gampang marah.

Satu hal yang saya tangkap dari ungkapan Joshua: dia hanyalah mencoba memotret realitas yang ada di hadapannya. Bahwa mayoritarianisme adalah sebuah problematika tersendiri yang kehadirannya tidak bisa dihindari di Indonesia, juga di dunia. Dan secara kebetulan, Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Jadi, secara satire sebenarnya Joshua sedang menertawakan superioritas mayoritas, bukan Islam itu sendiri.

Rocky Gerung, dosen Departemen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, dalam kuliah umumnya pernah mengkritisi betapa bahayanya mayoritarianisme, terutama di Indonesia. Ia memotret problem kelompok mayoritas saat ini adalah mereka menjadi merasa paling saleh, merasa menjadi kelompok yang paling surplus ayat.

Apakah ini salah? Salah ketika mayoritarianisme yang hampir selalu disinonimkan dengan agama ini dijadikan justifikasi kekuasaan. Bahwa mayoritas tidak menentukan hirarki kewarganegaraan. Kewarganegaraan hanya dihitung dari satu ayat, yaitu ayat konstitusi, bukan ayat-ayat suci. Kita hidup dalam sebuah negara hukum. Undang-Undang Dasar kita mengatakan bahwa negara didasarkan pada kedaulatan rakyat, bukan yang lain. Sedang kedaulatan rakyat sendiri tidaklah identik dengan mayoritarianisme, sehingga kedaulatan rakyat tidak bisa dirumuskan secara statistik ataupun jumlah.

Tapi, apa yang kita lihat sekarang adalah persoalan agama ini makin lama dijadikan parameter kewarganegaraan. Padahal agama dalam konstitusi adalah hak warga negara. Agama sebatas sebagai catatan administrasi negara. Negara hanya boleh mencatat agama sebagai statistik kependudukan, tanpa diperbolehkan membela dan mempertahankan isi doktrin dari sebuah agama tertentu. Kalau institusi negara dihegemoni oleh kekuatan yang non-negara, maka ada problem dengan republik ini. Ya, ada problem dengan akal sehat kita.

Saya pribadi tidak membela Joshua dalam hal bercandaan ini. Saya hanya sebatas mengajak untuk berpikir lebih utuh lagi dalam menilai sesuatu. Pada dasarnya apa yang saya bela adalah akal sehat itu sendiri. Joshua tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah. Secara empirik, dia benar atas apa yang disampaikannya terkait realitas mayoritarianisme yang terjadi di Indonesia. Apa yang disampaikan Joshua adalah data faktual, riil, sistematis, dan sesuai fakta yang ada.

Di sisi lain, Joshua juga tidak bisa dibenarkan secara etik. Kesalahan Joshua adalah bahwa dia mengabaikan standar etik dalam lingkungan di mana dia tinggal. Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang belum dingin karena politik, yang kemudian menjadikan sentimen keagamaan meningkat tajam, seharusnya dia tidak perlu mengambil risiko. Apa yang dilakukan Joshua sama dengan apa yang sering disebut Soekarno sebagai Vivere pericoloso: menyerempet bahaya. Dan akhirnya, memang itulah yang kini terjadi.

Protes si pelapor atas ketidaksepahamannya dengan Joshua adalah sebuah kelaziman dalam demokrasi kita. F. Budi Hardiman, dalam bukunya Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida (2015), mengungkapkan bahwa demokrasi kontemporer mendorong proses pembiasaan tidak hanya dengan berbagai pemahaman, melainkan juga dengan kesalahpahaman dan ketidaksepahaman. Sedangkan apa yang dialami si pelapor adalah kesalahpahaman atas ungkapan Joshua dan merembet menjadi ketidaksepahaman untuk memprotesnya. Di situlah kuncinya.

Sekali lagi, melakukan protes tidaklah masalah. Yang menjadi permasalahan adalah bahwa protes tersebut merupakan hasil dari penilaian tendensius, emosional, tidak objektif, dan penuh sentimen. Padahal, jauh sebelum ini, Pramoedya Ananta Toer mengingatkan kita dalam bukunya, Bumi Manusia (1980), bahwa “seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”. Sudahkah kita?

Kolom terkait:

Ahok, Penistaan Agama, dan Defisit Percaya Diri Kaum Muslim

Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama

Tentang Penistaan Al-Qur’an di Indonesia

Membaca Arah Kesadaran Beragama

Candaan Joshua dan Ketersinggungan Umat Islam

Mohammad Pandu
Mohammad Pandu
Esais; sedang aktif di Komunitas Santri Gus Dur, Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.