Ketika aksi bom bunuh diri terjadi di Solo belum lama ini, dugaan kuat yang disebut sebagai aktor pelakunya adalah jaringan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Berbagai pihak, termasuk kepolisian, sudah menegaskan hal ini. Muncul pertanyaan mendasar di benak kita, mengapa ISIS yang selalu menjadi biang kerok pelaku serangan pengeboman? Seolah menjadi sebuah kesenangan hyper-destruktif, ISIS membangun berbagai gerakan heterogen untuk merencanakan dan mengeksekusi tindakan terorisme di banyak negara.
Implikasinya, banyak negara mengalami kerentanan geografis, yang di berbagai titik spasialnya telah dihuni oleh virus endemik terorisme. Setiap waktu virus tersebut mengembang-biakkan ancaman untuk menebar rasa kalut dan kalap di sela-sela kehidupan penduduknya. Menjadi wajar bila banyak negara menerapkan siaga satu guna mengantisipasi berbagai tanda mencurigakan yang berpotensi ancaman teror.
Menurut saya, barangkali ISIS sedang ingin mencari dan mencuri perhatian publik. Hal ini bisa dicermati dari aksi kelompok ISIS yang selalu merepresentasi dirinya sebagai pelaku teror terhadap berbagai musibah pengeboman, penculikan, kejatuhan pesawat, dan semacamnya. Dan, untuk menggerakan aksi teror ini, ISIS mengidentifikasi dirinya dengan beraneka ragam sebutan: pejuang pembebasan, mujahidin, tentara Tuhan, dan semacamnya.
Secara sosiologis, merujuk pada pandangan Erving Goffman dalam buku Presentation of Self in Everyday Life, tindakan representasi yang demikian tidak lepas dari alokasi makna spasial dan sosial untuk menumbuhkan labelitas—seperti keberanian, keberingasan, kebiadaban—agar keberadaan ISIS menjadi posisi daya tawar yang tinggi dalam percaturan global. Setidaknya, pengaruh sosial yang ditebar melalui aksi terorisme yang brutal menjadi modus operandi ISIS dalam memainkan dirinya untuk meraih perhatian global.
Konstruksi Nalar Selfie
Upaya mencari dan mencuri perhatian publik dalam bahasa sekarang dikenal dengan sebutan selfie. Dalam konteks terorisme, selfie dijadikan sebagai wadah aksi narsistik penuh sarkastik untuk mengekspose sisi lain dari kebengalan dirinya agar ditakuti pihak lain. Selfie dikonstruksi sebagai suatu kegiatan terorisme di mana ISIS mengambil visualisasi atas dirinya dengan memproduksi makna akan tubuhnya yang pemberani.
Menjadi wajar bila semua orang merasa khawatir ketika ada seseorang maupun sekelompok orang yang pergi ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Sebab, ISIS di mata banyak orang adalah penjahat kemanusiaan yang menggunakan ajaran agama untuk menebar kuasa kebiadaban melalui jalur terorisme.
Apalagi selama ini ISIS sangat rajin mengunggah berbagai tayangan pembegalan, pertempuran, pemerkosaan, dan berbagai jenis kebiadaban lainnya di berbagai situs internet. Hal ini semakin membuktikan bahwa parade kekerasan yang ditayangkan tersebut dalam rangka menunjukkan kepada publik bahwa dirinya sangat pantas untuk ditakuti.
Melalui nalar selfie, ISIS selalu membangun medium projektor untuk memantulkan sinar kebiadabannya ke berbagai orang dan kelompok yang sudah didaulat sebagai jaringan terorismenya. Dengan demikian, setiap orang dan kelompok yang sudah berhasil melakukan aksi penembakan brutal dan bom bunuh diri secara simultan publik akan mengasosiasikan tindakan itu kepada ISIS.
Tampaknya selfie terorisme menjadi sebuah tren gerakan tersembunyi yang sengaja didesain ISIS untuk menyejajarkan dirinya dengan kelompok-kelompok yang digdaya seperti yang ada pada negara-negara maju. Lalu, dengan kedigdayaan yang diimajinasikan tersebut, ISIS akan mudah menuai pengaruh global di era modern sekaligus ingin didaulat sebagai kiblat fundamentalisme yang bisa ber-vis-a-vis dengan kapitalisme, komunisme, sosialisme, dan ideologi global lainnya.
Di sinilah mata rantai terorisme yang digunakan ISIS menampilkan sisi pergerakan kebiadaban dan kejahatan kemanusiaan dalam dunia selfie. Apalagi saat ini dunia kita sudah dilingkupi oleh iklim digital, di mana internet digunakan ISIS untuk menyebarkan karakter dirinya sebagai pihak yang siap bertarung dengan ideologi-ideologi global yang banyak berkembang di dunia Barat.
Lalu, apakah keberingasan ISIS yang sangat berambisi menguasai dunia dengan segala maksud dan tujuannya itu dibiarkan begitu saja tanpa ada perlawanan dari kita?
Taktik Memudarkan Pesona ISIS
Ajakan pemerintah untuk tidak takut dengan teroris secara tidak langsung ingin menyatakan kepada pelakunya bahwa tindakan teror yang selama ini diumbar ISIS tidak akan menciutkan bangsa Indonesia. Boleh saja beberapa negara yang dilanda serangan terorisme mengalami tekanan psikologis hingga berhari-hari dan menimbulkan kepanikan, namun kejadian itu tidak boleh terjadi di Indonesia.
ISIS harus dianggap sebagai peristiwa biasa agar tidak merasuki relung sanubari kita yang dapat mengganggu kenyamanan dan keamanan hidup kita. Kita harus berusaha memudarkan pesona ISIS yang selama ini dikonstruksi sebagai penjahat kemanusiaan kelas kakap. Salah satu caranya adalah mengucilkan berbagai bentuk pencarian perhatian ISIS yang selama ini telanjur diladeni banyak kalangan. Dengan mengabaikan mekanisme pencarian perhatian yang dilakukan ISIS, dengan sendirinya perhatian kita terhadap ISIS akan lekang.
Dengan kata lain, dengan merujuk pada pandangan Noor Huda Ismail yang dituangkan dalam film dokumenter Jihad Selfie, untuk melawan pesona ISIS itu harus dimulai dari hal yang paling sederhana, yakni membicarakan isu ini dengan kepala dingin, penuh kejujuran, tidak langsung menghakimi, dan cepat beralih ke teori konspirasi yang sangat disukai oleh kebanyakan dari kita.
Secara sosiologis, pemudaran pesona (disenchanment)—dengan merujuk pada pandangan sosiolog George Ritzer dalam buku Enchanting A Disenchanted World—dapat dilakukan melalui cara eliminasi berbagai maksud dan tujuan yang dirasionalisasi oleh sekelompok orang maupun sebuah sistem untuk mempengaruhi pihak lain. Dengan demikian, tebar teror yang kerap didemonstrasikan ISIS tidak mengungkung kebebasan kita untuk melakukan berbagai tindakan guna mewujudkan kenyamanan.
Namun, bukan berarti kewaspadaan menjadi alpa dalam laku keseharian mereka. Setiap pihak tentu harus saling bekerjasama untuk membentengi setiap ruang kehidupan dari segala macam potensi teror yang bisa jadi diselancarkan oleh para pelakunya. Akan tetapi, ketika setiap orang bisa segera memulihkan kondisi usai diteror dengan cara mengalihkan perhatian paniknya kepada tindakan yang produktif, lambat laun tebar selfie terorisme yang dilakukan ISIS—yang bertujuan mencari dan mencuri perhatian publik—dengan sendirinya bisa memudarkan pesona pelaku teror.