Kamis, April 25, 2024

Indonesia Darurat Kekeringan dan Kemiskinan

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Petani membajak sawahnya yang mengalami kekeringan di Persawahan Samata Gowa, Sulawesi Selatan, Selasa (12/9). Sebagian besar petani di daerah tersebut terpaksa menjadikan sawahnya kebun sayur akibat rendahnya curah hujan dalam beberapa bulan terakhir serta minimnya irigasi di daerah tersebut. ANTARA FOTO/Yusran Uccang/pd/17

Meskipun pemerintah telah membantah dan memastikan bahwa Indonesia tidak sedang mengalami darurat kekeringan, kenyataan di lapangan memperlihatkan situasi yang berbeda. Di sejumlah daerah dilaporkan bencana kekeringan mulai melanda, dan celakanya ancaman kekeringan justru terjadi di daerah yang padat penduduknya.

Di Provinsi Jawa Tengah, misalnya, ancaman kekeringan terjadi di 30 kabupaten, 275 kecamatan dan 1.254 desa. Sementara di Provinsi Jawa Timur, daerah yang terkena imbas kekeringan adalah 23 kabupaten, 171 kecamatan dan 588 desa.

Di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)), secara keseluruhan terdapat 2.726 desa yang terdampak bencana kekeringan. Sekitar 3,9 juta jiwa terancam kekeringan, 56.334 hektare lahan kesulitan irigasi, dan sebanyak 18.516 hektare di antaranya dipastikan gagal panen karena tidaknya adanya irigasi yang cukup untuk mengairi sawah-sawah penduduk.

Ancaman kekeringan yang melanda berbagai daerah ini, selain berisiko mengancam ketahanan dan keinginan pemerintah untuk mengejar swasembada pangan, juga dikhawatirkan akan memicu kemungkinan masuknya orang-orang desa dalam spiral kemiskinan yang makin kronis. Lebih dari sekadar persoalan kekurangan pasokan air dan ancaman gagal panen, musim kering yang panjang niscaya akan menyebabkan masyarakat terancam mengalami proses pendalaman kemiskinan.

Program intervensi seperti apakah yang harus dikembangkan agar meluasnya kekeringan di berbagai daerah tidak memicu rentetan dampak sosial yang makin menyengsarakan masyarakat miskin di perdesaan?

Dampak Sosial Kekeringan

Pengalaman telah banyak membuktikan, kelompok yang paling terkena dampak kekeringan niscaya adalah masyarakat miskin di perdesaan. Ketika persediaan air langka karena musim kemarau yang panjang, yang terjadi bukan saja persediaan pangan menjadi berkurang, simpanan pangan menurun karena hasil panenan berkurang, tetapi musim kekeringan seringkali juga menjadi awal berlangsungnya musim kelaparan di sejumlah kawasan.

Robert Chambers, dalam salah satu artikelnya di buku People Centered Development, Contributions toward Theory and Planning Frameworks (1984) menyebutkan sejumlah risiko yang akan terjadi ketika masyarakat miskin mengalami ancaman musim kekeringan yang berkepanjangan.

Pertama, musim kering yang berkepanjangan adalah masa-masa di mana masyarakat miskin rentan menjadi korban eksploitasi dan ketergantungan. Bisa dibayangkan, ketika pemasukan atau penghasilan masyarakat miskin berkurang drastis, sementara hasil panenan yang diharapkan tidak seperti yang diharapkan, bahkan tidak jarang pula mereka gagal panen, maka selain melakukan berbagai langkah penghematan, jalan keluar lain adalah mengandalkan utang.

Para rentenir, tuan tanah lokal, pedagang pengepul, dan orang-orang mapan yang ada di sekitar masyarakat miskin desa, biasanya yang akan mengulurkan pinjaman, tetapi dengan kewajiban bunga pinjaman yang relatif tinggi, atau paling-tidak diembel-embeli dengan kewajiban sosial agar masyarakat miskin tunduk ketika mereka menentukan harga jual komoditas pertanian yang dihasilkan.

Kedua, di musim kekeringan yang berkepanjangan, salah satu konsekuensi yang tidak terhindarkan adalah pasokan pangan berkurang, yang kemudian menyebabkan harga pangan otomatis naik. Bagi petani miskin yang selama ini menjual komoditas pertanian dalam bentuk gabah, mereka biasanya akan kesulitan dapat membeli beras yang dikonsumsi sehari-hari, karena adanya perbedaan harga gabah dan harga beras yang relatif lebar.

Sudah bukan rahasia lagi para petani selama ini tidak pernah menjadi pihak yang ikut merasakan keuntungan dari kenaikan harga pangan di saat komoditas pangan langka. Meski mereka adalah produsen utama pangan, tapi karena nilai tukar komoditas gabah dibandingkan komoditas pangan siap konsumsi tidak sebanding, yang terjadi biasanya adalah menurunnya kemampuan petani miskin untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari.

Ketiga, musim kering berkepanjangan umumnya akan menyebabkan masyarakat miskin masuk dalam proses pendalaman kemiskinan yang makin kronis. Sudah lazim terjadi, di musim kering ketika penghasilan menurun atau bahkan hilang, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga miskin akan menjual atau menggadaikan barang, bahkan terpaksa kehilangan sebagian aset produksi yang dimiliki untuk menambal kebutuhan hidup sehari-hari.

Sebuah keluarga petani yang gagal panen, misalnya, satu-satu cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi adalah menjual atau menggadaikan sebagian aset miliknya, karena utang-utang lama yang ditanggung justru makin membesar.

Menimbang Analisis Musim

Untuk mencegah agar dampak kekeringan tidak makin meluas, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah bagaimana mengembangkan proses perencanaan program pembangunan yang menimbang analisis musim. Artinya, kapan program digulirkan, infrastruktur apa yang harus dibangun, dan siapa kelompok sasaran yang harus diprioritaskan, semua perlu menimbang dinamika musim.

Memang, secara teknis-planologis, upaya untuk mencegah kerusakan lingkungan, reboisasi, pengelolaan DAS terpadu, konservasi tanah dan air, pembangunan waduk, bendungan, dan embung di berbagai desa perlu dilakukan agar kondisi lingkungan tidak makin memburuk dan ancaman kekeringan bisa dikurangi. Tetapi, lebih dari sekadar rekayasa teknis, di luar itu pemerintah juga perlu mendorong agar masyarakat makin kenyal dalam menghadapi tekanan dan ancaman kekeringan.

Berbagai langkah strategis bisa dilakukan, seperti mengembangkan perbaikan dalam sistem pola tanam, pola tumpangsari, tanaman bergilir, pengolahan lahan minimal, pembibitan yang dapat menyiasati ancaman kekeringan, dan bagaimana mencegah agar harga pangan tidak melambung di musim paceklik.

Kebijakan tidak kalah penting juga harus dikembangkan agar ancaman kekeringan tidak mematikan peluang dan kemampuan masyarakat miskin menyiasati tekanan kemiskinan. Masalahnya sekarang: seberapa jauh pemerintah siap mengombinasikan kedua perspektif kebijakan teknis dan sosial ini dalam program-program yang dirumuskan setiap tahunnya?

Baca juga:

Indonesia Darurat Kemiskinan dan Kesenjangan [Catatan Sosial 2016]

Perubahan Iklim dan Dunia yang Terancam Kelaparan-Kemiskinan

Jokowi, Kemiskinan, dan Imbauan

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.